Tawaran Kejaksaan Tinggi Untuk Restorative Justice Kasus Mario Dandy

Beberapa waktu lalu, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta menawarkan untuk melakukan upaya Restorative Justice terhadap kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Mario Dandy. Pernyataan ini disampaikan pada saat Kepala Kejati DKI Jakarta seusai menjenguk David di RS Mayapada pada 16 Maret 2023 lalu. Kemudian, Ia menambahkan bahwa tawaran penyelesaian dengan mekanisme Restorative Justice tergantung keputusan keluarga korban. Di sisi lain, pihak keluarga David menerangkan bahwa pihak keluarga Mario sudah meminta maaf tetapi pihak keluarga memastikan tidak ada perdamaian terhadap kasus tersebut.[1]

Berbeda halnya menurut keterangan yang disampaikan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung yang mengatakan kasus penganiayaan terhadap Cristalino David Ozora Latumahina oleh Mario Dandy Satriyo tidak memenuhi syarat untuk diselesaikan lewat restorative justice. Menurutnya, tersangka Mario Dandy Satrio dan Shane Lukas tidak layak mendapatkan restorative justice karena perbuatan penganiayaan yang dilakukannya diancam hukuman melebihi aturan restorative justice yang diterbitkan oleh Jaksa Agung.[2]

Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa konsep restorative justice bukanlah hal baru dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Restorative Justice merupakan suatu paradigma yang dapat dipakai sebagai bingkai dari strategi penanganan perkara pidana yang bertujuan menjawab ketidakpuasan bekerjanya sistem peradilan pidana yang ada saat ini. Dalam setiap lembaga peradilan pidana di Indonesia seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan terdapat beberapa pengaturan mengenai Restorative Justice.

Dalam institusi Kepolisian sendiri terdapat Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif (Perkapolri 8/2021). Pasal 2 Ayat (1) Perkapolri 8/2021 menyebutkan penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif dilaksanakan pada tahap penyelidikan atau penyidikan. Lebih lanjut dalam Pasal 5 Perkapolri 8/2021 mengatur terkait dengan syarat materiil penanganan tindak pidana dengan keadilan restoratif sebagai berikut:

  1. Tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat
  2. Tidak berdampak konflik sosial
  3. Tidak berpotensi memecah belah bangsa
  4. Tidak bersifat radikalisme dan separatism
  5. Bukan pelaku pengulangan tindak pidana
  6. Bukan tindak pidana terorisme, tindak pidana terhadap keamanan negara, tindak pidana korupsi dan tindak pidana terhadap nyawa orang.

Sementara mengenai syarat formil dalam Pasal 6 Ayat (1) Perkapolri 8/2021 menyebutkan bahwa perdamaian dari kedua belah pihak, kecuali tindak pidana narkotika dan pemenuhan hak-hak korban dan tanggung jawab pelaku, kecuali tindak pidana narkotika. Sementara itu, dalam tubuh Kejaksaan sendiri diatur pula mengenai pengaturan keadilan restoratif yang dimuat dalam Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perjaksa 15/2020). Ada beberapa syarat yang harus diperhatikan yang diatur dalam Pasal 4 Perjaksa 15/2020 yang berbunyi:

  1. tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;
  2. tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan
  3. tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah).

Mengenai penerapan keadilan restoratif di Kejaksaan, lebih lanjut dapat membaca artikel kami sebelumnya yang berjudul Restorative Justice dan menonton video kami yang berjudul Webinar Restorative Justice dan Masa Depan Penegakan Hukum Pidana di Indonesia. Penerapan keadilan restoratif juga berlaku di tubuh peradilan sebagaimana dinyatakan dalam Surat Keputusan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif.

Mengenai restorative justice dalam perkara pidana anak merupakan salah satu tujuan utama yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Pasal 1 Angka 6 UU SPPA memberikan definisi terkait dengan keadilan restoratif sebagai berikut:

Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Restorative Justice atau Keadilan Restoratif dalam UU SPPA memiliki arti bahwa dalam proses tersebut melibatkan semua pihak terkait, memperhatikan kebutuhan korban, ada pengakuan tentang kerugian dan kekerasan, reintegrasi dari pihak-pihak terkait ke dalam masyarakat, dan memotivasi serta mendorong para pelaku untuk mengambil tanggung jawab. Artinya ada upaya untuk mengembalikan pengertian tentang keadilan kembali seperti saat sebelum terjadinya tindak kejahatan. Hal ini juga ditegaskan dalam ketentuan Pasal 5 UU SPPA yang berbunyi:

  • Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif.
  • Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;
  2. persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; dan
  3. pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.
  • Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi.

Wujud dari keadilan restoratif dalam UU SPPA adalah diversi sebagaiman diterangkan dalam Pasal 5 Ayat (3) UU SPPA. Pasal 1 Angka 7 UU SPPA mengartikan diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Diversi bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan Anak, menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan, menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak. Penerapan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum harus memenuhi syarat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 UU SPPA yang berbunyi:

  • Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi.
  • Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:
  1. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
  2. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Perlu diketahui bahwa selain syarat jumlah ancaman pidana yang diatur dalam beberapa ketentuan di atas, keadilan restoratif dapat terjadi apabila pihak korban dan pihak pelaku telah bersepakat untuk menyelesaikannya secara perdamaian. Apabila salah satu pihak tidak menolak untuk menyelesaikannya secara perdamaian maka tidak terpenuhi keadilan restoratif tersebut. Berkaitan dengan kasus Mario Dandy, meskipun sudah ada pernyataan dari pihak keluarga korban tidak adanya perdamaian. Akan tetapi ancaman hukuman pidana atas perbuatan penganiayaan berat yang dilakukannya 12 (dua belas) tahun[3], maka penyelesaian keadilan restoratif tidak dapat dilakukan.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa penerapan keadilan restoratif saat ini telah diatur dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Dalam penerapannya, masing-masing tingkatan peradilan memiliki syarat dan pengaturannya yang berbeda-beda. Hal ini menunjukkan bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia menjamin penyelesaian secara keadilan restoratif dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku. Adapun kasus penganiayaan berat yang dilakukan oleh Mario Dandy, tidak dapat diberlakukan penyelesaian secara keadilan restoratif, dikarenakan ancaman pidana yang tidak sesuai dengan syarat yang diatur dalam beberapa ketentuan yang telah diuraikan sebelumnya.

 

Penulis: Rizky Pratama J., S.H.

Editor: R. Putri J., S.H., M.H., & Mirna R., S.H., M.H.

 

[1] Rumondang Naibaho, Kajati DKI: Kami Tawarkan Restorative Justice tapi Keputusan di Keluarga David, https://news.detik.com/berita/d-6623544/kajati-dki-kami-tawarkan-restorative-justice-tapi-keputusan-di-keluarga-david.

[2] Tempo.co, Top 3 Metro: Kejaksaan Agung Nilai Restorative Justice Tidak Bisa Diterapkan untuk Mario Dandy, https://metro.tempo.co/read/1704779/top-3-metro-kejaksaan-agung-nilai-restorative-justice-tidak-bisa-diterapkan-untuk-mario-dandy

[3] Isnaya Helmi, Mario Dandy Dijerat Pasal Penganiayaan Berat, Kini Terancam 12 Tahun Penjara, https://www.kompas.tv/article/383861/mario-dandy-dijerat-pasal-penganiayaan-berat-kini-terancam-12-tahun-penjara#:~:text=JAKARTA%2C%20KOMPAS.TV%20%2D%20Polda,berat%2C%20yakni%2012%20tahun%20penjara.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.