Rekening Masuk Daftar Hitam Nasional Akibat Cek Kosong

A. Pengertian dan Dasar Hukum Cek

Sistem pembayaran di Indonesia secara garis besar terdiri atas dua cara yaitu tunai dan non tunai. Perbedaan mendasar dari kedua sistem tersebut terletak pada instrumen yang digunakan. Paad sistem pembayaran tunai menggunakan uang kartal (uang kertas dan logam) sebagai alat pembayaran, sedangkan pada sistem pembayaran non tunai, instrumen yang digunakan berupa Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK), cek, bilyet giro, nota debit, maupun uang elektronik (card based dan server based).[1] Cek sebagai salah satu alat pembayaran non tunai, berdasarkan Pasal 178 Sub 2 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) adalah suatu perintah tak bersyarat dari pemegang rekening (nasabah giro) kepada Bank, untuk membayarkan sejumlah uang tertentu. Karakteristik cek dapat dilihat pada Pasal 178 KUHD yang menyatakan:

Cek memuat:

  1. Nama ”cek”, yang dimasukkan dalam teksnya sendiri dan dinyatakan dalam bahasa yang digunakan dalam atas-hak itu;
  2. perintah tidak bersyarat untuk membayar suatu jumlah uang tertentu;
  3. nama orang yang harus membayar (tertarik);
  4. penunjukan tempat pembayaran harus dilakukan;
  5. pernyataan tanggal penandatanganan beserta tempat cek itu ditarik;
  6. tanda tangan orang yang mengeluarkan cek itu (penarik).

Di luar KUHD, ketentuan terkait cek dapat dilihat pada berbagai regulasi Bank Indonesia yaitu:

  1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Transfer Dana (UU 3/2011);
  2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/29/PBI/2006 tentang Daftar Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong (PBI 8/2006);
  3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/32/KEP/DIR/1995 tentang Cek/Bilyet Giro Kosong (SK DBI 28/1995);
  4. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/13/DASP 2007 perihal Daftar Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong (SE BI 9/2007);
  5. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/10/DASP 2000 Perihal Tata Usaha Penarikan Cek/Bilyet Giro Kosong (SE BI 2/2000) sebagaimana telah beberapa kali diubah dan terakhir dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/33/DASP 2006 perihal Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/10/DASP 2000 Perihal Tata Usaha Penarikan Cek/Bilyet Giro Kosong (SE BI 8/2006).

Terdapat berbagai jenis cek sebagai berikut:

  1. Cek atas unjuk/pembawa (aan toonder)

Cek atas unjuk merupakan cek di mana bank akan membayarkan kepada siapa saja dengan tidak tertulis nama seseorang atau badan hukum tertentu, yang datang untuk menguangkan cek tersebut kepada pembawanya.

  1. Cek atas nama (aan order)

Cek atas nama merupakan cek di mana bank akan membayar kepada orang yang namanya tercantum di dalam cek yang bersangkutan.

  1. Cek atas pembawa

Cek atas pembawa merupakan cek di mana bank akan memperlakukan cek semacam ini sebagai cek atas unjuk, akan tetapi hal ini berbeda apabila sebutan pembawa dicoret maka cek tersebut berlaku sebagai cek atas nama.

  1. Cek mundur (postdated cheque)

Cek mundur merupakan cek yang oleh penariknya diberi tanggal akan datang, dengan demikian cek yang bersangkutan hanya dapat diuangkan pada tanggal yang telah dicantumkan dalam cek yang bersangkutan.

