Syarat, Prosedur dan Akibat Hukum Konsolidasi Perusahaan

Konsolidasi merupakan peleburan dua atau lebih perusahaan. Menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) j.o Pasal 109 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker), menjelaskan definisi konsolidasi sebagai berikut.

Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum Perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum.

Proses konsolidasi perusahaan tersebut tentunya membutuhkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan proses konsolidasi. Setiap proses baik konsolidasi, merger, ataupun akuisisi harus memperhatikan tiga hal, sebagaimana diatur dalam Pasal 126 UUPT, yakni.

  • Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan Perseroan;
  • Kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan; dan
  • Masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan

Proses konsolidasi perusahaan memiliki prosedur yang sama dengan proses merger. Secara garis besar prosedur yang ditempuh adalah pembuatan rancangan peleburan oleh direksi, pengajuan kepada komisaris, untuk kemudian disepakati melalui RUPS. Pasal 124 UUPT menegaskan bahwa prosedur merger berlaku mutatis mutandis terhadap proses konsolidasi. Oleh sebab itu, proses konsolidasi juga mengacu pada pasal 123 UUPT yang diuraikan sebagai berikut.

  • “Direksi Perseroan yang akan menggabungkan diri dan menerima Penggabungan menyusun rancangan Penggabungan.
  • Rancangan Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurang-kurangnya:
  1. nama dan tempat kedudukan dari setiap Perseroan yang akan melakukan Penggabungan;
  2. alasan serta penjelasan Direksi Perseroan yang akan melakukan Penggabungan dan persyaratan Penggabungan;
  3. tata cara penilaian dan konversi saham Perseroan yang menggabungkan diri terhadap saham Perseroan yang menerima Penggabungan;
  4. rancangan perubahan anggaran dasar Perseroan yang menerima Penggabungan apabila ada;
  5. laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf a yang meliputi 3 (tiga) tahun buku terakhir dari setiap Perseroan yang akan melakukan Penggabungan;
  6. rencana kelanjutan atau pengakhiran kegiatan usaha dari Perseroan yang akan melakukan Penggabungan;
  7. neraca proforma Perseroan yang menerima Penggabungan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia;
  8. cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan karyawan Perseroan yang akan melakukan Penggabungan diri;
  9. cara penyelesaian hak dan kewajiban Perseroan yang akan menggabungkan diri terhadap pihak ketiga;
  10. cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap Penggabungan Perseroan;
  11. nama anggota Direksi dan Dewan Komisaris serta gaji, honorarium dan tunjangan bagi anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan yang menerima Penggabungan;
  12. perkiraan jangka waktu pelaksanaan Penggabungan;
  13. laporan mengenai keadaan, perkembangan, dan hasil yang dicapai dari setiap Perseroan yang akan melakukan Penggabungan;
  14. kegiatan utama setiap Perseroan yang melakukan Penggabungan dan perubahan yang terjadi selama tahun buku yang sedang berjalan; dan
  15. rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang sedang berjalan yang mempengaruhi kegiatan Perseroan yang akan melakukan Penggabungan
  • Rancangan Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris dari setiap Perseroan diajukan kepada RUPS masing-masing untuk mendapat persetujuan.”

Berdasarkan rumusan pasal tersebut, selain memberikan gambaran mengenai prosedur konsolidasi, secara implisit tergambar peranan masing-masing berangkat dalam perusahaan. Konsolidasi perusahaan diinisiasi oleh Direksi masing-masing perusahaan, dan Dewan Komisaris berperan untuk menyetujui. Adapun penentuan konsolidasi perusahaan ditentukan melalui RUPS.

Pada perseroan tertentu, yakni perseroan yang bergerak di bidang keuangan, baik bank maupun non-bank, terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Syarat konsolidasi pada bank diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1999 tentang merger, akuisisi, dan konsolidasi bank (PP 28/1999). Inisiasi konsolidasi dapat berasal dari internal bank yang bersangkutan maupun di luar bank yang bersangkutan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 3 PP 28/1999, bahwa “Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank dapat dilakukan atas: a. inisiatif Bank yang bersangkutan; atau b. permintaan Bank Indonesia; atau c. inisiatif badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka penyehatan perbankan.” Selain itu, perbedaan lainnya adalah setelah melalui RUPS atau sejenisnya, konsolidasi idak serta merta telah terjadi. Namun harus mendapatkan izin dari Pimpinan Bank Indonesia. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 4 PP 28/1999.

