Ramai Pengemis dan Pengamen Kaya, Bagaimana Negara Mengatur?

Belakangan ramai berita dan topik yang membahas pengemis dan pengamen kaya. Pada tahun 2019, data pengemis dan pengamen di setiap perkotaan diperkirakan sebanyak 77.500.[1] Data tersebut tentunya sudah mengalami peningkatan, apalagi saat ini kondisi perekonomian yang belum stabil pasca pandemi Covid-19. Di balik banyaknya pengemis dan pengamen, ternyata 2 kegiatan tersebut dapat menghasilkan keuntungan yang banyak. Dilansir dari Kompas.com, beberapa pengemis dan pengamen tersebut mempunyai tabungan miliaran rupiah, mobil, rumah dan barang-barang mewah lainnya dari hasil mengemis dan mengamen,[2] disinilah timbul pertanyaan bagaimana negara mengatur tentang pengemis dan pengamen yang demikian.
Pengemis dan pengamen merupakan salah satu golongan masyarakat yang harus mendapatkan perhatian khusus dari Pemerintah, terutama tentang kesejahteraan hidup dan kesehatannya. Menurut Y. Argo Twikromo, pengemis dan pengamen dapat dikatakan bagian dari gelandangan, yaitu orang yang tidak tentu tempat tinggalnya, pekerjaannya dan arah tujuan kegiatannya.[3] Menurut Dimas Dwi Irawan, khusus untuk kata pengemis lazim digunakan untuk sebutan bagi orang yang membutuhkan uang, makan, tempat tinggal, atau hal lainnya dari orang yang ditemuinya dengan cara meminta.[4]
Dari penjelasan di atas, maka dapat diketahui pengemis merupakan istilah tersendiri yang memiliki makna berbeda dengan pengamen yang dikategorikan sebagai Gelandangan. Sementara dalam ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai hal ini yaitu, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1980 Tentang Tentang Penanggulangan Gelandangan Dan Pengemis (PP 31/1980) tidak mengenal istilah pengamen. Nsmun demikian, ketentuan tersebut menggunakan istilah Gelandangan dan Pengemis yang diartikan dalam Pasal 1 Angka 1 dan 2 PP 31/1980 yang berbunyi:
Angka 1:
“Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum.”
Angka 2:
“Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan pelbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.”
PP 31/1980 merupakan aturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial sebagaimana telah dicabut oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial (UU Kesos). Akan tetapi menurut ketentuan Pasal 58 UU Kesos, PP 31/1980 dinyatakan tetap berlaku sebagaimana yang berbunyi:
“Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3039) yang ada pada saat diundangkannya Undang-Undang ini, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau diganti berdasarkan Undang-Undang ini.”
Dibentuknya PP 31/1980 bertujuan agar tidak terjadi pergelandangan dan pengemisan, serta mencegah meluasnya pengaruh akibat pergelandangan dan pengemisan di dalam masyarakat, dan memasyarakatkan kembali gelandangan dan pengemis menjadi anggota masyarakat yang menghayati harga diri, serta memungkinkan pengembangan para gelandangan dan pengemis untuk memiliki kembali kemampuan guna mencapai taraf hidup, kehidupan, dan penghidupan yang layak sesuai dengan harkat martabat manusia. Ada beberapa upaya penanggulangan bagi gelandangan dan pengemis dalam PP 31/1980 yakni upaya preventif, upaya represif dan upaya rehabilitatif.
Upaya preventif dimaksudkan untuk mencegah timbulnya gelandangan dan pengemis di dalam masyarakat, yang ditujukan baik kepada perorangan maupun kelompok masyarakat yang diperkirakan menjadi sumber timbulnya gelandangan dan pengemis.[5] Upaya yang dilakukan berbentuk seperti penyuluhan dan bimbingan sosial, bantuan sosial, perluasan kesempatan kerja dan usaha-usaha lain yang bersifat preventif.