  1. Cek silang (crossed cheque)

Cek silang merupakan cek yang diberikan tanda silang/garis miring yang sejajar pada bagian muka. Tanda silang tersebut memberikan petunjuk kepada bank pembayar bahwa cek tersebut hanya dapat dibayarkan kepada suatu bank yang disebut di antara kedua garis silang sejajar. Dengan demikian, cek silang hanyalah untuk disetorkan ke dalam rekening saja, sehingga cek yang bersangkutan hanya dapat dikliringkan pada bank tersebut.[2]

B. Tata Cara Pencairan Cek

Pada KUHD, ketentuan tentang cek diatur pada buku ke satu bab VII pasal 178 sampai pasal 229. Terkait tata cara pencairan cek dapat dilihat pada ketentuan-ketentuan berikut:

Pasal 179 KUHD

Atas-hak yang di dalamnya tidak memuat salah satu pernyataan yang ditetapkan dalam pasal yang lalu, tidak berlaku sebagai cek, kecuali dalam hal tersebut di bawah ini.

Bila tidak terdapat penunjukan khusus, tempat yang ditulis di samping nama penarik dianggap sebagai tempat pembayarannya. Bila ditulis beberapa tempat di samping nama penarik, maka cek itu harus dibayar di tempat yang ditulis pertama.

Bila tidak terdapat penunjukan itu atau penunjukan lain apa pun, maka cek itu harus dibayar di tempat kedudukan kantor pusat tertarik.

Cek yang tidak menunjukkan tempat ditarik, dianggap telah ditandatangani di tempat yang disebut di samping nama penarik.

Pasal 180 KUHD

Cek itu harus ditarik atas seorang bankir yang menguasai dana untuk kepentingan penarik, dan menurut perjanjian tegas atau secara diam-diam yang menetapkan, bahwa penarik mempunyai hak untuk menggunakan dana itu dengan menarik cek. Akan tetapi bila peraturan-peraturan itu tidak diindahkan, maka atas-hak itu tetap berlaku sebagai cek.

Pasal 182 KUHD

Cek dapat ditetapkan untuk dibayarkan:

  • kepada orang yang namanya disebut dengan atau tanpa Klausula tegas: “kepada tertunjuk”;
  • kepada orang yang namanya disebut dengan klausula: “tidak kepada tertunjuk”, atau Klausula semacam itu;
  • atas-tunjuk.

Cek yang ditetapkan harus dibayarkan kepada orang yang namanya disebut, dengan menyatakan: “atau atas-tunjuk”, atau istilah semacam itu berlaku sebagai cek atas-tunjuk.

Cek tanpa pernyataan tentang penerimaannya berlaku sebagai cek atas-tunjuk.

Pasal 205 KUHD

Cek harus dibayar pada waktu ditunjukkan.

Setiap pernyataan sebaliknya dianggap tidak ditulis.

Cek yang diajukan untuk pembayaran sebelum tanggal yang disebut sebagai tanggal pengeluaran, dapat dibayar pada hari pengajuannya.

Pasal 209 KUHD

Penarikan kembali cek itu hanya berlaku setelah jangka waktu pengajuan berakhir.

Bila tidak ada penarikan kembali, maka tertarik dapat membayar bahkan setelah jangka waktu berakhir.

Dalam sistem pembayaran menggunakan cek, dikenal istilah pemilik rekening, penarik dan pemegang. Pemilik rekening berdasarkan Pasal 1 Angka 7 PBI 8/2006 adalah orang atau badan yang memiliki rekening giro atau memiliki fasilitas rekening khusus pada bank. Penarik, berdasarkan Pasal 1 Angka 6 PBI 8/2006 adalah pemilik rekening atau orang yang dikuasakan oleh pemilik rekening yang memerintahkan bank tertarik untuk melakukan pembayaran atau pemindahbukuan sejumlah dana atas beban rekening pemilik rekening kepada pemegang atau kepada pihak yang disebutkan namanya dalam cek. Selanjutnya, pemegang, berdasarkan Pasal 1 Angka 8 PBI 8/2006 adalah nasabah yang memperoleh pembayaran atau pemindahbukuan dana dari bank tertarik sebagaimana diperintahkan oleh penarik kepada bank tertarik.

