Status Harta Wakaf; Perubahan dan 8 Prosedur Penukarannya

Pengertian dan Dasar Hukum Status Harta Wakaf

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut “KHI”) memuat beberapa aturan, salah satunya adalah tentang perwakafan. Menurut pasal 215 ayat 1 KHI pengertian wakaf adalah:

“Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam”.

Menurut Rofiq, pengertian wakaf yang ada pada pasal 215 ayat 1 KHI memuat lima cakupan yaitu:

  1. Harta benda milik seseorang atau sekelompok orang, Pernyataan itu dapat dipahami bahwa harta benda yang akan diwakafkan adalah benar dan sepenuhnya milik satu orang atau lebih. Artinya suatu harta benda dapat diwakafkan walaupun dimiliki oleh satu orang atau lebih;
  2. Harta benda tersebut bersifat kekal zatnya, tidak habis apabila dipakai;
  3. Pada kalimat “Yang memisahkan dari sebagian dari benda miliknya” menunjukkan bahwa harta benda yang telah diwakafkan terlepas dari kepemilikannya;
  4. Harta yang dilepas kepemilikannya tersebut, tidak dapat dihibahkan, diwariskan atau diperjualbelikan dan tidak dapat dilakukan secara sementara atau berjangka;
  5. Manfaat dari harta benda tersebut untuk kepentingan umum sesuai dengan ajaran Islam.[1]

 

Pengelola Wakaf (Nadzir)

Sistematika peraturan wakaf di dalam KHI terbagi dalam beberapa Bab. Terdapat 15 pasal dalam KHI yang membahas terkait perwakafan, yaitu dimulai dari pasal 215 KHI sampai pasal 229 KHI.

Dalam ketentuan wakaf di KHI dikenal adanya istilah Nadzir, yaitu kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.[2] Sebagaimana Pasal 219 KHI, persyaratan seseorang untuk dapat menjadi nadzir antara lain:

  1. Warga negara Indonesia;
  2. Islam;
  3. Sudah dewasa;
  4. Sehat jasmani dan rohani;
  5. Tidak berada di bawah pengampuan;
  6. Bertempat tinggal di kecamatan tempat letak benda yang diwakafkan.

Selain itu Pasal 215 Angka 6 KHI menyebutkan:

“Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf yang selanjutnya disingkat PPAIW adalah petugas pemerintah yang diangkat berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku, berkewajiban menerima ikrar dan wakif dan menyerahkannya kepada nadzir serta melakukan pengawasan untuk kelestarian perwakafan”

Ketentuan pendaftaran wakaf selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf (selanjutnya disebut UU Wakaf). UU wakaf menyatakan bahwa harta yang dijadikan wakaf wajib untuk didaftarkan kepada Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) atau nadzir yang kemudian diadministrasikan oleh Menteri dan Badan Wakaf Indonesia (BWI). UU wakaf selanjutnya memiliki aturan pelaksana yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf (PP Nomor 42/2006).

 

Prosedur Penukaran atau Perubahan Status Harta Benda Wakaf

Pasal 42 UU Wakaf memberikan kesempatan kepada nadzir untuk melakukan penukaran atau perubahan status benda wakaf. Penukaran atau perubahan tersebut dapat dilakukan berdasarkan prinsip syariah dan aturan perundang-undangan apabila harta benda wakaf tidak sesuai dengan fungsi, tujuan, produktivitas, dan peruntukannya.[3] Sehingga tujuan penukaran atau perubahan status benda wakaf adalah demi kepentingan umum dan produktifitas/efektifitas penggunaan harta benda wakaf itu sendiri.

Adanya  dilakukan dan diajukan oleh nadzir sebagaimana kewajibannya untuk mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai tujuan, fungsi, dan peruntukannya berdasarkan prinsip syariah. Dalam pelaksanaannya nadzir dilarang melakukan perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali atas dasar izin tertulis dari Badan Wakaf Indonesia (BWI).[4]

Pasal 40 UU Wakaf juga mengatur bahwa harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang untuk dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar, atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya. Kemudian diperjelas dalam Pasal 49 PP Nomor 42/2006 yang menyatakan:

(1) Perubahan status harta benda wakaf dalam bentuk penukaran dilarang kecuali dengan izin tertulis dari Menteri berdasarkan pertimbangan BWI.

(2) Izin tertulis dari Menteri pada ayat (1) hanya dapat diberikan dengan pertimbangan sebagai berikut:

a. Perubahan harta benda wakaf tersebut digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah,

b. Harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai dengan ikrar wakaf,

c. Pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan mendesak.

(3) Selain pertimbangan pada ayat (2), izin pertukaran harta benda wakaf hanya dapat diberikan jika:

a. Pengganti harta benda penukar memiliki sertifikat atau bukti kepemilikan sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan,

b. Nilai harta benda penukar lebih tinggi atau senilai dan seimbang dengan harta benda wakaf.”

Sedangkan prosedur penukaran harta benda wakaf yang akan diubah statusnya diatur dalam Pasal 51 PP Nomor 42/2006, sebagai berikut:

  1. Nadzir mengajukan permohonan tukar ganti kepada Menteri melalui Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan menjelaskan alasan perubahan status/tukar menukar tersebut;
  2. Kepala KUA Kecamatan meneruskan permohonan kepada Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota;
  3. Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota setelah menerima permohonan membentuk tim dengan susunan dan maksud seperti peraturan perundang-undangan yang ada, dan selanjutnya Bupati/Walikota setempat membuat Surat Keputusan;
  4. Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota meneruskan permohonan dengan dilampiri hasil penilaian dari tim kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi dan selanjutnya meneruskan permohonan tersebut kepada menteri;
  5. Setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri, maka tukar ganti dapat dilaksanakan dan hasilnya dilaporkan oleh Nadzir ke kantor pertanahan dan/atau lembaga terkait untuk pendaftaran lebih lanjut.[5]

 

Dengan demikian, status harta wakaf pada dasarnya dapat dilakukan perubahan dan bahkan dapat pula dilakukan penukaran atas harta wakaf tersebut. Perubahan dan penukaran tersebut dilakukan dengan syarat utama tetap sesuai dengan tujuan penggunaan benda wakaf itu sendiri. Adapun nilai dari benda wakaf yang ditukar harus sama atau lebih rendah dari nilai barang yang akan menjadi penggantinya nanti.

 

Penulis: Hasna M. Asshofri, S.H.

Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA., & Mirna R., S.H., M.H., CCD.

 

[1] M. Yusuf Said, “Perubahan Wakaf Menurut Kompilasi Hukum Islam”, Jurnal Pendidikan dan Konseling, 2, (Desember,2016), 62

[2] Pasal 215 Angka 5 Kompilasi Hukum Islam

[3] Pasal 44 UU Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

[4] Pasal 42 dan 44 UU Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

[5] Pasal 51 PP Nomor 42 Tahun 2006

 

Status Harta Wakaf; Status Harta Wakaf; Status Harta Wakaf; Status Harta Wakaf; Status Harta Wakaf; Status Harta Wakaf; Status Harta Wakaf; Status Harta Wakaf

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.