Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan

Tafsiran umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menegaskan di dalamnya tidak hanya tentang acara pidana, melainkan juga memuat hak dan kewajiban pada saat proses penyidikan berlangsung. Salah satu aturan yang terkait dengan prosedur penyidikan ditentukan dalam Pasal 109 KUHAP yang berisikan perihal kewajiban penyidik yang berbunyi

  • Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.
  • Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.
  • Dalam hal penghentian tersebut pada ayat (2) dilakukan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, pemberitahuan mengenai hal itu segera disampaikan kepada penyidik dan penuntut umum.

Menurut ketentuan Pasal 109 Ayat (1), mengisyaratkan jika Penyidik Kepolisian memulai penyidikan akan suatu kasus tindak pidana, maka Penyidik Kepolisian berkewajiban untuk memberitahukan hal tersebut kepada Penuntut Umum. Artikel kali ini membahas terkait dengan maksud pemberitahuan dimulainya penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 109 Ayat (1) KUHAP di atas.

KUHAP sendiri tidak memberikan definisi terkait hal maksud pemberitahuan dimulainya penyidikan tersebut, namun dalam Pasal 1 Angka 16 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana (Perkapolri 6/2019) memberikan pengertian bahwa:

Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan yang selanjutnya disingkat SPDP adalah surat pemberitahuan kepada Kepala Kejaksaan tentang dimulainya penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Polri.

Secara definisi pemberitahuan yang dimaksud dalam KUHAP dengan Perkapolri 6/2019 tidak jauh berbeda. Perlu diketahui bahwa keberadaan SPDP dalam sistem peradilan pidana merupakan aktualisasi prinsip Dominus Litis serta upaya koordinasi antara Penuntut Umum dengan Penyidik Kepolisian. Selain itu, juga sebagai sarana kontrol terhadap suatu perkara untuk menjamin nilai-nilai Due Process of Law dan mencegah terjadinya suatu pelanggaran atau tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Penyidik Kepolisian terhadap Tersangka. Mengingat lahirnya KUHAP mendasarkan pada prinsip keseimbangan Hak asasi manusia dan kewajiban Hak asasi manusia, sehingga negara sebagai pembentuk undang-undang memelihara dan mempertimbangkan keseimbangan kekuasaan alat-alat kekuasaan Negara, dalam hal ini Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan untuk menjalankan Sistem Peradilan Pidana.[1]

Dalam Pasal 13 Ayat (3) Perkapolri 6/2019, SPDP dibuat setelah surat perintah penyidikan diterbitkan oleh Penyidik Kepolisian. Mulanya SPDP hanya dikirimkan kepada Penuntut Umum sebagaimana rumusan dalam Pasal 109 Ayat (1) KUHAP.,namun sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 130/PUU-XIII/2015 yang menyatakan Pasal 109 Ayat (1) KUHAP inskonstitusional bersyarat sepanjang frasa “penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum” tidak dimaknai “penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”.[2]

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memberikan implikasi dalam pelaksanaan pemberian SPDP yang semula penyidik hanya perlu memberikan SPDP kepada Penuntut Umum, menjadi wajib memberikan kepada Terlapor dan Pelapor/Korban serta diberikan limitatif waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterbitkan surat perintah penyidikan. Hal ini juga diatur dalam Pasal 14 Ayat (1) Perkapolri 6/2019 yang berbunyi:

  • SPDP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dikirimkan kepada penuntut umum, pelapor/korban, dan terlapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan.

Perubahan terhadap ketentuan penyampaian SPDP merupakan suatu terobosan untuk memperkuat posisi Penuntut Umum sebagai pengendali suatu perkara pidana serta memberikan ruang kepada Tersangka untuk mempersiapkan pembelaan serta sebagai informasi bagi Pelapor/Korban bahwa kasusnya telah naik ketahap selanjutnya.[3] Adapun mengenai hal-hal yang dimuat dalam SPDP adalah sebagai berikut:

  1. Dasar penyidikan berupa laporan polisi dan Surat Perintah Penyidikan;
  2. Waktu dimulainya penyidikan;
  3. Jenis perkara, pasal yang dipersangkakan dan uraian singkat tindak pidana yang disidik;
  4. Identitas tersangka; dan
  5. Identitas pejabat yang menandatangani SPDP

Dengan demikian SPDP merupakan bagian penting dalam perkara pidana, khususnya dalam dalam proses peradilan pidana. Penyidik Kepolisian dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya guna melaksanakan penyidikan berkewajiban memberikan informasi kepada Penuntut Umum, Pelapor/Korban dan Terlapor tentang dimulainya suatu proses penyidikan. Selain itu dapat diketahui bahwa SPDP bukan sesuatu yang bersifat prosedural melainkan untuk memperkuat peran dari Penuntut Umum, menjalankan prinsip due process of law dan menjamin perlindungan hak asasi manusia.

 

Penulis: Rizky P.J.

Editor: R. Putri J. & Mirna R.

[1] Marcus Priyo Gunarto, Faktor Historis, Sosiologis, Politis dan Yuridis dalam Penyusunan RUU HAP, Jurnal Mimbar Hukum, Volume 25. Nomor 1 Februari 2013

[2] Putusan Mahakamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015

[3] Trias Saputra & Jatarda Mauli Hutagalung, Pentingnya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) Bagi Para Pihak Demi Terciptanya Due Proces of Law, Jurnal IBLAM Law Review Voume 2, Nomor 02, Mei 2022

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.