C. Cek Kosong dan Daftar Hitam Bank

Cek umumnya digunakan dalam transaksi-transaksi karena bentuk fisiknya yang mudah dibawa dibandingkan membawa uang dalam jumlah besar, penerbitannya yang dapat disesuaikan dengan kondisi keuangan penerbit serta pemindahtanganannya mudah.[3] Dikarenakan bentuknya yang mudah dibawa dan penerbitannya juga dapat ditetapkan pada orang yang ditunjuk sebagaimana ketentuan Pasal 182 KUHD di atas, maka pembayaran dengan menggunakan cek dapat dikatakan relatif aman, namun dalam praktek juga sering ditemui penerbitan cek kosong. Menurut SE BI 2/2000, “Cek/Bilyet Giro Kosong adalah Cek/Bilyet Giro yang diunjukkan dan ditolak Tertarik dalam tenggang waktu adanya kewajiban penyediaan dana oleh Penarik karena saldo tidak cukup atau Rekening telah ditutup”.

Pada Pasal 4 Ayat (1) PBI 8/2006 menentukan bahwa:

(1) Penarik wajib telah menyediakan Dana yang cukup dalam Rekening Gironya pada Bank Tertarik, dengan ketentuan:

  1. Untuk Cek pada saat diunjukkan kepada Bank Tertarik; atau
  2. Untuk Bilyet Giro sejak tanggal efektif sampai dengan tanggal daluwarsa.

Lebih lanjut Pasal 11 Ayat (1) sampai dengan Ayat (2) PBI 8/2006 menyatakan:

  1. Cek dan/atau Bilyet Giro wajib ditolak pembayarannya jika memenuhi alasan-alasan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
  2. Cek dan/atau Bilyet Giro yang ditolak pembayarannya oleh Bank Tertarik dengan alasan saldo Rekening Giro atau Rekening Khusus tidak cukup, atau telah ditutup, dikategorikan sebagai Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong.
  3. Kategori Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku antara lain jika:
    1. unsur-unsur Cek atau syarat formal Bilyet Giro tidak terpenuhi;
    2. Cek dan/atau Bilyet Giro dibatalkan setelah Tenggang Waktu Pengunjukan berakhir;
    3. Cek dan/atau Bilyet Giro telah daluwarsa;
    4. Bilyet Giro diunjukkan sebelum Tanggal Efektif, atau Tanggal Efektif dicantumkan tidak dalam Tenggang Waktu Pengunjukan.

Dalam hal terjadi peristiwa cek kosong, maka pemilik rekening yang melakukan penarikan cek kosong tersebut dapat masuk ke dalam Daftar Hitam Individual Bank (DHIB) oleh bank tempat dilakukannya penarikan. Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 15 Ayat (1) PBI 8/2006 yang menyatakan:

(1) Bank wajib menetapkan dan mencantumkan dalam DHIB identitas Pemilik Rekening yang melakukan Penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) jika memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. melakukan penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong yang berbeda sebanyak 3 (tiga) lembar atau lebih dengan nilai nominal masing-masing di bawah Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) pada Bank Tertarik yang sama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan; atau

b. melakukan penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong 1 (satu) lembar dengan nilai nominal Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) atau lebih.

Berdasarkan Pasal 16 PBI 8/2006, Bank yang mencantumkan pemilik rekening ke dalam DHIB selanjutnya wajib menyampaikan identitas pemilik rekening tersebut ke Bank Indonesia untuk ditetapkan dan dicantukan ke dalam Daftar Hitam Nsional (DHN). Atas dimasukkannya seseorang ke dalam DHIB, maka sanksi yang didapatkan adalah sebagaimana Pasal 19 PBI 8/2006 sebagai berikut:

  1. Bank Tertarik wajib membekukan hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro Pemilik Rekening yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro yang menyebabkan Pemilik Rekening dicantumkan dalam DHIB.
  2. Bank selain Bank Tertarik wajib membekukan hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro Pemilik Rekening yang namanya dicantumkan dalam DHN paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal penerbitan DHN.
  3. Pembekuan hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku sampai dengan berakhirnya masa pencantuman identitas Pemilik Rekening dalam DHN.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembekuan hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro Pemilik Rekening diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.

