Redenominasi Dalam Perspektif Hukum di Indonesia

Pengertian Redenominasi
Wacana redenominasi rupiah kembali mengemuka pada akhir 2025 setelah Kementerian Keuangan bersama Bank Indonesia menyampaikan rencana pengajuan Rancangan Undang-Undang Redenominasi. Langkah ini dimaksudkan untuk menyederhanakan nilai rupiah dengan menghilangkan tiga digit nol pada nominal tanpa mempengaruhi daya beli masyarakat. Meski tampak sebagai kebijakan yang bersifat teknis, redenominasi membawa implikasi hukum dan ekonomi yang signifikan. Pelaku usaha yang beroperasi secara legal harus melakukan berbagai penyesuaian administratif maupun kontraktual.
Kebijakan redenominasi berupa penyederhanaan digit nominal mata uang tanpa mengurangi nilai riilnya, merupakan domain kebijakan moneter yang sepenuhnya berada dalam ruang lingkup pengaturan undang-undang. Kebijakan tersebut memerlukan pertimbangan yang komprehensif dari aspek makroekonomi, stabilitas fiskal dan moneter, kesiapan infrastruktur sistem pembayaran, hingga literasi keuangan masyarakat. Dalam konteks keberlakuan Pasal 5 ayat (1) huruf c dan Pasal 5 ayat (2) huruf c UU Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang (selanjutnya disebut “UU 7/2011”) yang hanya mengatur kewajiban pencantuman pecahan nominal dalam angka dan huruf, tidak dapat semata-mata ditafsirkan sebagai penghalang atau penyebab langsung belum dilaksanakannya redenominasi.[1] Sebagai contoh redenominasi, uang sejumlah Rp 1.000,00 (seribu rupiah) untuk uang lama menjadi Rp 1 (satu rupiah) dalam uang baru, dan harga barang dari Rp 20.000 menjadi Rp 20. Dengan demikian, perubahan hanya bersifat nominal, bukan nilai ekonomi.
Hal yang penting adalah redenominasi tidak sama dengan sanering karena redenominasi tidak akan mengurangi daya beli. Sanering adalah pemotongan nilai uang sekaligus mengurangi daya beli terhadap barang dan jasa. Sanering terjadi pada saat kondisi perekonomian di suatu negara sedang tidak sehat.[2]
Pengaruhnya pada Berbagai Regulasi di Indonesia
Dampak dari kebijakan redenominasi ini turut berpengaruh ke dalam regulasi-regulasi lain di Indonesia. Terdapat kemungkinan bahwa hal tersebut akan berdampak pada peraturan perundang-undangan dimana dengan diberlakukannya redenominasi maka seluruh penyebutan dan/atau penggunaan rupiah akan dinyatakan dalam rupiah baru (hasil setelah redenominasi). Hal tersebut tentu saja akan berdampak pada segala macam pencatatan transaksi, peraturan perundang-undangan seperti penerapan sanksi denda, keputusan pengadilan, perjanjian, surat berharga, dokumen keuangan dan sebagainya. Efek redenominasi bukan perkara yang mudah untuk dilakukan. Sebagai contoh, legalitas kontrak-kontrak investasi yang nantinya juga dipertanyakan. Oleh karenanya perlu adanya pengharmonisasian ketentuan perundang undangan yang sudah ada dan perlu diatur di dalam ketentuan peralihan di dalam RUU tentang Perubahan Harga Rupiah.[3]
Peraturan perpajakan juga sangat bergantung pada angka nominal, mulai dari batas PKP, tarif PPh, PPN, tarif final UMKM, hingga nilai administrasi lain seperti PNBP. Pembukuan dan pelaporan pajak juga perlu disesuaikan agar tidak terjadi selisih nilai yang berpotensi melanggar Pasal 69 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut “UU 40/2007”) maupun ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 dan Undang-Undang nomor 6 Tahun 2023 (selanjutnya disebut “UU KUP”). Seluruh lembaga keuangan dan layanan digital, termasuk bank, dompet elektronik, dan pasar modal, wajib melakukan konversi denominasi secara serempak. Apabila terjadi kesalahan dalam pengubahan nilai atau gangguan sistem, hal tersebut dapat dipandang sebagai wanprestasi administratif dan menimbulkan tanggung jawab hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut “UU 8/1999”) serta regulasi Otoritas Jasa Keuangan.
Redenominasi mengharuskan seluruh angka-angka keuangan disesuaikan dengan nilai rupiah baru. Maka dari itu keberhasilan redenominasi membutuhkan landasan hukum yang memadai agar konversi nilai pada berbagai aturan, termasuk pajak, tidak menimbulkan kekeliruan interpretasi. Kontrak perdata juga tentunya akan terdampak jika kebijakan ini dilaksanakan, sebab kontrak-kontrak perdata seperti perjanjian sewa, kredit bank, jual beli, kerja sama usaha, dan kontrak pemerintah semuanya mencantumkan nominal rupiah. Redenominasi menuntut adanya konversi otomatis terhadap nilai kontraktual tersebut agar tidak terjadi salah tafsir.
