Sistem Hukum Pidana di Indonesia
Dalam kehidupan bermasyarakat pasti membutuhkan hukum untuk mencapai sebuah kesejahteraan bersama. Pembentukan hukum yang berlaku mempunyai tujuan, yaitu untuk mengatur serta membatasi berbagai macam aktivitas masyarakat agar terbentuknya suatu tatanan hidup yang aman, tertib, dan berkeadilan. Hukum sendiri dapat berupa peraturan yang berisi perintah atau larangan untuk melakukan sesuatu, dalam penerapan peraturan tersebut, salah satunya agar masyarakat terlindungi dari berbagai ancaman dan kejahatan.
Sebagai negara yang dijajah dan belum memiliki ketentuan hukum pidananya sendiri, Indonesia masih menggunakan hukum pidana barat atau yang dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Di samping itu, Indonesia sebagai negara dengan banyak suku, juga mengenal hukum Pidana Adat. Keduanya merupakan hukum yang berjalan secara beriringan. Akan tetapi, hukum pidana adat tidak termuat dalam peraturan baku maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang dibentuk secara khusus, sehingga dalam pelaksanaannya, hukum pidana adat tidak mempunyai kepastian dan perlindungan hukum.
Hukum Pidana Adat merupakan pencerminan kehidupan masyarakat Indonesia yang memiliki adat berbeda-beda sesuai dengan adat-istiadat yang ada di daerah tersebut dengan ciri khas tidak terkodifikasikan. Pada dasarnya hukum pidana adat adalah hukum yang akan terus berdiri selama ada manusia dan budaya, serta tidak akan terhapus dengan atau oleh Peraturan Perundang-Undangan. Jika dilihat dari perspektif normatif, teoritis, asas dan praktik dimensi dasar hukum dan eksistensi keberlakuan hukum pidana adat di Indonesia berdasarkan pada ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil (LN 1951 Nomor 9). Namun, secara formil Hukum pidana adat belum diatur dalam suatu aturan yang baku, dimana tata cara beracaranya pun belum diatur dalam hukum positif Indonesia dan secara formal tidak diakui atau tidak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 Tahun 1981.
Dalam hukum adat terdapat 2 (dua) unsur yang dapat membentuk kewajiban dari pada hukum adat tersebut, diantaranya:
- Unsur kenyataan, unsur ini menyatakan bahwa adat itu selalu dalam keadaan konstan (sama) setiap waktunya yang selalu ditaati oleh setiap anggota masyarakat adat tersebut; dan
- Unsur Psikologis, unsur ini menerangkan bahwa masyarakat adat meyakini jika hukum adat yang dimaksud mempunyai kekuatan hukum.
Selanjutnya, sistem hukum Pidana barat (selanjutnya disebut hukum pidana) dicantumkan dalam bentuk peraturan tertulis atau lebih dikenal dengan  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP digunakan sebagai sumber hukum utama yang mengikat dan memaksa bagi setiap  Warga Negara Indonesia (WNI). Ada beberapa definisi hukum Pidana menurut tokoh hukum yaitu antara lain:
- Menurut Algra Janssen, ialah alat yang digunakan oleh seorang penguasa atau hakim untuk memberi peringatan kepada orang yang telah melakukan perbuatan terlarang (tindak pidana) dengan cara mencabut hak-hak yang seharusnya dinikmati oleh terpidana tersebut atas nyawa, kebebasan, dan harta kekayaannya, jika seandainya terpidana tersebut tidak melakukan suatu perbuatan yang dilarang (tindak pidana).
- Menurut S.T Kansil, hukum pidana merupakan hukum yang mengatur mengenai setiap perbuatan pelanggaran dan setiap perbuatan kejahatan yang dilakukan terhadap kepentingan umum, disertai dengan suatu ancaman atas perbuatan tersebut berupa kenestapaan.[1]
Maka dapat disimpulkan bahwa hukum pidana adalah seluruh peraturan yang memisahkan antara perbuatan yang diperintahkan dan perbuatan yang dilarang, dan apabila larangan tersebut dilanggar maka terdapat sebuah sanksi atau hukuman yang akan diberikan kepada pelaku yang melanggar.
Terdapat 2 (dua) aliran yang menyebutkan tujuan dibentuknya hukum pidana, yaitu:
- Aliran Klasik, pada zaman dulu hukum pidana dibentuk dengan tujuan untuk menakuti setiap orang yang hendak melakukan perbuatan tindak pidana dengan suatu ancaman berupa siksaan dan penderitaan (kenestapaan), sehingga bagi orang yang berniat jahat mengurungkan niatnya karena takut dengan ancaman yang diberikan.
- Aliran Modern, pada saat ini hukum pidana dibentuk dengan tujuan untuk mendidik dan membimbing perilaku orang yang melakukan suatu perbuatan tindak pidana agar setelah masa pemidanaan selesai dapat menjadi pribadi yang baik dan dapat diterima kembali di dalam lingkungan masyarakatnya.
Sedangkan fungsi dibentuknya hukum pidana adalah sebagai sebuah perangkat untuk mengatur dan membatasi dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara, agar tidak melebih batasan-batasan yang telah ditentukan, sehingga cita-cita suatu negara untuk menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang tertib dapat terwujud.
