Rancangan Undang-Undang Penghinaan Terhadap Presiden

Pembaharuan hukum pidana erat kaitannya dengan rekonstruksi hukum pidana. Istilah merekonstruksi mengandung makna membangun kembali, dimana jika dikaitkan dengan rekonstruksi hukum pidana maka hal tersebut bermakna membangun kembali sistem hukum pidana nasional. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, pembaharuan hukum pidana dapat diartikan sebagai pembaharuan terhadap keseluruhan asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat dan juga mencakup lembaga-lembaga dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan. Macam-macam pembaharuan hukum pidana jika dilihat dari suatu sistem hukum meliputi:[1]
- Pembaharuan Substansi Hukum Pidana. Meliputi pembaharuan hukum pidana materiil (KUHP dan UU diluar KUHP), hukum pidana formil (KUHAP), dan hukum pelaksanaan pidana.
- Pembaharuan Struktur Hukum Pidana. Meliputi antara lain pembaharuan atau penataan intitusi atau lembaga, sistem managemen dan mekanismenya serta sarana prasarana pendukung dari sistem hukum pidana.
- Pembaharuan Budaya Hukum Pidana. Meliputi masalah kesadaran hukum, perilaku hukum, pendidikan hukum dan ilmu hukum pidana.
Hukum pidana di Indonesia menggunakan Wetboek van Strafrecht Staadblad 1915 No. 732 (Wvs) yang diberlakukan sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958. Selama diberlakukan di Indonesia, KUHP mengalami penambahan, pengurangan dan perubahan, namun jiwanya tidak berubah. Kedudukan KUHP dalam sistem hukum pidana nasional sangat penting. Keberadaan KUHP bahkan bersifat sentral karena didalamnya terdapat penyebutan tindak pidana umum yang meliputi seluruh kehidupan negara. Selain itu, ketentuan umum dalam Bab I sampai dengan Bab VIII Buku I KUHP juga berlaku untuk tindak pidana lain diluar KUHP, kecuali jika ditentukan lain dalam undang-undang. Berkaitan dengan kedudukan sentral tersebut, maka pembaharuan hukum pidana mau tidak mau harus menyangkut pembaharuan dari KUHP.[2]
Pada tahun 2006, Mahakamah Konstitusi (MK) dalam putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 tentang Pencabutan Pasal Penghinaan Terhadap Presiden menyatakan bahwa Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP secara nyata telah bertentangan dengan konstitusi, khususnya Pasal 28E ayat (2), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Pertimbangan MK mengabulkan uji materi tersebut karena Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP dapat menghambat proses ketatanegaraan. Penyebabnya adalah tidak jelasnya rumusan sebuah perbuatan yang dimaksud sebagai penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden. Dalam pertimbangannya MK mencontohkannya dengan jika ada dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden atau Wakil Presiden, maka upaya klarifikasi yang dilakukan masyarakat dapat dipandang sebagai penghinaan. Oleh karena itu, sebagai negara hukum yang demokratis dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, tidak relevan lagi jika ketiga pasal tersebut mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi serta prinsip kepastian hukum.[3] Bunyi Pasal 134, Pasal 136bis dan Pasal 137 KUHP tersebut adalah sebagai berikut:
- Pasal 134 KUHP
“Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
- Pasal 136bis KUHP
“Pengertian penghinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 mencakup juga perumusan perbuatan dalam Pasal 315, jika hal itu dilakukan diluar kehadiran yang dihina, baik dengan tingkah laku di muka umum, maupun tidak dimuka umum dengan lisan atau tulisan, namun di hadapan lebih dari empat orang, atau di hadapan orang ketiga, bertentangan dengan kehendaknya dan oleh karena itu merasa tersinggung.”
- Pasal 137 KUHP
“(1) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan dimuka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, dengan maksud supaya isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan pada waktu menjalankan pencariannya, dan pada saat itu belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, maka terhadapnya dapat dilarang menjalankan pencaharian tersebut.”