Setiap perusahaan wajib menyesuaikan seluruh kontrak, perjanjian kerja sama, dan dokumen hukum yang menggunakan satuan rupiah. Berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian tetap mengikat selama nilai ekonominya tidak berubah. Namun, tanpa addendum administratif yang mencantumkan konversi nominal, potensi salah tafsir dan sengketa sangat besar, terutama untuk kontrak jangka panjang seperti sewa, kredit, dan proyek infrastruktur.
Selama periode transisi redenominasi, seluruh uang lama harus ditukarkan ke uang baru melalui bank yang berwenang. Setiap penukaran dalam jumlah besar otomatis terekam dalam sistem pelaporan anti pencucian uang sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disebut “UU 8/2010”), sehingga pemilik dana ilegal, termasuk koruptor dan pelaku kejahatan finansial, tidak lagi dapat menyembunyikan aset tunainya.
Bank juga berkewajiban menerapkan prinsip Know Your Customer (KYC) serta menyampaikan laporan transaksi mencurigakan kepada PPATK, yang selanjutnya dapat meneruskan informasi tersebut kepada KPK atau Kepolisian untuk menelusuri asal-usul dana. Pelaku korupsi yang menahan diri untuk menukarkan uangnya demi menghindari pelacakan berisiko kehilangan nilai seluruh uang tersebut setelah masa transisi berakhir. Mekanisme tersebut mirip dengan kebijakan demonetisasi India tahun 2016, ketika uang tunai hasil kejahatan tidak lagi dapat ditukar dan kehilangan kekuatan berlakunya.[4]
Penulis: Nabilah Hanifatuzzakiyah, S.H.
Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA.
Daftar Pustaka
Admin Alchemist Law Office. (2025). Dampak hukum redominasi rupiah terhadap dunia bisnis dan efeknya bagi koruptor. Alchemist Group. https://alchemistgroup.co/dampak-hukum-redominasi-rupiah-terhadap-dunia-bisnis-dan-efeknya-bagi-koruptor/ (diakses 14 November 2025)
Mada WK, B. A. (2017). Mendorong Implementasi Redenominasi Rupiah Untuk Peningkatan Efisiensi Dan Daya Saing Ekonomi Indonesia Di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Value Journal of Management and Business, 1(2).
Pujianti, S. (2025). Redenominasi Rupiah Tak Bisa Dipaksakan Lewat Pengujian Undang-Undang. Humas MKRI. https://www.mkri.id/berita/redenominasi-rupiah-tak-bisa-dipaksakan-lewat-pengujian-undang-undang-23507 (diakses 14 November 2025)
Rumby Chayati, S. H., M. H. (2015). Redenominasi Rupiah Dalam Perspektif Hukum. Prosiding Seminar Nasional Kebangkitan Teknologi Tahun 2015.
[1] Sri Pujianti, 2025, “Redenominasi Rupiah Tak Bisa Dipaksakan Lewat Pengujian Undang-Undang”, Humas MKRI, https://www.mkri.id/berita/redenominasi-rupiah-tak-bisa-dipaksakan-lewat-pengujian-undang-undang-23507 (diakses 14 November 2025)
[2] B. Andreas Mada WK, 2017, “Mendorong Implementasi Redenominasi Rupiah Untuk Peningkatan Efisiensi Dan Daya Saing Ekonomi Indonesia Di Era Masyarakat Ekonomi Asean (Mea)”, Value Journal of Management and Business, Vol. 1, No. 2, hlm 98.
[3] Rumby Chayati, SH, MH, 2015, “Redenominasi Rupiah Dalam Prespektif Hukum”, Prosiding Seminar Nasional Kebangkitan Teknologi Tahun 2015, hlm. 161.
[4] Admin Alchemist Law Office, 2025, “Dampak Hukum Redominasi Rupiah terhadap Dunia Bisnis dan Efeknya bagi Koruptor”, Alchemist Group, https://alchemistgroup.co/dampak-hukum-redominasi-rupiah-terhadap-dunia-bisnis-dan-efeknya-bagi-koruptor/ (diakses 14 November 2025)
Baca juga:
Eksistensi Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi
Resensi Buku: Hukum Merek (Trademark Law), Dalam Era Global & Integrasi Ekonomi Oleh Prof. DR. Rahmi Jened, S.H., M.H.
Resensi Buku: Kejahatan di Bidang Ekonomi (Economic Crimes) Oleh Andi Hamzah
Penahanan Barang Untuk Pemeriksaan Bea Cukai
Upah di Bawah Upah Minimum dan 1 Akibat yang Harus Diperhatikan
Tonton juga:
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaanhukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.
