Tindak Pidana Gratifikasi

Pengaturan mengenai sanksi dan hukuman suatu tindak pidana di Indonesia tidak hanya terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam KUHPidana, ada beberapa tindak pidana yang diatur secara khusus di luar KUHPidana karena dianggap perlu pengaturan lebih lanjut mengenai tindak pidana tersebut. Tindak pidana yang diatur secara khusus di luar KUHPidana tersebut kemudian disebut sebagai tindak pidana khusus.[1] Tindak pidana khusus merupakan jenis perkara yang berada di luar hukum pidana umum atau KUHPidana, yang mengatur mengenai suatu perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang atau pihak tertentu. Tindak pidana khusus merupakan bagian dari hukum pidana dan tetap berpedoman pada ketentuan dalam KUHPidana.
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) merupakan tindak pidana khusus karena mempunyai aturan tersendiri di luar KUHPidana, hal tersebut ditunjukkan dari adanya perluasan rumusan penafsiran arti melawan hukum dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Dalam ketentuan UU Tipikor, Gratifikasi dan suap merupakan salah satu tindakan yang sering muncul. Gratifikasi merupakan tindakan yang berkaitan dengan jabatan, tugas, dan pekerjaan. Pengaturan mengenai Gratifikasi merupakan suatu hal yang relatif baru dalam penegakan hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Istilah Gratifikasi digunakan dalam perundang-undangan di Indonesia untuk pertama kalinya pada Pasal 12b UU TIPIKOR, yang menyebutkan:
“Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya, baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri, yang dilakukan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.”
Awalnya gratifikasi merupakan pemberian yang biasa diberikan dan diterima masyarakat, namun kemudian berkembang menjadi suatu tindakan memberi dan diberi yang bertentangan dengan kepentingan umum. Makna awal gratifikasi yang bersifat sosial bergeser menjadi kegiatan terlarang dan menjadi suatu bentuk tindak pidana, sehingga gratifikasi dianggap bertentangan dengan rasa keadilan.[2] Syarat utama suatu tindakan dapat dikatakan sebagai sebuah gratifikasi diatur pada Pasal 12b UU Tipikor yakni “berkaitan dengan suatu jabatan” dan “bertentangan dengan kewajiban tugas Pegawai Negeri dan Pejabat Negara”. Pengertian Penyelenggaraan Negara mengacu pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (UU KKN) yaitu:
- Pejabat negara pada lembaga tertinggi Negara
- Pejabat negara pada lembaga tinggi negara
- Menteri
- Gubernur
- Hakim
- Pejabat negara yang lain yaitu duta besar, wakil gubernur, bupati/walikota
- Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis yakni komisaris, Direksi dan Pejabat struktural pada BUMN dan BUMD, Pimpinan Bank Indonesia (BI), Pimpinan Perguruan Tinggi, pejabat eselon satu dan pejabat lain yang disamakan pada lingkungan sipil dan militer, jaksa penyidik, panitera pengadilan, pimpinan atau bendahara proyek.
- Pegawai negeri sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang PTPK.
Sebelumnya tim Hukumexpert.com membahasa mengenai “syarat-syarat gratifikasi aktif”.[3] Berdasarkan atas subyeknya gratifikasi dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu gratifikasi aktif dan gratifikasi pasif. Gratifikasi aktif merupakan pelaku yang memberikan sesuatu dengan niat (oogmerk) yang bertujuan untuk menggerakkan seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara dalam jabatannya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya, dimana dari pemberian tersebut pegawai negeri atau penyelenggara negara mengetahui niat terselubung pelaku. Sedangkan gratifikasi pasif yaitu pihak penerima pemberian yang dengan hal itu ia dalam jabatannya berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 12b UU Tipikor terdapat unsur-unsur sebuah tindakan gratifikasi yang dianggap suap ialah sebagai berikut:
- Penerimaan Gratifikasi
- Subjeknya, Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara
- Berhubungan dengan jabatan
- Berlawanan dengan kewajiban dan Tugasnya
- Tidak melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kurang dari 30 hari sejak diterima berdasarkan ketentuan Pasal 12C.