Ketentuan lebih lanjut terkait sanksi penarik cek kosong yang memenuhi kriteria DHIB/DHN diatur pada SE BI 9/2007 Romawi VI dan Romawi XII Nomor 3 sampai 4.

D. Pembatalan Daftar Hitam Bank

Apabila terdapat pihak yang telah masuk ke DHIB dan ingin membatalkan pencantuman namanya di DHIB maka berdasarkan Pasal 23 PBI 8/2006 adalah dengan melakukan pembatalan terhadap salah satu atau lebih penolakan cek sebagaimana ketentuan Pasal 22 Ayat (1) PBI 8/2006.  Cara pembatalan terhadap salah satu atau lebih penolakan cek sebagaimana dimaksud Pasal 22 Ayat (1) PBI 8/2006 adalah sebagai berikut:

  1. Pembatalan terhadap Penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong hanya dapat dilakukan oleh Bank Tertarik jika terbukti:
  1. terdapat kesalahan administrasi yang dilakukan oleh Bank Tertarik;
  2. kewajiban Penarik atas penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong kepada Pemegang telah dipenuhi baik oleh Penarik atau pihak lain dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal penolakan;
  3. terdapat putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa Bank harus membatalkan penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong;
  4. keadaan Darurat yang mengakibatkan Pemilik Rekening tidak dapat memenuhi kewajibannya atas penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro; dan/atau
  5. pembayaran atau pemindahbukuan dari Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong diperuntukan bagi Pemilik Rekening itu sendiri.

Terkait pembatalan terhadap penolakan cek sebagaimana ketentuan Pasal 22 Ayat (1) huruf b PBI 8/2006 di atas, dimaksudkan untuk memberi kesempatan bagi penarik yang beritikad baik namun karena short term liquidity mismatch, ceknya ditolak dengan alasan saldo rekening giro atau rekening khusus tidak cukup dan diperhitungkan sebagai penarikan cek. Dengan demikian, dalam hal terdapat keterlambatan pembayaran, pemegang cek berhak menuntut kompensasi tertentu sesuai dengan hukum dan/atau perjanjian yang berlaku. pemenuhan kewajiban pembayaran dapat dilakukan melalui pembayaran tunai, transfer, atau cara-cara lainnya, dan harus dibuktikan kepada bank tertarik dengan dokumen yang lengkap.[4] Berdasarkan SE BI 9/2007 Romawi XI, pembatalan terhadap penolakan cek karena adanya pemenuhan oleh penarik dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak penolakan, maka bukti-bukti yang ditunjukkan kepada bank adalah sebagai berikut (SE BI 9/2007 Romawi IV):

  1. Untuk penyelesaian kewajiban melalui Kliring, dokumen pendukung yang harus dilampirkan paling kurang berupa:
    1. Fotokopi cek yang ditolak dengan alasan kosong dan telah diselesaikan pembayarannya serta telah dinyatakan sesuai dengan aslinya dari pejabat bank tertarik; dan
    2. Fotokopi rekening koran yang menunjukkan bahwa penarik telah menyelesaikan kewajiban penarikan cek kosong tersebut melalui kliring serta telah dinyatakan sesuai dengan aslinya dari pejabat bank tertarik.
  2. Untuk penyelesaian kewajiban di luar kliring, dokumen pendukung yang harus dilampirkan paling kurang berupa:
    1. Fotokopi identitas Penarik dan Pemegang seperti KTP, SIM atau Paspor;
    2. Fotokopi Cek dan/atau Bilyet Giro yang ditolak dengan alasan kosong dan telah diselesaikan pembayarannya serta telah dinyatakan sesuai dengan aslinya dari pejabat Bank Tertarik; dan
    3. Pernyataan tertulis di atas materai yang ditandatangani oleh Penarik dan Pemegang yang menyatakan bahwa kewajiban pembayaran atas Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong telah diselesaikan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal penolakan. Pernyataan tertulis tersebut paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut identitas Penarik dan Pemegang; nomor dan nilai nominal Cek dan/atau Bilyet Giro yang telah diselesaikan; tanggal penolakan dalam Kliring; tanggal penyelesaian pembayaran; dan cara penyelesaian pembayaran yang telah dilakukan
    4. fotokopi kuitansi penerimaan pembayaran yang ditandatangani Pemegang yang telah dinyatakan sesuai dengan aslinya dari pejabat Bank Tertarik;
    5. dokumen-dokumen lain yang membuktikan telah diselesaikannya kewajiban Penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong (jika ada).

