Sanksi Kabur dari Penahanan

Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) menyatakan bahwa penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Perintah penahanan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana sebagaimana ketentuan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Pasal 22 KUHAP menyatakan bahwa penahanan dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu penahanan rumah tahanan negara (rutan), penahanan rumah, dan penahanan kota yang hal ini telah dijelaskan dalam artikel-artikel sebelumnya yang berjudul “Tahap-Tahap Dalam Melakukan Penahanan”, “Tata Cara Perpanjangan Penahanan Dalam Tindak Pidana” dan “Pengalihan Status Penahanan”. Masih berkaitan dengan artikel-artikel sebelumnya, berikut akan dibahas terkait sanksi apabila tanahan kabur dari proses penahanan.

Perlu diketahui bahwa dalam proses penahanan, status sebagai tersangka/ terdakwa masih dikategorikan sebagai orang yang patut diduga melakukan tindak pidana, dalam artian tersangka/terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah sebelum adanya putusan hakim yang menyatakan bahwa tersangka/terdakwa tersebut sah melakukan tindak pidana. Penahanan terhadap tersangka atau terdakwa bukanlah sebuah hukuman, melainkan sebuah tindakan yang diberikan oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim karena adanya kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana sebagaimana ketentuan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Sejauh penelusuran penulis, dalam KUHAP dan KUHP tidak diatur secara eksplisit mengenai sanksi apabila tersangka/terdakwa kabur atau melarikan diri. Namun, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 17 ayat (6) Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana (selanjutnya disebut Perkap 6/2019) menyatakan bahwa :

“Tersangka yang telah dipanggil untuk pemeriksaan guna penyidikan perkara dan tidak jelas keberadaannya, dicatat didalam Daftar Pencarian Orang dan dibuatkan surat pencarian orang”

Urutan tindakan yang harus dilakukan apabila tersangka/terdakwa dijadikan sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) berdasarkan ketentuan dalam Lampiran O Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Nomor 3 Tahun 2014 tentang Standar Operasional Prosedur Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana (Selanjutnya disebut Perkaba 3/2014) yaitu sebagai berikut:

  1. Bahwa Orang yang dicari benar-benar diyakini terlibat sebagai Tersangka Tindak Pidana berdasarkan alat bukti yang cukup, dan diancam dengan pasal-pasal pidana yang dipersangkakan kepadanya, setelah diputuskan melalui proses gelar perkara terhadap perkara yang sedang dilakukan penyidikannya;
  2. Terhadap Tersangka yang diduga telah melakukan Tindak pidana, telah dilakukan pemanggilan dan telah dilakukan upaya paksa berupa tindakan penangkapan dan penggeledahan sesuai perundang-undangan yang berlaku, namun Tersangka tidak berhasil ditemukan;
  3. Yang membuat dan menandatangani DPO adalah penyidik atau penyidik pembantu, diketahui oleh atasan penyidik/penyidik pembantu dan atau Kasatker selaku penyidik;
  4. Setelah DPO diterbitkan tindak lanjut yang dilakukan penyidik adalah:
    1. mempublikasikan kepada masyarakat melalui fungsi Humas diwilayahnya;
    2. mengirimkan ke Satuan Polri lainnya dan wajib meneruskan informasi tersebut kejajaran untuk dipublikasikan.
  5. Tindak lanjut terhadap DPO yang telah diterbitkan penyidik, pendistribusianya diatur sebagai berikut:
    1. DPO yang diterbitkan Bareskrim didistribusikan ke Polda dan Polda jajaran;
    2. DPO yang diterbitkan tingkat Polda didistribusikan ke Bareskrim, Polres dalam jajarannya dan Polda-polda lain;
    3. DPO yang diterbitkan tingkat Polres didistribusikan ke Polda atasannya, Polres dalam jajaran Polda dan Polsek dalam jajarannya;
    4. DPO yang diterbitkan tingkat Polsek didistribusikan ke Polres atasannya dan Polsek-polsek dalam jajaran Polresnya.
  6. DPO harus memuat dan menjelaskan secara detail:
    1. identitas lengkap Kesatuan Polri yang menerbitkan DPO;
    2. nomor Telpon Penyidik yang dapat dihubungi;
    3. nomor dan tanggal laporan polisi;
    4. nama pelapor;
    5. Uraian singkat kejadian;
    6. Pasal Tindak Pidana yang dilanggar;
    7. Ciri-ciri/identitas Tersangka yang dicari (dicantumkan Foto dengan ciri-ciri khusus secara lengkap orang yang dicari antara lain : nama, umur, alamat, pekerjaan, tinggi badan, warna kulit, jenis kelamin, kerwarganegaraan, rambut, hidung, sidik jari dan lain-lain).
  7. Setelah membuat DPO agar penyidik/penyidik pembantu segera membuat/mengisi/mencatatkan dalam register DPO;
  8. Setelah mengirimkan surat DPO sesuai alamat yang dituju, dalam jangka waktu tertentu penyidik harus melakukan pengecekan melalui hubungan telepon/surat ke kesatuan Polri sesuai alamat untuk mengetahui perkembangan surat DPO tersebut;
  9. Dalam hal DPO (Tersangka) telah tertangkap oleh kesatuan Kepolisian lain, maka dapat langsung menghubungi/ mengabarkan kepada penyidik yang menangani perkaranya untuk diserahkan/dilakukan penjemputan dengan dilengkapi Berita Acara penyerahan/penerimaan DPO (Tersangka);
  10. Setelah Tersangka yang dimasukan dalam DPO tertangkap dan atau menyerahkan diri segera dilakukan pemeriksaan serta penyidik segera mengeluarkan surat pencabutan DPO;
  11. Tersangka yang telah di DPO dikhawatirkan akan melarikan diri ke Luar Negeri, maka dapat dilakukan pencegahan ke Luar Negeri melalui Imigrasi, yang tata caranya akan diatur tersendiri;
  12. Terhadap DPO (Tersangka) yang telah diketahui melarikan diri ke luar negeri, dapat diajukan Red Notice melalui Interpol/Divhubinter Polri, yang pelaksanaannya akan diatur tersendiri.