Pengaturan sanksi Gratifikasi diatur dalam UU Tipikor yang terdapat pada bunyi pasal 12b ayat (1 dan 2), yang berbunyi:
Ayat (1): Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
- yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
- yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
Ayat (2): Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Tetapi adanya sebuah pengecualian terkait pengenaan sanksi terhadap gratifikasi, yakni berdasarkan ketentuan pasal 12C ayat (1 dan 2) UU Tipikor, yang berbunyi:
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan pelaporan wajib dilakukan penerima gratifikasi paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak gratifikasi tersebut diterima”
Menurut Pasal 12c ayat (1 dan 2) UU Tipikor, Gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara tidak akan dianggap sebagai suap apabila penerima Gratifikasi melaporkan kepada KPK. Pelaporan tersebut paling lambat adalah 30 hari sejak tanggal diterimanya Gratifikasi.
Mengenai pemberi gratifikasi, tidak semua nya dapat dikenakan sanksi kecuali memenuhi unsur tindak pidana suap sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (1), yaitu dapat dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun, dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000 dan paling banyak Rp 250.000.000, apabila:
- Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
- Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Akan tetapi, dalam praktiknya sebuah tindakan gratifikasi ada yang tidak perlu dilaporkan ke KPK seperti yang diwajibkan pada ketentuan pasal 12C ayat (1), yakni:[4]
- Berlaku untuk umum, yakni jenis, persyaratan, dan nilai sama dan memenuhi prinsip kewajaran/kepatutan
- Tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku
- Dalam ranah adat istiadat, kebiasaan, dan norma yang hidup di masyarakat
- Dipandang sebagai wujud ekspresi atau keramah tamahan.
Contoh tindakan nya seperti:
- Karena hubungan keluarga
- Penyelenggara pesta adat, paling banyak 1juta rupiah
- Terkait musibah atau bencana, paling banyak 1juta rupiah
- Hindangan atau sajian yang berlaku umum
Mengenai contoh kasus yang berkaitan dengan gratifikasi yaitu, pada tahun 2020 lalu, Bupati Kudus Muhammad Tamzil ditetapkan sebagai terpidana kasus gratifikasi oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 4563 K/Pid.Sus/2020. Ia terbukti telah melanggar Pasal 12 B UU Tipikor Jo. Pasal 65 Ayat (1) KUHPidana. Majelis hakim menyebutkan bahwa M. Tamzil, menikmati uang suap Rp 350.000.000,00. Ia divonis 8 tahun penjara dan denda Rp 250.000.000,00 dan juga dihukum membayar Rp 2.125.000.000,00 serta pencabutan hak politik.[5] Contoh sederhananya apabila dalam suatu kewenangan seseorang mengangkat orang lain untuk suatu jabatan, setelah orang itu diangkat dan kemudian dia datang memberikan sesuatu sebagai imbalan atau ucapan terimakasih, maka hal tersebut dapat dikatagorikan tindakan gratifikasi.[6]
[1] Buku saku Memahami Gratifikasi, op.cit, hlm.7
[2] Topo Santoso, Menguak Relevansi Ketentuan Gratifikasi di Indonesia, Jurnal dinamika Hukum Vol. 13 No. 3 September 2013
[3] https://hukumexpert.com/syarat-syarat-gratifikasi-aktif
[4] http://berkas.dpr.go.id/setjen/dokumen/ittama-Knowledge-Sharing-Sosialisasi-Gratifikasi-Irtama-DPR-RI-1461146177.pdf
[5] https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4967776/bupati-kudus-tamzil-masuk-bui-lagi-dulu-korupsi-kini-terima-suap
[6] https://www.kemenkumham.go.id/berita/gratifikasi-dan-suap-apa-sih-bedanya
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanResensi Buku: Penegakan Hukum dan Pengawasan Pasar Modal Indonesia...
Resensi Buku: Teori Umum Tentang Hukum dan Negara oleh...

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.