Sultan Ground

Sultan Ground mungkin tidak banyak didengar oleh masyarakat. Apabila melihat sistem pemerintahan Indonesia, Indonesia merupakan negara Kesatuan yang berbentuk Republik Presidensial. Kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dipegang oleh Presiden, dan seluruh daerah harus mengikuti kebijakan pemerintah pusat kecuali dalam beberapa kebijakan sebagai akibat adanya otonomi daerah. Namun demikian, situasi dan kondisi negara yang terdiri atas ribuan pulau dan banyak suku tersebut, pada akhirnya harus mempertahankan kesatuan negara. Oleh karena itu perbedaan dalam setiap daerah harus dihargai pula oleh Pemerintah Pusat.

Meski Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah hanya memberikan beberapa kewenangan kepada pemerintahan daerah sebagai bentuk otonomi, namun terdapat beberapa daerah yang diistimewakan, baik dari segi bentuk, kewenangan, maupun pemerintahan daerah tersebut. Sebagai contoh daerah-daerah yang diistimewakan diantaranya adalah Provinsi Naggroe Aceh Darussalam yang berdasar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, diperkenankan untuk menggunakan ketentuan-ketentuan Syariah dalam penegakan hukumnya, diantaranya adalah hukum cambuk yang sama sekali tidak dikenal dalam KUH Pidana. Di samping itu, ada pula Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UU Keistimwaan DIY).

Pembentukan dan kekhususan bagi Daerah Istimewa Yogyakarta pada dasarnya telah ada bahkan sejak tahun 1950, yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 (UU Pembentukan DIY). Berdasar UU Keistimewaan DIY, Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki kedudukan yang setara dengan provinsi, dan Gubernur dijabat oleh Sultan Hamengkubuwono yang menjabat sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2) huruf b UU Keistimewaan Yogyakarta yang menyatakan:

“surat pengukuhan yang menyatakan Sultan Hamengku Buwono bertakhta di Kasultanan dan surat pengukuhan yang menyatakan Adipati Paku Alam bertakhta di Kadipaten, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c Uniknya dalam UU Keistimewaan DIY diatur tentang kepemilikan tanah oleh Kesultanan”

Jika membaca isi pasal tersebut, maka akan diperoleh kembali keunikan Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu kepemilikan tanah oleh kesultanan atau yang juga disebut Sultan Ground.

Pasal 32 ayat (1) UU Keistimewaan DIY, disebutkan bahwa kesultanan dinyatakan sebagai badan hukum. Sebagaimana kita ketahui, badan hukum adalah subyek hukum yang memiliki hak dan kewajiban, dan Pasal 32 ayat (2) UU Keistimewaan DIY menyebut bahwa Kesultanan memiliki hak milik atas tanah Kesultanan. Adapun dalam Pasal 1 butir 3 UU Keistimewaan DIY memberikan pengertian:

“Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, selanjutnya disebut Kasultanan, adalah warisan budaya bangsa yang berlangsung secara turun-temurun dan dipimpin oleh Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah, selanjutnya disebut Sultan Hamengku Buwono”

Fungsi tanah kesultanan tersebut diatur dalam Pasal 32 ayat (5) UU Keistiwaan DIY yaitu:

“Kasultanan dan Kadipaten berwenang mengelola dan memanfaatkan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten ditujukan untuk sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat”

Adapun dalam Pasal 33 diatur bahwa Tanah Kesultanan didaftakan di Kantor Pertanahan.

Keistimewaan-keistimewaan yang diberikan kepada Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut tidak terlepas dari bentuk apresiasi sekaligus penghargaan dari Pemerintah Indonesia yang memerdekakan dirinya pada tanggal 17 Agustus 1945 tersebut dikarenakan Kesultanan Yogyakarta dan Pakualaman memplokamirkan dirinya untuk turut serta dalam daerah kesaturan Republik Indonesia. Suatu kerajaan yang sesungguhnya memiliki hak untuk memerintah negaranya sendiri tersebut, justru menundukkan diri dan bergabung dalam negara kesatuan yang berbentuk Republik.

Pada dasarnya, jika melihat pada peraturan-peraturan daerah lainnya, kepemilikan tanah oleh pemerintah daerah juga dikenal di dalamnya. Salah satu contohnya adalah surat ijo yang dikenal di daerah Surabaya, dimana Pemerintah Kota Surabaya selaku pemilik hak atas tanah kemudian mengambil retribusi dari pihak-pihak yang secara sah dan terdaftar menggunakan tanah tersebut. Namun demikian, apabila Surat Ijo dimiliki pemerintahan daerah yang kepala pemerintahannya dapat berganti-ganti sesuai dengan pelaksanaan pemilu sebagai bentuk demokrasi, tanah kesultanan dimiliki oleh Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang kepemimipanannya adalah secara turun temurun.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.