Upaya represif dimaksudkan untuk mengurangi dan/atau meniadakan gelandangan dan pengemis yang ditujukan baik kepada seseorang maupun kelompok orang yang disangka melakukan pergelandangan dan pengemisan.[6] Upaya yang dilakukan seperti razia, penampungan sementara untuk diseleksi dan pelimpahan. Di samping itu, terdapat pula upaya rehabilitative yang merupakan salah satu bentuk represif, sebab Upaya tersebut meliputi usaha-usaha penampungan, seleksi, penyantunan, penyaluran dan tindak lanjut, bertujuan agar fungsi sosial mereka dapat berperan kembali sebagai warga masyarakat.[7]
Sejalan sesuai dengan UU Kesos, rehabilitasi dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. Mengenai bentuk rehabilitasi sendiri diatur lebih rinci dalam Pasal 7 Ayat (3) UU Kesos yang terdiri:
- motivasi dan diagnosis psikososial;
- perawatan dan pengasuhan;
- pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan;
- bimbingan mental spiritual;
- bimbingan fisik;
- bimbingan sosial dan konseling psikososial;
- pelayanan aksesibilitas;
- bantuan dan asistensi sosial;
- bimbingan resosialisasi;
- bimbingan lanjut; dan/atau
Keberadaan UU Kesos dan PP 31/1980 merupakan implementasi dari amanat Pasal 34 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa negara berkewajiban untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Sehingga upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah sebagaimana yang dimuat dalam UU Kesos maupun PP 31/1980 adalah perwujudan pelaksanaan kewajiban negara dalam menjamin terpenuhinya hak atas kebutuhan dasar warga negara yang miskin dan tidak mampu.
Akan tetapi, dalam hal ini Pemerintah juga perlu selektif dalam melakukan penindakan khususnya bagi pengemis dan pengamen yang sudah memiliki harta kekayaan. Sebab, mereka seharusnya tidak lagi dapat dikategorikan sebagai pengemis atau pengamen dalam ketentuan perundang-undangan. Selain itu, penghasilan atau harta kekayaan yang dimiliki, sudah seharusnya untuk dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan. Meskipun di sisi lain ada kewajiban bagi negara untuk memberdayakan, akan tetapi dengan adanya penghasilan dan harta kekayaan yang berlimpah tersebut sudah menunjukkan bahwasanya pengemis dan pengamen tersebut mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.
Tidak jarang, justru mengemis dan mengamen digunakan sebagai mata pencaharian, yang tentunya akan sangat meresahkan masyarakat. Saat melihat pengemis ataupun pengamen, muncul rasa ingin membantu dari masyarakat, namun faktanya justru orang-orang yang dibantu tersebut sudah memiliki harta kekayaan yang lebih, bahkan rumah yang megah. Tentunya sifat yang demikian bukan lagi berkaitan dengan kebutuhan hidup, melainkan kebiasaan atau kecanduan dengan hasil yang diperoleh yang tidak jarang juga bernilai fatastis. Oleh karena itu, pemerintah harus tegas dalam menindak orang-orang yang demikian.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa semakin berkembang dan banyaknya pengemis dan pengamen di setiap kota, ternyata beberapa telah memiliki kekayaan dan dapat memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, sudah seharusnya Pemerintah membuat kebijakan terkait penanganan bagi warga negara yang tidak mampu secara ekonomi. Baik dengan cara penyuluhan, pelatihan kerja, dan lain-lain. Hal ini bertujuan agar dapat menurunkan angka jumlah pengemis dan gelandangan di kemudian hari.
Penulis: Rizky P. J, S.H
Editor: R. Putri, J, S.H., M.H., CTL, CLA., & Mirna R, S.H., M.H., CCD.
[1] Diamanty Meiliana, Diperkirakan Ada 77.500 Gepeng di Kota-kota Besar di Indonesia, https://nasional.kompas.com/read/2019/08/22/21281421/diperkirakan-ada-77500-gepeng-di-kota-kota-besar-di-indonesia.
[2] Rachmawati, 9 Cerita Pengemis “Kaya” di Tanah Air, Ada yang Bermobil dan Punya Kartu Kredit, https://regional.kompas.com/read/2023/07/12/112200378/9-cerita-pengemis-kaya-di-tanah-air-ada-yang-bermobil-dan-punya-kartu?page=all.
[3] Y. Argo Twikromo, Gelandangan Yogyakarta: Suatu kehidupan dalam bingkai tatanan Sosial-Budaya “Resmi”, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1999, halaman 6.
[4] Dimas Dwi Irawan, Pengemis Undercover Rahasia Seputar Kehidupan Pengemis, Titik Media Publisher, Jakarta, 2013, halaman 1.
[5] Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1980 Tentang Tentang Penanggulangan Gelandangan Dan Pengemis
[6] Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1980 Tentang Tentang Penanggulangan Gelandangan Dan Pengemis
[7] Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1980 Tentang Tentang Penanggulangan Gelandangan Dan Pengemis
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanPenyidikan Tindak Pidana di Bidang Bea dan Cukai
Eksepsi Error in Persona Dalam Hukum Acara Perdata

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.