Di Indonesia, terdapat 2 (dua) sumber hukum pidana yaitu:
- Sumber hukum yang tertulis dan terkodifikasi (artinya tersusun dalam satu buku). Misalnya : KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) atau UU Nomor 3 Tahun 1981
- Sumber Hukum yang tertulis tidak terkodifikasi (artinya tersebar dalam peraturan PerUU-an yang lain). Misalnya :
- UU Korupsi (UU Nomor 31 tahun 1999)
- UU Psykotropika
- UU Narkoba
- Dan lainnya
Selain itu Hukum Pidana menganut Asas-asas yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), diantaranya:
- Asas Legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP), asas ini menjelaskan bahwa tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana (dihukum) apabila tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.
- Asas Tidak Berlaku Surut, artinya suatu hukum tidak boleh mengubah konsekuensi hukum terhadap suatu perbuatan   yang dilakukan atau kenyataan/fakta status hukum, dan hubungan yang ada sebelum hukum diberlakukan.
- Asas Tertorialitas (Pasal 2 dan 3 KUHP), yaitu hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) maupun di luar wilayah Indonesia dalam kendaraan air (kapal) atau udara (pesawat) Indonesia.
- Asas Nasional Aktif (Asas Personalitas) (Pasal 5 KUHP), yaitu hukum yang mengatur tentang Warga Negara Indonesia (WNI) yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), akan tetapi asas ini berlaku tergantung dengan perjanjian atau kesepakatan antar negara yang mengizinkan atau tidaknya untuk memberlakukan hukum sesuai dengan kewarganegaraannya.
- Asas Nasional  Pasif (Asas Perlindungan) (Pasal 4  KUHP),  yaitu mengatur perbuatan pidana terhadap Warga Negara Indonesia ataupun warga negara asing yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia yang dengan tindakan atau perbuatannya tersebut melanggar kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
- Asas Universalitas, yaitu peraturan perbuatan pidana Indonesia KUHP harus tunduk dan patuh terhadap ketentuan hukum pidana yang berlaku secara Internasional sesuai dengan kesepakatan antar negara.
- Asas Tidak Ada Hukuman Tanpa Kesalahan (Pasa 6 ayat (2) UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, asas ini menjelaskan bahwa tidak ada orang yang dapat dijatuhi hukuman pidana tanpa adanya bukti bahwa dirinya bersalah secara patut ataupun orang tersebut belum dapat bertanggung jawab atas perbuatan yang  dilakukannya (orang  yang  tidak atau belum cakap hukum).
Dari penjelasan diatas, maka dapat ditemukan adanya perbedaan antara Hukum Pidana Adat dengan Hukum Pidana Barat, yaitu antara lain sebagai berikut:
No | Perbedaan | Pidana adat | Pidana barat |
1 | Sumber | Kebiasaan dalam suatu kelompok masyarakat adat | Undang-undang atau aturan tertulis yang dibuat oleh raja, kepala negara, penguasa dan/atau lembaga berwenang. |
2 | Bentuk | Tidak tertulis. | Tertulis karena disusun terlebih dahulu oleh lembaga yang berwenang. |
3 | Sifat | Fleksibel artinya hukum pidana adat itu dinamis, berkembang mengikuti perkembangan zaman | Rigid atau kaku, sehingga sulit untuk dilakuan perubahan |
4 | Cara mempertahankannya | Didasarkan dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat adat tersebut | Terdapat dua cara, yaitu hukum materil yang berisikan aturan-aturan hukum dan hukum formil atau hukum acara yang berisikan tata cara menjalankan atau melaksanakan hukum materil. |
5 | Penegakan Hukum | Tidak mempunyai tempat yang disediakan secara khusus dan biasanya dilakukan di kediaman kepala adat | Mempunyai tempat khusus untuk melaksanakan penegakannya yaitu bertempat di Pengadilan |
6 | Cara memutus perkara | Hakim dalam memutus sebuah perkara yaitu kepala adat dan/atau tokoh adat. | Hakim yang ditunjuk langsung oleh Pengadilan. |
7 | Pembagian sistem hukum | Tidak adanya pembagian sistem hukum | Hukum publik (public recht) dan hukum privat (privat recht). |
8 | Jenis pelanggaran | Hanya mengenal delik yang berkaitan dan dapat mengganggu keseimbangan dalam masyarakat adat tersebut atau perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat adat. | Melihat pelanggaran berdasarkan perbuatan yang disengaja (dolus) atau perbuatan yang tidak disengaja berupa kesalahan/kelalaian (culpa), |
9 | Jenis Hukuman | Menimbang berat atau ringannya suatu hukuman didasarkan pada asas kekeluargaan, kedamaian, kerukunan, dan rasa keadilan, sehingga hakim (kepala adat) bebas untuk memutuskan hukuman dengan memperhatikan suasana dan kesadaran anggota masyarakatnya | Menentukan suatu beratnya hukuman telah dicantumkan dalam peraturan bakunya yang disesuaikan dengan jenis kejahatan apa yang diperbuat |
[1]C.S.T Kansil, Pengantar ilmu hukum dan tata hukum Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, tahun 1933, Hal 257
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanKlaim 15 Triliun Oleh Eks Pengacara Bharada E
Pengawalan Pembongkaran Oleh Kepolisian
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.