Tim Produksi Film Vina Cirebon Dilaporkan Karena Membuat Kegemparan Publik, Ini Dasar Hukumnya

Tim Produksi Film Vina Cirebon Dilaporkan
Kasus pembunuhan Vina Cirebon yang viral di Tanah Air semakin runyam. Kematian Vina pada tahun 2016, masih menjadi misteri bagi kalangan masyarakat. Terlebih lagi kematian tersebut termasuk tidak wajar karena diduga merupakan pembunuhan yang dilakukan oleh sekelompok orang, sehingga menyulitkan proses penyelidikan maupun penyidikannya. Keberadaan kasus yang sudah terjadi 8 (delapan) tahun yang lalu tersebut terangkat dan mengingatkan masyarakat kembali hanya karena film.
Tak berhenti pada perkara yang terus simpang siur dan tak terselesaikan selama 8 (delapan) tahun, kini tim produksi film menjadi sasaran. Dheraaj Kalwani, produser film “Vina Sebelum 7 Hari” mendadak dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh Asosiasi Lawyer Muslim Indonesia (ALMI).[1]
Pelaporan itu dilakukan dengan alasan bahwa produksi film menjadi penyebab terjadinya kegaduhan di masyarakat yang berpotensi menggiring opini publik terkait Kasus Pembunuhan Vina Cirebon. Film yang disutradarai oleh Anggy Umbara ini dianggap dapat mempengaruhi proses penyidikan yang sedang berlangsung di Polda Jabar.[2]
Ketua ALMI, Zainul Arifin mengungkapkan berbagai alasan asosiasinya mengadukan film tersebut ke kepolisian. Menurutnya, pihak kepolisian berhak mencabut izin film tersebut lantaran dinilai menyebabkan kegaduhan. Terlebih, menurut pihak ALMI, kasus kematian Vina saat ini masih dalam proses penyidikan. Zainul menyebut kondisi ini berbeda halnya dengan film sianida yang juga sempat ramai beberapa waktu lalu. Jika film tersebut terus ditayangkan, Zainul khawatir akan menimbulkan narasi-narasi negatif yang akan menghambat proses penyidikan kasus Vina.[3]
Anggy Umbara yang merupakan putra dari sutradara terkenal Danu Umbara pun bersuara dan menyebut bahwa alasan pelaporan filmnya ke pihak berwenang tidak memiliki dasar yang jelas. Dirinya menyatakan bahwa kegaduhan yang terjadi bukan karena penyidikan, melainkan karena film itu sendiri.[4]
Dasar Hukum Laporan Pidana Kepada Tim Produksi
ALMI menilai dasar hukum pelaporannya mengacu pada Pasal 31 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 Tentang Perfilman (UU 8/1992), yang mengatur tentang sanksi bagi film yang diduga menyebabkan kegaduhan di masyarakat. Adapun ketentuan dalam Pasal 31 UU Perfilman tersebut menyatakan bahwa:
- Pemerintah dapat menarik suatu film apabila dalam peredaran dan/atau pertunjukan dan/atau penayangannya ternyata menimbulkan gangguan terhadap keamanan, ketertiban, kententraman, atau keselarasan hidup masyarakat;
- Produser atau pemilik film yang terkena tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat melakukan pembelaan melalui saluran hukum.
Namun demikian, perlu diketahui bersama bahwa UU Nomor 8 Tahun 1992 tersebut telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, sebab telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman (UU 33/2009). Dimana dalam UU 33/2009, tidak lagi memuat ketentuan yang diatur dalam Pasal 31 UU 8/1992.
Adapun pengaturan tentang larangan terkait kegiatan perfilman dalam UU 33/2009 tertuang dalam Pasal 6 yang menyatakan:
“Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilarang mengandung isi yang:
- mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
- menonjolkan pornografi;
- memprovokasi terjadinya pertentangan antar kelompok, antar suku, antar-ras, dan/atau antar golongan;
- menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai-nilai agama;
- mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum; dan/atau
- merendahkan harkat dan martabat manusia.”
Bagi pelaku perfilman atau siapapun yang melanggar ketentuan pada Pasal 6 UU 33/2009, dapat dikenakan sanksi administratif dan sanksi pidana. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dapat berupa teguran tertulis, denda administratif, penutupan sementara, dan/atau pembubaran/pencabutan izin.[5]
Ketentuan pidana atas pelanggaran Pasal 6 di atas tercantum dalam Pasal 80 UU 33/2009 yang menyatakan:
“setiap orang yang dengan sengaja mengedarkan, menjual, menyewakan, atau mempertunjukkan kepada khalayak umum, film tanpa lulus sensor padahal diketahui atau patut diduga isinya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah)”.