  1. “Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank yang dilakukan atas inisiatif Bank yang bersangkutan, wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari Pimpinan Bank Indonesia.
  2. Kewajiban untuk terlebih dahulu memperoleh izin dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berlaku pula untuk Merger dan Konsolidasi yang dilakukan atas inisiatif badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka penyehatan perbankan.”

Selain itu, dikenal pula konsolidasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) baik yang berbentuk Perusahaan Perseroan ataupun yang berbentuk Perusahaan Umum (Perum). Mengenai syarat dan prosedur untuk perusahaan perseroan, tunduk pada UUPT. Namun, kendati demikian terdapat pengkhususan dalam hal inisiasi konsolidasi perusahaan. BUMN baik yang berbentuk Perseroan atau Perum, inisiasi peleburan dilakukan oleh menteri. Hal tersebut diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2005 (PP 43/2005) yang menyatakan bahwa “Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan BUMN diusulkan oleh Menteri kepada Presiden disertai dengan dasar pertimbangan setelah dikaji bersama dengan Menteri Keuangan.”  Kemudian, perbedaan signifikan lainnya adalah persetujuan konsolidasi Perum ada di Menteri. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 6 PP 43/2005, bahwa “Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 hanya dapat dilakukan dengan persetujuan RUPS untuk Persero dan Menteri untuk Perum.” Begitupun hasil persetujuan baik perusahaan perseroan maupun Perum ditetapkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Hal tersebut diuraikan pada Pasal 4 PP 43/2005 yang menyatakan, “Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan BUMN ditetapkan dengan peraturan pemerintah.”

Adanya perbuatan hukum berupa konsolidasi membawa implikasi hukum terhadap perusahaan. Misalnya bagi perusahaan yang meleburkan diri, maka aktiva dan pasivanya beralih ke perusahaan hasil peleburan. Selain itu, pemegang sahamnya pun beralih status menjadi pemegang saham perusahaan hasil peleburan. Ketentuan peraturan perundang-undangan  menegaskan secara eksplisit bahwa status badan hukum dari perusahaan yang meleburkan diri akan hilang setelah dilakukannya peleburan. Implikasinya adalah identitas perusahaan seperti nama, tidak dapat digunakan lagi. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa identitas perusahaan yang digunakan setelah konsolidasi adalah identitas perusahaan baru. Implikasi lain dari adanya konsolidasi selain berkaitan dengan identitas perusahaan, juga berkaitan dengan keterikatan perusahaan dengan pihak ketiga. UUPT tidak memberikan penjelasan spesifik mengenai hal-hal apa saja yang menjadi dampak terhadap pihak ketiga setelah adanya konsolidasi. Namun di dalam Pasal 123 UUPT yang mengatur tentang prosedur penggabungan yang berlaku juga dalam hal konsolidasi, mengatur bahwa di dalam rencana konsolidasi, harus memberikan gambaran mengenai cara penyelesaian hak dan kewajiban perseroan terhadap pihak ketiga. Hal tersebut secara spesifik terdapat pada Pasal 123 ayat (2) huruf i UUPT yang menyatakan bahwa rancangan penggabungan memuat, salah satunya “cara penyelesaian hak dan kewajiban Perseroan yang akan menggabungkan diri terhadap pihak ketiga;”

Dampak lain dari konsolidasi adalah mengenai karyawan perusahaan. Tentunya terdapat penyesuaian hak dan kewajiban setelah terjadinya konsolidasi. Bahkan konsolidasi dapat menjadi pintu gerbang terjadinya pemutusan hubungan kerja. Hal tersebut dimungkinkan dengan merujuk pada Pasal 81 angka 42 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) yang di dalamnya memberikan uraian bahwa pemutusan hubungan kerja dapat terjadi salah satunya karena merger perusahaan.

Pasal 154A ayat (1) “Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan: a. perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh;”

Itulah berbagai dampak yang terjadi terhadap perusahaan yang memutuskan untuk melakukan konsolidasi (peleburan). Mulai dari perubahan  identitas, hak dan kewajiban terhadap pihak ketiga, hingga ke karyawan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari adanya konsolidasi. perusahaan.

 

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.