Apabila pemilik rekening yang melakukan penarikan cek kosong tidak dapat melaksanakan ketentuan Pasal 22 Ayat (1) Huruf b PBI 8/2006 (penyelesaian selama jangka waktu 7 hari) untuk dapat dilakukan pembatalan terhadap penolakan cek, maka langkah lain yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan langkah hukum ke pengadilan guna mendapatkan putusan sebagaimana dimaksud Pasal 22 Ayat (1) Huruf c PBI 8/2006 atau mengajukan bukti-bukti lain terkait ketentuan Pasal 22 Ayat (1) Huruf a, d dan e PBI 8/2006 yang mana diatur lebih lanjut detail pembuktiannya pada SE BI 9/2007 Romawi IV.

 

Sumber:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD);
  2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Transfer Dana;
  3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/29/PBI/2006 tentang Daftar Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong;
  4. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/32/KEP/DIR/1995 tentang Cek/Bilyet Giro Kosong;
  5. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/13/DASP 2007 perihal Daftar Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong;
  6. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/10/DASP 2000 Perihal Tata Usaha Penarikan Cek/Bilyet Giro Kosong sebagaimana telah beberapa kali diubah dan terakhir dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/33/DASP 2006 perihal Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/10/DASP 2000 Perihal Tata Usaha Penarikan Cek/Bilyet Giro Kosong;
  7. Kodifikasi Peraturan Bank Indonesia, Sistem Pembayaran Non Tunai, Daftar Hitam Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong, diterbitkan oleh Bank Indonesia;
  8. Divi Kusumaningrum, Akibat Hukum Atas Terbitnya Cek Kosong, Jurnal Cahaya Aktiva Vol. 8, No. 1, Maret 2018;
  9. Masyhuri, Masalah Penggunaan Cek Kosong Dalam Transaksi Bisnis, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTIE Vol. 10, No. 2, Noember 2017;
  10. https://www.bi.go.id/id/fungsi-utama/sistem-pembayaran/default.aspx#:~:text=Apa%20Itu%20Sistem%20Pembayaran%3F,timbul%20dari%20suatu%20kegiatan%20ekonomi.

 

Penulis: Mirna R., S.H., M.H., CCD.

Editor: R. Putri J., S.H., M.H., CTL. CLA.

 

[1] https://www.bi.go.id/id/fungsi-utama/sistem-pembayaran/default.aspx#:~:text=Apa%20Itu%20Sistem%20Pembayaran%3F,timbul%20dari%20suatu%20kegiatan%20ekonomi.

[2] Divi Kusumaningrum, Akibat Hukum Atas Terbitnya Cek Kosong, Jurnal Cahaya Aktiva Vol. 8, No. 1, Maret 2018, hlm. 4-5.

[3] Masyhuri, Masalah Penggunaan Cek Kosong Dalam Transaksi Bisnis, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTIE Vol. 10, No. 2, Noember 2017, hlm. 6.

[4] Kodifikasi Peraturan Bank Indonesia, Sistem Pembayaran Non Tunai, Daftar Hitam Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong, diterbitkan oleh Bank Indonesia.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.