Status Waris Setelah Adanya Pengakuan Anak

Warisan adalah segala sesuatu peninggalan yang diturunkan oleh pewaris yang sudah meninggal kepada ahli waris. Dasar hukum mengenai waris di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPer), Hukum Adat dan Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI). Berdasarkan ketiga dasar hukum tersebut, maka sistem waris di Indonesia terdapat 3 (tiga) jenis yaitu waris barat yang berlandaskan atas KUHPer, waris Islam yang berlandaskan KHI, dan waris adat yang berlandaskan atas hukum adat yang berlaku di setiap daerah. Prinsip dasar dalam hukum waris yaitu apabila terjadi suatu kematian sebagaimana ketentuan dalam Pasal 830 KUHPer dan keluarga sedarah sebagaimana ketentuan dalam Pasal 832 KUHPer. Pewarisan dapat dilakukan jika pewaris dapat dibuktikan memiliki hubungan hukum dengan ahli waris. Jika pewaris dan ahli waris terbukti memiliki hubungan hukum, maka pewarisan dapat dengan segera dilaksanakan. Namun, hal yang menjadi persoalan, yaitu ketika seorang anak dilahirkan diluar kawin, bagaimanakah status waris anak tersebut?

Pada dasarnya hubungan hukum antara anak dengan kedua orang tua dapat dibuktikan dengan adanya Akta Kelahiran. Dalam proses pelaporan dan pembuatan Akta Kelahiran membutuhkan adanya Kutipan Akta Nikah/Bukti Perkawinan. Apabila pemohon tidak dapat menunjukkan bukti tersebut Akta Kelahiran tetap dapat diterbitkan, akan tetapi hanya dapat dicantumkan nama Ibunya saja. Hal yang demikian, secara ekplisit menjelaskan bahwa anak tersebut hanya memiliki hubungan hukum dengan Ibunya saja, sedangkan hubungan hukum dengan Ayahnya tidak dapat dibuktikan. Hal tersebut berlaku sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Pasca adanya putusan Mahkamah Konstitusi 46/PUU-VIII/2010 yang mengabulkan permohonan pemohon terkait ketentuan dalam pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan), pencantuman nama Ayah dalam Akta Kelahiran dapat dilakukan melalui pengajuan permohonan guna mendapatkan penetapan pengadilan. Putusan Mahkamah Konstitusi 46/PUU-VIII/2010 menyatakan bahwa dalam Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tidak bertentang dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UU ’45) selama dibaca sebagai berikut :

“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”;

Berdasarkan hal tersebut, di dalam Akta Kelahiran anak dapat dicantumkan nama Ayahnya apabila dapat dibuktikan bahwa ia memiliki hubungan darah melalui tes DNA.

Berbicara mengenai waris terhadap anak yang lahir diluar perkawinan, maka erat hubungannya dengan hubungan hukum sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Terkait pewarisan terhadap anak diluar kawin dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu hak waris anak diluar kawin non muslim dan hak waris anak diluar kawin muslim.

 

A. Hak Waris Anak Diluar Kawin Non Muslim 

Pasal 832 KUHPer menyatakan bahwa yang berhak menjadi ahli waris yaitu keluarga sedarah baik yang sah menurut undang-undang maupun yang diluar perkawinan. Berdasarkan hal itu, maka seorang anak yang lahir diluar perkawinan juga dapat menjadi ahli waris. Namun, anak luar kawin dapat menjadi ahli waris jika ia mempunyai hubungan hukum dengan pewaris. Hubungan hukum dengan pewaris tersebut timbul apabila adanya pengakuan. Pewarisan terhadap anak luar kawin melalui pengakuan diatur dalam ketentuan Pasal 862 sampai dengan Pasal 866 KUHPer dan Pasal 873 KUHPer. Besarnya bagian yang dapat diterima anak tergantung derajat hubungan dalam keluarga. Apabila pewaris meninggalkan seorang keturunan yang sah, maka anak diluar kawin mendapat bagian sepertiganya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 863 KUHPer. Namun, apabila pewaris tanpa meninggalkan keluarga sedarah dalam derajat yang diperkenankan mendapat warisan, maka anak di luar kawin yang diakui berhak menuntut seluruh warisan untuk dirinya sendiri sebagaimana ketentuan dalam Pasal 873 KUHPer.

B. Hak Waris Anak Diluar Kawin Muslim 

Pewarisan terhadap anak diluar perkawinan menurut sistem waris dalam KUHPer berbeda dengan sistem waris dalam hukum Islam. Warisan menurut konsep dasar hukum Islam memiliki syarat seperti adanya nasab. Nasab adalah keturunan darah atau hubungan-hubungan kekerabatan dalam hukum Islam melalui pernikahan yang sah secara agama. Apabila anak diluar kawin yang dimaksud adalah anak yang lahir tanpa adanya ikatan pernikahan diantara kedua orang tuanya sebelumnya, maka anak tersebut tidak dapat menjadi ahli waris karena syarat dalam waris Islam yaitu harus ada hubungan kekerabatan yang sah, sedangkan anak yang lahir diluar nikah dianggap tidak sah. Berbeda halnya jika anak yang dilahirkan dari kedua orang tua yang telah melakukan pernikahan yang sah secara agama Islam atau nikah siri, namun tidak didaftarkan ke Negara, maka status anak tersebut sah, sehingga secara agama ia dapat menjadi ahli waris yang sah pula. Terhadap besaran waris yang didapatkan dihitung berdasarkan ketentuan dalam hukum waris Islam.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.