Kemudian dalam konteks perlindungan hukum terhadap Presiden dan Wakil Presiden, Rancangan KUHP 2006 memberikan pengaturan melalui Pasal-Pasal sebagai berikut:[4]
- Pasal 265 RUU KUHP. Pasal ini mengancam pidana paling lama 5 tahun atau denda paling banyak kategori IV atau setara dengan paling banyak Rp. 75.000.000,- (Pasal 80 ayat (3) RKUHP) bagi setiap orang yang dimuka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden. Pasal ini merupakan pengganti Pasal 134 KUHP, dimana pasal ini memiliki redaksi yang sama dengan Pasal 134 KUHP, hanya saja berbeda dalam hal lamanya pidana dan jumlah denda yang diterapkan. Bunyi Pasal 265 secara lengkap antara lain sebagai berikut:
“Setiap orang yang dimuka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.”
- Pasal 266 RKUHP. Pasal ini merupakan pengganti Pasal 137 KUHP, dimana ketentuannya sama dengan Pasal 137 KUHP hanya saja telah mengalami modifikasi atau perubahan dari segi redaksional maupun sanksinya, khususnya sanksi denda. Kemudian pada Pasal 266 ayat (2) mengatur tentang tambahan pidana pencabutan hak menjalankan profesi tertentu. Merumuskan tindak pidana penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan rumusan tindak pidana sebagai berikut:
- Menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum;
- Memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum;
- Berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden;
- Dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum.
Bunyi Pasal 266 RKUHP secara lengkap antara lain sebagai berikut:
“(1) Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana denda paling banyak Kategori IV.
(2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf g.”
Upaya pembaharuan hukum pidana kemudian dilanjutkan lagi oleh pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) yang mengajukan RKUHP ke DPR pada tanggal 11 Desember 2012 dengan surat berkas revisi nomor R-88/Pres/12/2012 yang memuat 766 pasal. Jika dibandingkan dengan WvS, RKUHP menambah sekitar 197 pasal, salah satunya yang paling krusial adalah pasal penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden. Norma hukum yang mengatur mengenai penghinaan Presiden dan Wakil Presiden masih sama dengan RKUHP tahun 2006, yaitu dalam Pasal 265 dan Pasal 266. Bunyi pasal 265 RKUHP 2012 sama denga bunyi Pasal 265 RKUHP 2006, hanya saja besaran kategori IV pada RKUHP 2012 setara Rp. 300.000.000,-. Sedangkan bunyi Pasal 266 RKUHP 2012 berbeda dengan bunyi Pasal 266 RKUHP 2006 yang berbunyi sebagai berikut:[5]
“Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wapres dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.”
Pasal 265 dan Pasal 266 RKUHP 2012 secara substansi sama dengan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP.
Pembahasan terkait tindak pidana penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden juga terdapat dalam draft naskah akademik RUU KUHP oleh Kemenkumham pada tahun 2015 menyatakan bahwa alasan perlu dipertahankannya ketentuan mengenai “Penghinan Presiden” adalah untuk:[6]
- Kepentingan (rechtsbelangan) atau nilai dasar (basic values) yang ingin dilindungi oleh delik penghinaan adalah martabat/derajat kemanusiaan (human dignity) yang merupakan salah satu nilai universal yang dijunjung tinggi;
- Penghinaan pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat tercela (dilihat dari berbagai aspek: moral, agama, nilai kemasyarakatan dan nilai HAM/kemanusiaan), karena menyerang/merendahkan martabat kemanusiaan, oleh karena itu dilarang di berbagai negara;
- Penentuan ruang lingkup jenis tindak pidana penghinaan bisa berbeda-beda untuk setiap negara. Hal ini termasuk masalah kebijakan kriminal dan sosial yang berkaitan erat dengan nilai sosio-filosofis, sosio-politis, dan sosio-kultural setiap negara;
- Ruang lingkup penghinaan orang biasa, orang tertentu (petugas agama, hakim, golongan penduduk, lembaga negara, lambang negara, aparat negara, pemerintah, Presiden/Wakil Presiden, lambang/simbol negara lain, agama, ibadah keagamaan, bahkan orang yang sudah mati);
- Dirasakan janggal kalau penghinaan terhadap orang biasa, orang yang sudah mati, bendera, lambang kenegaraan, pejabat umum, dan kepala negara lain saja dijadikan tindak pidana, sedangkan penghinaan terhadap Presiden tidak, terlebih status/kedudukan Presiden berbeda dengan orang biasa, dilihat dari sudut sosiologis, hukum dan ketatanegaraan;
- Karena status Presiden berbeda dengan orang biasa pada umumnya, maka tidak pada tempatnya hal ini dihadapkan/dipermasalahkan dengan prinsip “equality before the law”. Apabila dipermasalahkan demikian, semua perbedaan jenis tindak pidana yang didasarkan pada status/kualifikasi yang berbeda (seperti terdapat dalam jenis penghinaan, pembunuhan, penganiayaan, dan lain-lain) juga berarti harus ditiadakan karena dipandang bertentangan dengan prinsip “equality before the law”.
