Syarat dan Tata Cara Mengurus Perizinan Perijinan Impor

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2017 tentang Cara Pembayaran Barang dan Cara Penyerahan Barang Dalam Kegiatan Ekspor Impor (selanjutnya disebut PP 29/2017), Impor diartikan sebagai kegiatan memasukkan barang ke daerah pabean. Daerah pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara diatasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang didalamnya berlaku peraturan perundang-undangan kepabeanan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (selanjutnya disebut UU Kepabeanan). Sedangkan orang atau badan yang melakukan impor disebut dengan importir. Syarat untuk menjadi Importir yaitu[1] :

  1. Memiliki Angka Pengenal Importir (API) yang merupakan tanda pengenal sebagai importir sebagaimana ketentuan Pasal 3 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 54/M-DAG/PER/10/2009 tentang Ketentuan Umum Di Bidang Impor (selanjutnya disebut Permendag 54/2009). API terbagi dua API Umum dan API  Produsen , bagi UKM API tersebut dapat  diurus  di  Dinas Perdagangan setempat . sedangkan untuk migas dan untuk PMA dan PMDN/PMA  masing – masing dapat diurus  di Kemendag cq Dirjen Perdagangan Luar Negeri dan Badan Koordinasi Penaman Modal (BKPM);
  2. Importer lebih dahulu  dapat memahami   Peraturanmendag 54/2009, termasuk dalam kelompok produk impor apakah  produk yang akan diimpor, yang intinya  kelompok barang impor  terbagi menjadi 3 yaitu : produk yang diatur, dilarang dan bebas impornya, masing –masing kelompok  memiliki   persyaratan sendiri yang berbeda;
  3. Selajutnya ijin  importasi  dapat diberikan  bagi  importer yang telah memiliki   Nomor Identitas Kepabeanan (NIK) atau Nomor Registrasi Importir (SPR). Sehingga   Perusahaan terlebih dahulu harus mengajukan permohonan ke Direktorat Jendral Bea dan Cukai untuk mendapatkan NIK/SPR;

Sedangkan syarat-syarat untuk melakukan Impor secara umum yaitu sebagai berikut [2] :

  1. NPWP;
  2. API;
  3. Tanda Daftar Perusahaan (TDP);
  4. Izin Usaha Industri (IUI) atau Izin Usaha Lain Yang Sejenis;
  5. Fotokopi Akta Pendirian Perusahaan beserta Perubahannya;
  6. Rekomendasi Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil dan Aneka, Kementerian Perindustrian;
  7. Surat Pernyataan Rencana Impor Barang (RIB) dalam 1 (satu) tahun yang mencakup jenis barang, klasifikasi barang/Pos Tarif/HS 10 (sepuluh) digit, jumlah, negara asal atau pelabuhan muat, dan pelabuhan tujuan;
  8. Surat Keterangan Pencantuman Label dalam Bahasa Indonesia Barang impor;

Sedangkan prosedur umum proses impor di Indonesia dapat dilakukan melalui Indonesia National Single Window (INSW) sebagai berikut[3] :

