Saksi Pegawai Dalam Pengadilan Hubungan Industrial

Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang dibentuk dilingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (selanjutnya disebut UU PPHI). Sedangkan perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 UU PPHI. Sebelum perselisihan dibawa ke ranah Pengadilan Hubungan Industrial, perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat sebagaimana ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) UU PPHI. Jangka waktu penyelesaian perselisihan melalui perundingan bipartit yaitu selama 30 (tiga puluh) hari, jika dalam jangja waktu tersebut tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal sebagaimana ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) UU PPHI. Apabila perundingan bipartit gagal, maka salah satu pihak dapat nengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 57 UU PPHI menyebutkan bahwa hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam UU PPHI. Hal ini kemudian berhubungan dengan saksi yang dapat dihadirkan dalam persidangan. Dalam UU PPHI sebagai undang-undang yang mengatur mengenai tata cara beracara dalam proses penyelesaian hubungan industrial tidak mengatur mengenai saksi yang diperbolehkan dan dilarang dihadirkan dalam persidangan. Berdasarkan hal tersebut, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 57 UU PPHI, maka ketentuan mengenai saksi tunduk pada ketentuan dalam Hukum Acara Perdata. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1909 dan Pasal 1910 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPer) menyatakan bahwa :

“Pasal 1909

Semua orang yang cakap untuk menjadi saksi, wajib memberikan kesaksian di muka Hakim. Namun dapatlah meminta dibebaskan dari kewajiban memberikan kesaksian;

    1. siapa saja yang mempunyai pertalian keluarga sedarah dalam garis ke samping derajat kedua atau keluarga semenda dengan salah satu pihak:
    2. siapa saja yang mempunyai pertalian darah dalam garis lurus tak terbatas dan dalam garis ke samping dalam derajat kedua dengan suami atau isteri salah satu pihak;
    3. siapa saja yang karena kedudukannya, pekerjaannya atau jabatannya diwajibkan undang-undang untuk merahasiakan sesuatu, namun hanya mengenai hal-hal yang dipercayakan kepadanya karena kedudukan, pekerjaan dan jabatannya itu.”

Pasal 1910

Anggota keluarga sedarah dan semenda salah satu pihak dalam garis Iurus, dianggap tidak cakap untuk menjadi saksi; begitu pula suami atau isterinya, sekalipun setelah perceraian. Namun demikian anggota keluarga sedarah dan semenda cakap untuk menjadi saksi:

    1. dalam perkara mengenai kedudukan keperdataan salah satu pihak;
    2. dalam perkara mengenai nafkah yang harus dibayar menurut Buku Kesatu, termasuk biaya pemeliharaan dan pendidikan seorang anak belum dewasa;
    3. dalam suatu pemeriksaan mengenai alasan-alasan yang dapat menyebabkan pembebasan atau pemecatan dari kekuasaan orang tua atau perwalian;
    4. dalam perkara mengenai suatu perjanjian kerja. Dalam perkara-perkara ini, mereka yang disebutkan dalam Pasal 1909 nomor 1 dan 2, tidak berhak untuk minta dibebaskan dan kewajiban memberikan kesaksian.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1909 dan Pasal 1910 KUHPer, maka dapat dikatakan bahwa pada dasarnya tidak ada larangan bagi pegawai sebuah perusahaan untuk menjadi saksi, kecuali sebagaimana yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 1909 angka 3 KUHPer. Namun dalam prakteknya, terkait kesaksian pegawai dalam hubungan industrial masih menjadi perdebatan di beberapa kalangan pemerhati hukum, karena dikhawatirkan keterangannya akan memihak kepada pihak yang menghadirkan, sehingga pengajuan saksi dari pegawai perusahaan tergantung pada kebijakan Hakim yang ditunjuk untuk memutus perkara.

Berikut merupakan contoh kesaksian dalam hubungan industrial. Pertama, yaitu kesaksian Bayu sebagai Manager Human Resources Total E&P Indonesia pada kasus Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Judith J sebagai Vice President Corporate Communication dalam Putusan Nomor 43/PHI.G/2013/PN.Jkt Pst serta dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 547 K/Pdt.Sus-PHI/2015. Dalam kesaksiannya Bayu tidak disumpah atas permintaan Penggugat dengan alasan Bayu merupakan karyawan Total E&P Indonesia, sehingga hal tersebut dikabulkan oleh Majelis Hakim.[1] Contoh yang kedua, yaitu pada kasus Pemutusan Hubungan Kerja karyawan di PT. Graha Sarana Duta dalam Putusan Nomor 04/PHI.G/2012/PN-BNA serta dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 281 K/Pdt-Sus-PHI/2013. Dalam pemeriksaannya, Penggugat mendatangkan saksi Yuni Rohani dan R. Eka Resdianto sebagai karyawan tetap di PT. Graha Sarana Duta. Saksi sebagai bagian  dari karyawan PT. Graha Sarana Duta, diizinkan oleh Hakim untuk memberikan kesaksian. Berdasarkan hal tersebut, maka saksi pegawai/karyawan dalam perselisihan hubungan industrial dapat diperbolehkan dan dapat pula ditolak oleh Hakim, baik berdasarkan atas keberatan salah satu pihak dan/atau kehendak Hakim.

[1] https://republika.co.id/berita/moyag3/sidang-phk-saksi-tepi-tak-berkutik

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.