TATA CARA PENGAJUAN PERUBAHAN JENIS KELAMIN

Pengadilan Negeri Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara pada tanggal 19 Maret 2021 mengabulkan permohonan Serda Aprilia Manganang untuk melakukan perubahan jenis kelamin, dari perempuan menjadi laki-laki. Pada penetapannya, majelis hakim juga mengabulkan perubahan nama Aprilia Santini Manganang menjadi Aprilio Perkasa Manganang. Selain itu, majelis hakim juga memerintahkan kepada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Sangihe untuk mencatat register yang bersangkutan terkait perubahan jenis kelamin dan nama, baik dalam akta kelahiran, KTP maupun Kartu Keluarga (KK).[1] Dokter spesialis bedah plastic RSPAD Gatot Subroto, Kolonel CKM Guntoro, yang menjadi ahli dalam persidangan mengatakan bahwa saat dilakukan pemeriksaan Magnetic Resonant Imaging ( MRI), perubahan identitas yang diajukan oleh Aprilia Manganang tersebut didasarkan pada kelainan yang dimilikinya, dimana tidak ditemukan organ perempuan dalam tubuh Aprilia seperti Rahim, indung telur ataupun vagina, bahkan Aprilia tidak pernah haid atau menstruasi. Berdasarkan MRI yang dilakukan oleh Dokter Guntoro pada tanggal 9 Februari 2021, dalam tubuh Aprilia justru ditemukan organ prostat yang hanya dimiliki oleh orang dengan jenis kelamin laki-laki.[2]

Permohonan Aprilia dalam mengajukan perubahan jenis kelamin tersebut didasarkan pula pada telah dilakukannya operasi penyesuaian oleh Aprilia. Perubahan jenis kelamin terjadi berdasarkan dua hal yang sangat mempengaruhi seseorang dalam melakukan perubahan jenis kelamin terhadap dirinya, antara lain:

  1. Faktor biologis yang dipengaruhi oleh hormon seksual dan genetic seseorang.
  2. Faktor psikologi yang mempengaruhi seseorang adalah lingkungan mereka tinggal dan pola asuh orang tua.[3]

Berdasarkan penjelasan kedua faktor diatas, maka perubahan jenis kelamin yang dilakukan oleh Aprilia Manganang tersebut berdasarkan adanya faktor biologis. Menurut S Agustine dalam bukunya “Seksualitas Lesbian” tahun 2010, terdapat beberapa hal yang menjelaskan adanya perbedaan operasi kelamin sebagai berikut:

  1. Operasi penyesuaian kelamin, adalah operasi untuk meletakkan, menetapkan dan mempertegas jenis kelamin seseorang kepada salah satu jenis kelamin yang sesuai dengan kondisi genetik dan anatominya.
  2. Operasi pergantian kelamin atau perubahan kelamin adalah operasi yang dilakukan terhadap orang yang mengalami gender dysphoria syndrome (kelainan identitas gender), yang lebih dikenal dengan istilah transeksual, dengan cara membuang alat kelamin yang ada kemudian memasang atau mencangkokkan alat kelamin buatan yang baru, yang berbeda atau berlawanan dengan jenis kelamin sebelumnya. Pada operasi penggantian kelamin ini diikuti pula dengan operasi-operasi organ lainnya sampai pada bentuk akhir yang diinginkan.[4]

Berdasarkan penjelasan diatas, operasi yang dilakukan oleh Aprilia Manganang adalah operasi penyesuaian kelamin. Akan tetapi, Bagaimana jika operasi yang dilakukan adalah operasi penggantian kelamin bukan operasi penyesuaian kelamin? Bagaimana pula tata cara permohonan pergantian jenis kelamin di Indonesia?

Praktik beracara menurut Hukum Acara Perdata dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan atau permohonan. Pengajuan permohonan dalam Hukum Acara Perdata dapat dilakukan oleh Individu maupun Kelompok guna memohonkan sesuatu hal yang dianggap perlu, salah satunya yaitu permohonan perubahan jenis kelamin.[5] Dasar hukum untuk melakukan perubahan jenis kelamin di Indonesia belum diatur secara khusus dalam Undang-Undang tertentu. Namun, Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan memberikan celah terkait perubahan data kependudukan berdasarkan “peristiwa penting lainnya”. Kemudian dalam Pasal 97 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil pada intinya menyatakan bahwa yang termasuk dalam “peristiwa penting lainnya” adalah “perubahan jenis kelamin”. Syarat permohonan perubahan jenis kelamin di pengadilan yaitu dokumen kependudukan dan keterangan psikolog.[6]

Dalam beberapa kasus seperti dalam Penetapan Nomor 518/Pdt.P/2013/PN.Ung, pertimbangan hakim terkait dikabulkannya permohonan perubahan jenis kelamin tidak hanya berdasarkan hukumnya saja, akan tetapi juga berdasarkan medis dan agama. Pertimbangan hakim berdasarkan hukum dalam penetapan tersebut mengacu pada:

  1. Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia:

“setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.”

  1. Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia:

“Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”

  1. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman:

“(1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

  (2) Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, professional, dan berpengalaman di bidang hukum.

  (3) Hakim dan hakim konstitusi wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.”

  1. Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman:[7]

“(1) Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

  (2) Tiap putusan pengadilan harus ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutus dan panitera yang ikut serta bersidang.”