  1. Importir mencari supplier barang sesuai dengan yang akan diimpor;
  2. Setelah terjadi kesepakatan harga, importir membuka Letter of Credit (L/C) di bank devisa dengan melampirkan PO mengenai barang-barang yang mau diimpor. kemudian antar Bank ke Bank Luar Negeri untuk menghubungi Supplier dan terjadi perjanjian sesuai dengan perjanjian isi L/C yang disepakati kedua belah pihak;
  3. Barang–barang dari Supplier siap untuk dikirim ke pelabuhan pemuatan untuk diajukan;
  4. Supplier mengirim faks ke Importer document Bill of Lading (B/L), Inv, Packing List dan beberapa dokumen lain jika disyaratkan (Serifikat karantina, Form E, Form D, dsb);
  5. Original dokumen dikirim via Bank / original kedua ke importir;
  6. Pembuatan/ pengisian dokumen Pengajuan Impor Barang (PIB). Jika importir mempunyai Modul PIB dan EDI System sendiri maka importir bisa melakukan penginputan dan pengiriman PIB sendiri. Akan tetapi jika tidak mempunyai maka bisa menghubungi pihak Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK) untuk proses input dan pengiriman PIB nya.;
  7. Dari PIB yang telah dibuat, akan diketahui berapa Bea masuk, PPH dan pajak yang lain yang akan dibayar. Selain itu Importir juga harus mencantumkan dokumen kelengkapan yang diperlukan di dalam PIB;
  8. Importir membayar ke bank devisa sebesar pajak yang akan dibayar ditambah biaya PNBP;
  9. Bank melakukan pengiriman data ke Sistem Komputer Pelayanan (SKP) Bea dan Cukai secara online melalui media Pertukaran Data Elektronik (PDE);
  10. Importir mengirimkan data PIB ke SKP Bea dan Cukai secara online melalui media Pertukaran Data Elektronik (PDE);
  11. Data PIB terlebih dahulu akan diproses di Portal INSW untuk proses validasi kebenaran pengisian dokumen PIB dan proses verifikasi perijinan (Analizing Point) terkait Lartas;
  12. Jika ada kesalahan maka PIB akan direject dan importir harus melakukan pembetulan PIB dan mengirimkan ulang kembali data PIB;
  13. Setelah proses di portal INSW selesai maka data PIB secara otomatis akan dikirim ke SKP Bea dan Cukai;
  14. Kembali dokumen PIB akan dilakukan validasi kebenaran pengisian dokumen PIB dan Analizing Point di SKP;
  15. Jika data benar akan dibuat penjaluran;
  16. Jika PIB terkena jalur hijau maka akan langsung keluar Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB);
  17. Jika PIB terkena jalur merah maka akan dilakukan proses cek fisik terhadap barang impor oleh petugas Bea dan Cukai. Jika hasilnya benar maka akan keluar SPPB dan jika tidak benar maka akan dikenakan sanksi sesuai undang-undang yang berlaku;
  18. Setelah SPPB keluar, importir akan mendapatkan respon dan melakukan pencetakan SPPB melalui modul PIB;
  19. Barang bisa dikeluarkan dari pelabuhan dengan mencantumkan dokumen asli dan SPPB.

Jalur hijau dan jalur merah yang dimaksud dalam tahapan proses ke- 16 dan 17 merupakan pembagian jalur berdasarkan atas barang yang akan dikirim. Pasal 1 angka 8 Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-26/BC/2016 tentang Tata Laksana Pengeluaran Barang Dari Tempat Penimpunan Berikat Ke Tempat Penimbunan Berikat Lain (selanjutnya disebut Peraturan Bea Cukai 26/2016) menyebutkan bahwa jalur hijau adalah proses pelayanan dan pengawasan pemasukan atau pengeluaran barang dengan dilakukan penelitian dokumen tanpa pemeriksaan fisik barang. Sedangkan jalur merah merupakan proses pelayanan dan pengawasan pemasukan atau pengeluaran barang dengan dilakukan penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik barang sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 9 Peraturan Bea Cukai 26/2016. Selain jalur hijau dan merah, juga terdapat jalur kuning yang merupakan jalur terhadap barang tanpa melalui pemeriksaan fisik barang, tetapi dokumennya tidak lengkap.

Berdasarkan ketentuan Pasal 5 PP 29/2017 dinyatakan bahwa pembayaran barang dalam kegiatan impor dapat menggunakan cara pembayaran imbal dagang atau cara pembayaran barang dalam bentuk lainnya. Imbal dagang itu sendiri dapat didefinisikan sebagai cara pembayaran barang yang mewajibkan penjual untuk mengimpor barang dari pembeli sejumlah nilai atau presentase tertentu dari harga barang eskpornya.[4] Cara pembayaran imbal dagang yang dimaksud yaitu berupa barter, imbal beli, buyback, dan off set sebagaimana ketentuan Pasal 6 ayat (2) PP 29/2017. Sedangkan penyerahan barang untuk barang impor tertentu wajib menggunakan cara penyerahan Free on Board sebagaimana ketentuan Pasal 10 PP 29/2017.

[1] http://djpen.kemendag.go.id/app_frontend/accepted_rsses/view/50f4f70d-633c-4b88-a2e2-01510a1e1e48

[2] http://inatrade.kemendag.go.id/index.php/perijinan/get_perijinan_detail/010035/2

[3] http://djpen.kemendag.go.id/app_frontend/accepted_rsses/view/50f4f70d-633c-4b88-a2e2-01510a1e1e48

[4] http://ditjendaglu.kemendag.go.id/index.php/home/detail_news/428

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.