Selain itu, ALMI menyatakan bahwa film tersebut juga dianggap melanggar Pasal 28 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU 11/2008) berikut dengan perubahannya terkait ujaran kebencian.[6] Dalam perubahan terakhir Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU 1/2024), ketentuan Pasal 28 Ayat (2) diubah sehingga berbunyi
“setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau mempengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik”.
Adapun ketentuan pidana apabila terbukti melanggar Pasal 28 Ayat (2) UU ITE tersebut tercantum dalam Pasal 45A Ayat (2) UU ITE yaitu dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan.atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
Film Sebagai Salah Satu Alat Komunikasi Massa
Pada dasarnya, adanya asumsi atau dugaan yang menyebut bahwa film tersebut menimbulkan kegaduhan di masyarakat serta dapat menghambat penyidikan, adalah dugaan atau asumsi yang juga akan menimbulkan pertanyaan. Mengapa pula keberadaan film menjadikan timbulnya hambatan terhadap penyidikan. Di samping itu, secara fakta justru keberadaan film tersebut memberikan dorongan kepada pihak yang berwajib untuk melakukan tindakan cepat, mengingat kasus sudah berlangsung selama 8 (delapan) tahun dan dapat terancam daluwarsa.
Perlu diingat pula, bahwa film adalah “karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan”, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 1 UU 33/2009. Berdasar ketentuan tersebut, jelas bahwasanya film merupakan salah satu komunikasi massa, sehingga masyarakat dapat mengetahui suatu informasi.
Sebagai salah satu alat komunikasi massa, tentunya terdapat beberapa hal yang dimaksudkan untuk disampaikan kepada masyarakat. Salah satunya adalah pengawalan penegakan hukum. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa penegakan hukum di Indonesia seakan-akan saat ini lebih banyak bersifat “no viral, no justice”, yang sebenarnya memang sangat mengecewakan. Namun demikian, selama film tersebut tersebut tidak membuat penyidikan terarah sesuai jalannya cerita film, serta tidak merubah penyidikan, maka tindakan dimana tim produksi film cina cirebon dilaporkan, merupakan tindakan yang tidak tepat.
Penulis: Hasna M. Asshofri, S.H., & Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA.
Editor: Mirna R., S.H., M.H., CCD.
[1] Hardani Triyoga dan Foe Peace Simbolon, “Pihak Produksi Film Vina Cirebon Dilaporkan ke Bareskrim, ini alasannya,” https://www.viva.co.id/berita/nasional/1717961-pihak-produksi-film-vina-cirebon-dilaporkan-ke-bareskrim-ini-alasannya
[2]https://radarlawu.jawapos.com/nasional/2204703776/produser-film-vina-sebelum-7-hari-dilaporkan-ke-bareskrim-polri-almi-berpotensi-menggiring-opini-netizen-memanas
[3]https://www.brilio.net/serius/dinilai-bikin-gaduh-asosiasi-lawyer-muslim-indonesia-laporkan-film-vina-sebelum-7-hari-ke-bareskrim-240530u.html
[4]https://ameera.republika.co.id/berita/se8qn9425/film-vina-sebelum-7-hari-dilaporkan-ke-polisi-ini-tanggapan-sutradara
[5] Pasal 79 UU Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman
[6]https://www.tribunnews.com/seleb/2024/05/30/alasan-asosiasi-lawyer-muslim-indonesia-laporkan-film-vina-sebelum-7-hari-ke-bareskrim-buat-gaduh?page=2
Tonton juga:
Tim Produksi film Vina Cirebon| Tim Produksi film Vina Cirebon| Tim Produksi film Vina Cirebon| Tim Produksi film Vina Cirebon| Tim Produksi film Vina Cirebon| Tim Produksi film Vina Cirebon| Tim Produksi film Vina Cirebon| Tim Produksi film Vina Cirebon| Tim Produksi film Vina Cirebon| Tim Produksi film Vina Cirebon| Tim Produksi film Vina Cirebon| Tim Produksi film Vina Cirebon|Tim Produksi film Vina Cirebon| Tim Produksi film Vina Cirebon| Tim Produksi film Vina Cirebon|
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanKewenangan Pengurusan Direksi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Prinsip Kehati-hatian Dalam Perbankan dan Prinsip 5C Guna Menjalankannya

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.