Apabila seseorang telah ditetapkan sebagai DPO, maka dapat dilakukan penangkapan oleh Kepolisian sebagaimana ketentuan dalam Lampiran D Perkaba 3/2014. Atas upaya melarikan diri tersebut, tahanan dapat dianggap melanggar tata tertib lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara sebagaimana ketentuan dalam Pasal 4 huruf c Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara (selanjutnya disebut Permenkumham 6/2013) terkait larangan upaya melarikan diri atau membantu pelarian. Atas perbuatan tersebut tahanan dapat dikenakan sanksi disiplin tingkat berat sebagaimana ketentuan dalam Pasal 9 ayat (4) dan (5)  juncto Pasal 10 ayat (3) huruf i Permenkumham 6/2013 yaitu berupa :

  1. Memasukkan dalam sel pengasingan selama 6 (enam) hari dan dapat diperpanjang selama 2 (dua) kali 6 (enam) hari; dan
  2. Tidak mendapatkan hak remisi, cuti mengunjungi keluarga, cuti bersyarat, asimilasi, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat dalam tahun berjalan dan dicatat dalam register F (buku pelanggaran) dan untuk alasan kepentingan keamanan, seorang Narapidana/Tahanan dapat dimasukkan dalam pengasingan dan dicatat dalam register H (buku pengasingan).

Berbeda halnya apabila tersangka/terdakwa tahanan rumah atau tahanan kota tidak melarikan diri melainkan memberikan kuasa dalam hal terdapat panggilan dari penyidik/penuntut umum/hakim terhadap pengacara guna mewakili atau mengurus kepentingannya. Apabila demikian, maka konsekuensi hukum yang ditimbulkan berdasarkan ketentuan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1988 (selanjutnya disebut SEMA 6/1988) yaitu pengadilan supaya menolak atau tidak melayani penasehat hukum atau pengacara yang menerima kuasa dari tersangka/terdakwa yang tidak hadir (in absentia) tanpa kecuali.

Perbuatan kabur atau melarikan diri tersangka/terdakwa yang dalam masa penahanan rutan lebih berakibat hukum terhadap pihak yang berwenang untuk melakukan penjagaan baik karena kesengajaan atau kelalaiannya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 426 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan sebagai berikut :

  1. Seorang pejabat yang diberi tugas menjaga orang yang dirampas kemerdekaannya atas perintah penguasa umum atau atas putusan atau ketetapan pengadilan, dengan sengaja membiarkan orang itu melarikan diri atau dengan sengaja melepaskannya, atau memberi pertolongan pada waktu dilepas atau melepaskan diri diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun;
  2. Jika orang itu lari, dilepaskan, atau melepaskan diri karena kesalahan (kealpaan), maka yang bersangkutan diancam dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Berdasarkan hal tersebut, maka pihak yang berwajib melakukan penjagaan harus melakukan penjagaan dengan sebaik mungkin guna menghindari ancaman pidana apabila tahanan kabur atau melarikan diri. Namun, dalam prakteknya pejabat yang berwenang menjaga tahanan atau penjaga tahanan yang lalai dalam tugasnya dikenakan sanksi administrasi berupa penurunan pangkat atau pemindahan tugas ke tempat lain sebagaimana dinyatakan oleh Suwandi selaku Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Aceh.[1] Hal ini sejalan dengan sanksi kode etik sebagaimana ketentuan dalam Pasal 23 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 20 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Kode Perilaku Pegawai Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut Permenkumham 20/2017) yang menyatakan bahwa Pegawai yang melakukan pelanggaran Kode Etik dan Kode Perilaku dikenakan sanksi moral dan/atau tindakan administratif sebagaimana keputusan pejabat yang berwenang.

[1] http://www.ditjenpas.go.id/lalai-dalam-tugas-70-sipir-lapas-kena-sanksi

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.