Tidak Ada Pidana Tanpa Kesalahan (Geen Straft Zonder Schuld)

            Geen Straft Zonder Schuld merupakan asas yang menyatakan bahwa tiada suatu pidana tanpa adanya kesalahan. Asas ini bermula dari dibedakannya aturan antara pelanggaran dengan kejahatan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) yang merupakan turunan dari aturan di Belanda. Kejahatan diatur dalam Buku II KUHP, sedangkan pelanggaran diatur dalam Buku III KUHP. Setiap kejahatan harus mengandung kesalahan sehingga dapat dikenai tanggung jawab pidana, baik kesalahan karena kesengajaan maupun karena kealpaan. Berdasarkan asas Actus non facit reum, nisi mens sit rea yang artinya perbuatan tidak membuat orang bersalah, terkecuali jika terdapat sikap batin yang jahat. Berdasarkan hal tersebut, untuk mengetahui adanya kesalahan pelaku tindak pidana harus didasarkan atas perbuatan yang dilakukan (actus reus) dan sikap batinnya (mens rea). Sehingga seseorang dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana jika memenuhi 2 (dua) unsur yaitu :

  1. Adanya tindak pidana;
  2. Adanya kesalahan, baik kesalahan karena kesengajaan (dolus) maupun kealpaan (culpa).

Berdasarkan hal tersebut sehingga muncullah asas bahwa tidak ada pidana tanpa adanya kesalahan (Geen Straft Zonder Schuld). Hal ini juga dibenarkan oleh Pengadilan Tinggi Belanda dalam putusan tertanggal 14 Februari 1916 (Hoge Raad 14-2-1996, NJ 1916/681) pada kasus “Water en Melk Arrst”.[1] Pada kasus tersebut seorang pengusaha susu mencampur susu dengan air yang di Belanda dilarang dan diancam pidana. Dalam kasus tersebut seorang pegawai yang tidak mengetahui perihal susu yang dicampur air tersebut mengirimkan susu itu ke pelanggannya. Pegawai tersebut tidak dipidana dengan alasan ia tidak mengetahui keadaan susu yang sudah dicampur air tersebut.

Asas Geen Straft Zonder Schuld tidak dituangkan dalam KUHP, tetapi tercantum dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman) yang menyatakan :

“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”

Contoh ilustrasi kasus terkait asas Geen Straft Zonder Schuld yaitu misal Si A yang bekerja di Kantor Dinas Kehutanan memalsukan surat keterangan sahnya hasil hutan karena adanya ancaman, misal saja ancaman pembunuhan. Pada dasarnya perbuatan memalsukan surat keterangan sahnya hasil hutan merupakan suatu tindak pidana berdasarkan ketentuan dalam Pasal 88 ayat (1) huruf b Undang Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang menyatakan :

“Memalsukan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu dan/atau menggunakan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu yang palsu dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).”

Namun, jika didasarkan atas faktanya, si A melakukan perbuatan pemalsuan surat keterangan sahnya hasil hutan dikarenakan adanya ancaman, sehingga berdasarkan hal tersebut perbuatan si A tidak memenuhi unsur kesalahan karena tidak ada niatan (mens rea) si A untuk melakukan suatu perbuatan pemalsuan tersebut. Oleh karena itu, maka si A tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.

[1] http://adamichazawi.blogspot.com/2013_01_07_archive.html

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.