Kemudian pertimbangan hakim berdasarkan aspek medis mengacu pada:

  1. Keterangan dokter spesialis Andrologi di Rumah Sakit Kariadi Semarang yang bernama Achmad Zulfa Juniarto, dimana dokter tersebut menyatakan bahwa pemohon sejak tahun 2003 telah melakukan pemeriksaan awal yaitu pemeriksaan terhadap pemohon yang mempunyai dua organ kelamin.
  2. Tahun 2004 setelah pemeriksaan Panjang dengan mengambil sampel testis, pemeriksaan hormon dan hasil menunjukkan secara general adalah organ laki-laki.
  3. Pada tahun 2009 awalnya pemohon ingin tetap menjadi perempuan karena takut terdapat tekanan dari keluarga, namun setelah hasil pemeriksaan psikiater keluar, hasil menunjukkan 100% laki-laki.
  4. Akhirnya pada tahun 2010 pemohon menghendaki untuk menjadi laki-laki sejati.[8]

Selanjutnya terkait pertimbangan hakim berdasarkan Agama mengacu pada:

  1. Berdasarkan pandangan agama saksi bernama Ali Qoimun (tetangga pemohon), perubahan jenis kelamin dalam agama Islam diperbolehkan jika tidak bermaksud untuk mengubah-ubah ciptaan Allah, namun karena faktor medis dan psikologis yang menyebabkan ia harus melakukan pergantian kelamin, dengan mengacu pada Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke 26 di Semarang pada tanggal 10-16 Rajab 1399 H/ 5-11 Juni 1979 M.[9]

Pada dasarnya, dokumen kependudukan yang dibutuhkan sebagai bukti untuk mendukung permohonan penetapan di Pengadilan Negeri sama seperti dalam hal penetapan akta lahir. Dokumen tersebut antara lain:

  1. Fotokopi Surat Nikah/ Surat Keterangan Nikah dari Kepala Desa/ KUA Kecamatan sebanyak 1 lembar;
  2. Fotokopi Kartu Keluarga (KK) sebanyak 1 lembar;
  3. Fotokopi KTP Pemohon sebanyak 1 lembar;
  4. Fotokopi Surat Keterangan Kelahiran dari Bidan/ Dokter sebanyak 1 lembar.[10]

Setelah permohonan perubahan jenis kelamin dikabulkan oleh hakim dan penetapan perubahan jenis kelamin telah dikeluarkan, maka pemohon telah berubah status keperdataannya. hal tersebut menyebabkan dokumen kependudukan seperti akta kelahiran dan yang lainnya pun harus dirubah sebagaimana ditetapkan oleh hakim di Pengadilan Negeri. Pasal 56 ayat (1) UU 23/2006 mengatur bahwa pencatatan peristiwa penting lainnya dilakukan oleh Pejabat Pencatatan Sipil atas permintaan penduduk yang bersangkutan setelah ada penetapan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Kemudian Penjelasan Pasal 56 ayat (1) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “peristiwa penting lainnya” adalah peristiwa yang ditetapkan oleh Pengadilan Negeri untuk dicatatkan pada Instansi Pelaksana, antara lain perubahan jenis kelamin. Instansi Pelaksana yang dimaksud dalam hal ini adalah Dinas Catatan Sipil. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan perubahan dokumen kependudukan menurut Pasal 97 ayat (3) Perpres 25/2008 antara lain:

  1. Penetapan Pengadilan mengenai peristiwa penting lainnya.
  2. KTP dan KK yang bersangkutan, dan
  3. Akta pencatatan sipil yang berkaitan dengan peristiwa penting lainnya.[11]

Lebih lanjut terkait pencatatan peristiwa penting lainnya tersebut menurut Pasal 97 ayat (4) Perpres 25/2008 dilakukan dengan cara:

  1. Pelapor mengisi dan menyerahkan formular pencatatan peristiwa penting lainnya dengan melampirkan persyaratan-persyaratan tersebut.
  2. Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana Pejabat Pencatatan Sipil pada Instansi pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana melakukan verifikasi dan validasi berkas pelaporan peristiwa penting lainnya dan mencatat serta merekam dalam register peristiwa penting lainnya pada database kependudukan.
  3. Pejabat Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana membuat catatan pinggir pada register Akta Pencatatan Sipil dan Kutipan Akta Pencatatan Sipil.[12]

 

[1] Yeremia Sekoyo. “Pengadilan Kabulkan Pergantian Status Jenis Kelamin Aprilia Manganang”. Berita Satu https://www.beritasatu.com/nasional/748029/pengadilan-kabulkan-pergantian-status-jenis-kelamin-aprilia-manganang , 2021.

[2] Resa Esnir. “Sidang Perubahan Status Jenis Kelamin Prajurit TNI”. Hukum Online https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt6054a3cd9aa52/sidang-perubahan-status-jenis-kelamin-prajurit-tni , 2021.

[3] Mochammad Fauzi Aldy. “ Analisis Yuridis Perkawinan Bagi Pasangan yang Sudah Berganti Jenis Kelamin di Indonesia Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Hukum Islam”. Tesis FH USU. Medan:2017. Hal 43-44.

[4] Ibid. Hal 44.

[5] M. Rizky Firdaus, dkk. “Prosedur Permohonan Transeksual (studi kasus Penetapan No. 15/PDT.P/2015/PN.SMD)”. Jurnal Hukum Respublica Vol. 18 No. 1. Malang: 2018.

[6] Antyo Rentjoko. “Jika Anda Ingin Ganti Status Kelamin”. Lokadata https://lokadata.id/artikel/jika-anda-ingin-ganti-status-kelamin-21096 , 2015.

[7] Marina Kurniawati, dkk. “Tinjauan Yuridis Status Keperdataan Pelaku Transeksual (Studi Kasus Penetapan Pengadilan Negeri Kabupaten Semarang Nomor 518/Pdt.P/2013/PN.Ung)”. Diponegoro Law Journal Vol. 6 No. 2. 2017. Hal. 7-8.

[8] Ibid. hal 8-9

[9] Ibid. hal 9-10

[10] Ibid. Hal 14.

[11] Ibid.

[12] Ibid.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.