Syarat-Syarat Penunjukan BANI Sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa

Badan Arbitrase Nasional (selanjutnya disebut BANI) merupakan lembaga independen yang menyediakan jasa terkait arbitrase dan penyelesaian sengketa lain diluar Pengadilan. Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut UU AAPS) tidak disebutkan mengenai istilah BANI, melainkan dikenal dengan Lembaga Arbitrase yang didefinisikan dalam ketentuan Pasal 1 angka 8 UU AAPS. Lembaga Arbitrase menurut Pasal 1 angka 8 UU AAPS yaitu badan yang diipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai suatu sengketa, yang juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.

Syarat terpenting untuk dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa melalui BANI yaitu diperlukan adanya Perjanjian Arbitrase antara para pihak yang bersengketa sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 UU AAPS. Dalam Pasal 1 angka 1 UU AAPS menyebutkan bahwa :

“Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”

Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase harus didasarkan atas perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis. Perjanjian arbitrase dapat dibuat oleh para pihak dalam klausula perjanjian sebelum terjadinya sengketa atau dibuat perjanjian tersendiri oleh para pihak setelah timbul sengketa sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1 angka UU AAPS. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa sengketa tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase sebagaimana ketentuan dalam Pasal 2 UU AAPS. Namun, apabila para pihak telah terikat dalam perjanjian arbitrase, maka Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa tersebut sebagaimana ketentuan dalam Pasal 3 UU AAPS.

Pasal 5 ayat (2) juncto Pasal 9 ayat (1) UU AAPS menyebutkan bahwa persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dimuat dalam sebuah dokumen dan ditandatangani oleh para pihak. Apabila para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tersebut, maka perjanjian harus dibuat dalam bentuk akta notaris. Untuk melakukan penyelesaian sengketa melalui arbitrase, pemohon harus memberitahukan dengan surat tercatat, telegram, teleks, faksimili, e-mail atau dengan buku ekspedisi kepada termohon sebagaimana ketentuan dalam Pasal 8 ayat (2) UU AAPS yang didalamnya harus memuat dengan jelas hal-hal sebagai berikut :

 

    1. nama dan alamat para pihak;
    2. penunjukan kepada klausula atau perjanjian arbitrase yang berlaku;
    3. perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa;
    4. dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut, apabila ada;
    5. cara penyelesaian yang dikehendaki; dan
    6. perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbiter atau apabila tidak pernah diadakanperjanjian semacam itu, pemohon dapat mengajukan usul tentang jumlah arbiter yang dikehendakidalam jumlah ganjil.

 

 

Selain itu, dalam perjanjian arbitrase juga harus dinyatakan secara eksplisit bahwa para pihak setuju untuk menyelesaikan sengketa melalui BANI.

Apabila para pihak memilih menyelesaikan sengketa melalui arbitrase setelah terjadinya sengketa, maka dalam perjanjian arbitrase yang disetujui oleh para pihak wajib memuat hal-hal sebagaimana yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 9 ayat (3) UU AAPS, diantaranya :

 

    1. masalah yang dipersengketakan;
    2. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
    3. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase;
    4. tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;
    5. nama lengkap sekretaris
    6. jangka waktu penyelesaian sengketa;
    7. pernyataan kesediaan dari arbiter; dan
    8. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yangdiperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase

 

 

Apabila perjanjian arbitrase yang dibuat diantara para pihak tidak memuat hal sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 9 ayat (3) UU AAPS, maka perjanjian dapat dinyatakan batal demi hukum sebagaimana ketentuan Pasal 9 ayat (4) UU AAPS. Apabila perjanjian batal demi hukum, maka perjanjian dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah ada suatu perikatan, sehingga tidak dapat dilakukan permohonan penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Berdasarkan Peraturan dan Prosedur Arbitrase yang diterbitkan oleh BANI dan berlaku sejak tanggal 1 Januari 2018 dalam Subbab Pendapat yang Mengikat dan Klausula Arbitrase disebutkan bahwa BANI menyarankan kepada para pihak yang ingin menggunakan arbitrase BANI, untuk mencantumkan dalam perjanjian klausula standart sebagai berikut :

“Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan administrasi dan peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa sebagai keputusan tingkat pertama dan terakhir”

Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah diuraikan tersebut, maka jika ingin menyelesaikan sengketa dengan cara arbitrase, maka perlu diperhatikan hal-hal yang harus dimuat dalam perjanjian arbitrase sebelum diajukannya permohonan penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.