Restorative Justice

Di tengah-tengah terjadinya perkembangan positif tentang keadilan restoratif di pelbagai Negara, Kongres PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana (UN Congress on Crime Prevention and Criminal Justice) yang diselenggarakan setiap lima tahun, pada tahun 2000 membahas keadilan restoratif dalam Sidang Plenonya dan mengembangkan Rancangan Proposal untuk membentuk “UN Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programs in Criminal Matters” yang akan berlaku di segala tingkatan proses peradilan pidana dan menegaskan hakekat kesukarelaan dalam keikutsertaan dalam proses keadilan restoratif, serta merekomendasikan standar dan pedoman untuk penerapannya.[1]

Menurut pendapat Umbreit dalam tulisannya mengenai Restorative Justice menjelaskan bahwa Restorative justice is a victim-centered response to crime that allows the victim, the offender, their families, and representatives of community to address the harm caused by the crime (Keadilan restorative adalah sebuah tanggapan terhadap tindak pidana yang berpusatkan pada korban yang mengizinkan korban, pelaku tindak pidana, keluarga-keluarga mereka, dan para perwakilan dari masyarakat untuk menangani kerusakan dan kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana).[2]

Terhadap pandangan tersebut Daly mengatakan, bahwa konsep Umbreit tersebut memfokuskan kepada memperbaiki kerusakan dan kerugian yang disebabkan oleh tindak pidana” yang harus ditunjang melalui konsep restitusi, yaitu mengupayakan untuk memulihkan kerusakan dan kerugian yang diderita oleh para korban tindak pidana dan memfasilitasi terjadinya perdamaian.[3] Berkaitan dengan hal tersebut, menurut United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) menjelaskan mengenai Restorative Justice adalah pendekatan untuk memecahkan masalah, dalam berbagai bentuknya, melibatkan korban, pelaku, jaringan sosial mereka, badan-badan peradilan dan masyarakat.[4]

Dalam hal ini restorative justice mengandung arti yaitu keadilan yang direstorasi atau dipulihkan. Masing-masing pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana diberikan kesempatan untuk bermusyawarah, restorative justice menekankan pada kesejahteraan dan keadilan. Korban tindak pidana berhak menuntut ganti rugi kepada pelaku tindak pidana yaitu kerugian yang telah dideritanya, sedangkan pelaku tindak pidana wajib mengganti kerugian yang disebabkan olehnya kepada korban.

Penerapan restorative Justice yang telah diberlakukan terdapat di negara Australia, ketika seorang anak dinyatakan bersalah atas pelanggaran ringkasan, ia dihukum oleh Pengadilan Anak-Anak. Salah satu cara utama agar pengalihan anak-anak yang sangat muda dapat dicapai dalam hukum Australia adalah melalui pengoperasian anggapan doli incapax. Ketika menghukum seorang pelaku anak anak, pengadilan harus menjadikan rehabilitasi anak sebagai pertimbangan utama. Perintah hukuman yang dapat dibuat sehubungan dengan pelaku muda termasuk ikatan perilaku yang baik, denda dan persyaratan dalam tahanan pemuda.

Doli incapax, diterapkan dengan cara Diversi yang ditujukan bagi anak pertama kali melakukan tindak pidana untuk menghindarkan mereka dari sistem peradilan pidana yang dapat memberikan dampak negatif bagi perilaku mereka selanjutnya. Diversi juga tidak diberlakukan untuk tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan yang mengakibatkan kematian maupun luka berat. Diversi dilakukan sejak awal proses dengan menerapkan informal dan formal police cautions serta family conferencing untuk mendiversi perkara anak yang terjadi dan menghindarkan anak dari pengadilan. Payung hukum yang digunakan adalah Young Offenders Act 1993. Polisi sebagai gerbang awal dalam menangani perkara anak bergerak berdasarkan kerangka kerja sistem peradilan anak.[5]

Restorative Justice merupakan sistem peradilan pidana yang berusaha mendengarkan, menenteramkan pihak-pihak yang dirugikan oleh suatu konflik dan untuk memulihkan, sejauh mungkin hubungan yang retak ke arah yang benar dan adil di antara pihak-pihak yang berlawanan, yang berfokus pada pemecahan masalah melalui mediasi, konsiliasi, dialog dan restitusi, untuk secara timbal balik memperbaiki kerugian sosial dan kemungkinan menyatakan rasa penyesalan dan pemaafan. Di Indonesia sendiri, konsep ini dimuat ke dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Pasal 1 Angka 6 UU SPPA, menyebutkan bahwa:

Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Dalam ketentuan Pasal 5 UU SPPA, dinyatakan bahwa sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan Restorative Justice. Pendekatan Restorative Justice wajib diaplikasikan dalam sistem peradilan pidana anak meliputi dari tahap penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian, pada tahap persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan anak dilingkungan peradilan umum. Selanjutnya pendekatan Restorative Justice juga diterapkan pada tahap pembinaan, pembimbingan, pengawasan dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.[6]

Selain dalam lingkup peradilan anak, terdapat pula Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perja 15/2020). Dalam ketentuan Perja 15/2020 memuat mengenai kewenangan Jaksa untuk menghentikan penuntutan berdasarkan Restorative Justice menjadi terobosan dalam penyelesaian tindak pidana. Dalam pelaksanaannya, pendekatan Restorative Justice berdasarkan Perja 15/2020 ini terlihat bahwa peraturan tersebut menitikberatkan pada kesepakatan perdamaian antara pelaku dan korban dan bagaimana kemudian hukum acara mengakui keberadaan kesepakatan perdamaian tersebut sebagai kesepakatan yang memiliki kekuatan hukum.

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 Perja 15/2020, kewenangan Penuntut Umum dalam Penghentian penuntutan berdasarkan Restorative Justice dilakukan dengan memperhatikan:

  1. kepentingan Korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi;
  2. penghindaran stigma negatif;
  3. penghindaran pembalasan;
  4. respon dan keharmonisan masyarakat; dan
  5. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Hal lain yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan Restorative Justice adalah adanya syarat pokok yang harus terpenuhi, diantaranya adalah:

  1. Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana
  2. Tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun
  3. Tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana tidak lebih dari Rp. 2.500.000,00.[7]

Selain syarat dan prinsip diperbolehkan pelaksanaan keadilan restorative, maka juga diatur mengenai perkecualian pelaksanaan keadilan restorative yaitu dalam Pasal 5 ayat (8) Perja 15/2020 menyebutkan bahwa

Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dikecualikan untuk perkara:

  1. tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan;
  2. tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana minimal;
  3. tindak pidana narkotika;
  4. tindak pidana lingkungan hidup; dan
  5. tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.

Berkaitan dengan penyelesaian perkara dengan pendekatan Restorative Justice, pada tanggal 8 April 2022 lalu, Jaksa Agung melalui Jaksa Muda Tindak Pidana Umum menyetujui permohonan penghentian penuntutan berdasarkan pendekatan Restorative Justice. Adapun 4 berkas perkara yang penuntutannya dihentikan berdasarkan Restorative Justice adalah sebagai berikut:

  1. Tersangka Agung Waluya bin Yaya Sutarya dari Kejaksaan Negeri Majalengka yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang pencurian.
  2. Tersangka Romy Pasundan bin Yurlisman Sikumbang dari Kejaksaan Negeri Majalengka yang disangka melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan
  3. Tersangka Mamat Ruhimat Bin Mir’ad dari Kejaksaan Negeri Tasikmalaya yang disangka melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan
  4. Tersangka Tual Imto’ah Ak Ponijem dari Kejaksaan Negeri Sumbawa yang disangka melanggar Pasal 480 ayat (1) KUHP tentang penadahan.

Dengan demikian, dengan adanya pendekatan Restorative Justice di Indonesia dalam sistem peradilan pidana memberikan dampak terhadap penegakan hukum yang semakin progresif menyelesaikan perkara secara efektif dan efisien. Hal ini juga berhubungan dengan pemenuhan hak asasi manusia seseorang yang melakukan tindak pidana, untuk mendapatkan hak atas perlindungan hukum dan kepastian hukum.

 

[1] Pasal 5 Ayat (1) Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif

[1] Muladi, Implementasi Pendekatan “Restorative Justice” Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, Jurnal Universitas Diponegoro.

[2] Mark M. Lanier dan Stuart Henry, Essential Criminology, Second Edition, Wastview, Colorado, USA, 2004.

[3] Ibid.

[4] UNODC, Handbook on Restorative Justice Programmes. Criminal Justice Handbook Series, Vienna, UN New York, 2006.

[5] Imam Subaweh Arifin dan Umi Rozah, Konsep Doli In Capax Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Di Masa Depan, Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu HukumVolume 3, Nomor 1, Tahun 2021.

[6] Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.