Wicipto Setiadi, Kepala BPHN dan anggota Tim Perumus RKUHP mengemukakan bahwa dasar pertimbangan perumusan kembali pasal penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden dalam RKUHP adalah untuk melindungi Presiden dan Wakil Presiden yang merupakan personifikasi atau simbol kenegaraan. Pembuatan pasal tersebut tidak mengarah pada sesuatu yang disebut sebagai perilaku anti-demokrasi. Oleh karena itu, menurutnya semua orang diperkenankan untuk mengkritik Presiden dan Wakil Presiden asal tidak disertai dengan penghinaan. Pihak yang setuju dengan adanya pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam RKUHP antara lain pakar hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Zulfirman; dan Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji. Sementara pihak yang tidak setuju diantaranya adalah Ketua Presidium Indonesia Police watch (IPW), Neta S Pane; dan beberapa anggota DPR RI, salah satunya Eva Kusuma Sundari (anggota komisi III dari FPDIP). Neta S Pane berpendapat bahwa pencantuman pasal penghinaan terhadap Presiden melanggar konstitusi dan legalitasnya dipertanyakan karena MK telah mencabut pasal serupa dalam KUHP, sedangkan Eva Kusuma Sundari berpendapat bahwa pasal penghinaan terhadap Presiden akan menghidupkan politisi “penjilat” selain juga dapat menurunkan kualitas demokrasi.[7]
Pembahasan RUU Pasal Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden masih berjalan hingga saat ini. Pasal ini akan di akomodir dalam RUU KUHP, dan menjadi RUU prioritas tahun 2021. Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif pada hari Rabu, 9 Juni 2021 setelah rapat kerja bersama Komisi III DPR menyampaikan bahwa RUU KUHP akan segera dimasukkan sebagai RUU Prioritas 2021. Setelah Draft RUU KUHP dapat diakses oleh masyarakat umum, sejumlah pihak masih menyoroti pasal-pasal yang dianggap kontroversial, salah satunya adalah pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden.[8] Perumusan hukum pidana hendaknya dilakukan melalui pendekatan yang berorientasi pada nilai (value oriented approach), baik nilai kemanusiaan, nilai kebudayaan, maupun nilai moral keagamaan. Selain itu, tujuan akhir atau tujuan utama dari kebijakan hukum pidana ialah perlindungan masyarakat (social defence) untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang sudah dinyatakan inkonstitusional oleh MK sejak tahun 2006, jika di akomodir lagi dalam RKUHP dianggap tidak sesuai dengan tujuan akhir atau tujuan utama kebijakan hukum pidana. Masyarakat akan merasa terkekang untuk mengkritisi kinerja pemerintah dengan keberadaan pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden.[9]
[1] Adhya Satya Lambang B. “Kebijakan Tindak Pidana Penghinaan Terhadap Presiden”. Tesis Universitas Diponegoro Semarang:2009.
[2] Ibid.
[3] Dian Cahyaningrum. “Polemik Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)”. Jurnal Info Singkat Hukum Vol. V No. 08/II/P3DI/April/2013.
[4] Op cit. Adhya Satya Lambang B.
[5] Op cit. Dian Cahyaningrum.
[6] https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/RJ1-20181127-110919-8068.pdf
[7] Op cit. Dian Cahyaningrum.
[8] Nurul Fitriana. “RKUHP Masuk RUU Prioritas 2021, Penghinaan Presiden Masuk Delik Aduan”. https://www.kompas.tv/article/182032/rkuhp-masuk-ruu-prioritas-2021-penghinaan-presiden-masuk-delik-aduan?page=3 .
[9] Ajie Ramdan. “Kontroversi Delik Penghinaan Presiden/Wakil Presiden Dalam RKUHP (Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006)”. Jurnal Yudisial Vol. 13 No. 2 Agustus 2020.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanDirect Investment
Ancaman Pidana Terkait Tindakan Aurel Memetik Bunga Edelweis

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.