Ramai Jaksa Bharada E Menangis Saat Baca Tuntutan: Bagaimana Kode Etik Jaksa?
Jaksa Penuntut Umum terlihat menangis saat membacakan tuntutan 12 (dua belas) tahun terhadap Bharada Eliezer (Bharada E). Jaksa yang membacakan kesimpulan tuntutan tampak telah terbata-bata, tampak rekannya langsung saja menepuk pundak Jaksa tersebut untuk menguatkan. Jaksa Penuntut Umum menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Hal yang memberatkan tuntutan Richard Eliezer adalah perannya sebagai eksekutor yang mengakibatkan hilangnya nyawa korban Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.[1]
Tuntutan atau tepatnya dalam bahasa hukum yakni surat tuntutan, dapat dijelaskan sebagai kesimpulan Jaksa Penuntut Umum atas pemeriksaan perkara yang dibuat berdasarkan proses pembuktian di persidangan. Sementara itu, tuntutan pidana adalah kewenangan permohonan Jaksa Penuntut Umum kepada pengadilan atas hasil pemeriksaan persidangan. Tuntutan pidana baru muncul apabila pelaku tindak pidana sudah disidangkan di pengadilan dan pemeriksaan bukti-bukti dinyatakan selesai oleh hakim. Dalam tuntutan pidana, apabila penuntut umum berpendapat pelaku tindak pidana terbukti bersalah melakukan tindak pidana, maka pengadilan akan menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana tersebut.
Jaksa Penuntut Umum dalam membuat tuntutan pidananya memiliki beberapa tahapan yang harus dipenuhi sebagaimana diatur dalam Pedoman Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum (Pedoman 3/2019). Pedoman ini untuk menjamin kemandirian dan kebebasan yang bertanggung jawab dari penuntut umum dalam mengajukan tuntutan pidana, menyederhanakan mekanisme pengajuan tuntutan pidana dan menghindari disparitas tuntutan pidana. Kasus pembunuhan Brigadir J merupakan kasus yang dapat dikatakan perkara penting berskala nasional menurut Pedoman 3/2019 karena adanya penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum dalam hal ini kepolisian. Adapun kriteria perkara penting berskala nasional menurut Pedoman 3/2019 yakni:
- Pelaku atau korban tindak pidana merupakan pejabat pemerintah pusat, tokoh agama, tokoh masyarakat, atau seseorang yang menarik perhatian media massa nasional atau masyarakat luas atau yang mendapat perhatian dari negara sahabat;
- Menggunakan modus operandi atau sarana/teknologi canggih yang berdampak luas baik secara nasional atau internasional, mendapat perhatian media massa, dunia akademik, atau forensik;
- Menimbulkan korban jiwa dalam jumlah banyak atau yang dilakukan secara sadis atau merusak bangunan atau objek vital nasional;
- Perkara tindak pidana terhadap keamanan negara atau ketertiban umum yang berdampak luas atau meresahkan masyarakat;
- Perkara yang dalam penanganannya diduga telah terjadi penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang menarik perhatian media massa atau masyarakat luas; dan/atau
- Perkara dengan dampak luas, meliputi 2 (dua) atau lebih daerah hukum Kejaksaan Tinggi.
Dalam Pedoman 3/2019 diatur pada prinsipnya Jaksa Agung merupakan pimpinan dan penanggung jawab tertinggi Kejaksaan sehingga kendali dalam melaksanakan tugas dan wewenang seorang Jaksa dalam melakukan penuntutan adalah delegasi dari kewenangan yang dimiliki seorang Jaksa Agung yang kemudian diberikan kepada Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala cabang Kejaksaan Negeri. Dengan prinsip itu dapat diartikan bahwa dalam perkara yang tidak masuk dalam kriteria perkara penting, seorang Kepala Kejaksaan Negeri atau Kepala cabang Kejaksaan Negeri-lah yang menentukan atau memberikan petunjuk mengenai tuntutan pidana. Apabila suatu perkara masuk dalam kriteria penting tetapi bukan skala nasional atau dapat dikatakan perkara penting skala daerah, maka kewenangan Jaksa Agung dalam mengendalikan tuntutan pidana didelegasikan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi, dan apabila kriteria perkara itu penting berskala nasional maka rencana tuntutan atau kendali penuntutan langsung dilakukan oleh Jaksa Agung Muda atau Jaksa Agung. Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, tuntutan 12 (dua belas) tahun Bharada E yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum dimungkinkan sebagiannya bukan hal yang diinginkan oleh Jaksa Penuntut Umum, tetapi dapat diduga adanya keterlibatan atasan dalam menentukan tuntutan atas hasil pemeriksaan. Pedoman 3/2019 menentukan seorang Jaksa Penuntut Umum harus mendapat persetujuan dari atasannya lewat mekanisme pelaporan Rencana Tuntutan (Rentut) sebelum mengajukan tuntutan.. Adanya kebijakan rencana tuntutan yang harus dimintakan petunjuk atau pendapat mulai dari Kepala Seksi atau bahkan sampai Jaksa Agung dapat diduga akan menghilangkan independensi Penuntut Umum dalam menentukan tuntutan pidana kepada terdakwa. Jaksa seharusnya bisa independen, karenanya dengan adanya kebijakan rencana tuntutan berjenjang akan membuka peluang adanya campur tangan dari atasan Penuntut Umum yang berpotensi menimbulkan abuse of power atau penyalahgunaan wewenang karena adanya petunjuk dalam rencana tuntutan dari pimpinan yang akan dibacakan oleh Penuntut Umum di persidangan hanya didasarkan atas resume selama persidangan.[2]
Permasalahan ini dapat dikategorikan sebagai permasalahan independensi Jaksa Penuntut Umum dalam melaksanakan profesinya. Adanya permintaan kepada atasan merupakan tindakan yang tidak adil, Jaksa Penuntut Umumlah yang mengetahui secara langsung kondisi dan keadaan si terdakwa sehingga dapat menentukan hal-hal yang menjadi peringan dan pemberat tuntutan pidana terhadapnya. Padahal dalam Pasal 8 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER–014/A/JA/11/2012 Tentang Kode Perilaku Jaksa mengenai kemandirian menyatakan bahwa:
(1)Jaksa melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya:
- secara mandiri terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah maupun pengaruh kekuasaan lainnya; dan
- tidak terpengaruh oleh kepentingan individu maupun kepentingan kelompok serta tekanan publik maupun media.
(2) Jaksa dibenarkan menolak perintah atasan yang melanggar norma hukum dan kepadanya diberikan perlindungan hukum.
(3) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara tertulis kepada yang memberikan perintah dengan menyebutkan alasan, dan ditembuskan kepada atasan pemberi perintah.
Dengan demikian jelas bahwa tuntutan 12 (dua belas) tahun terhadap kejujuran Bharada E dalam membuktikan pembunuhan Brigadir J dapat diduga tidak murni berasal dari kehendak Jaksa Penuntut Umum yang hadir secara langsung pada saat pemeriksaan yangdimungkinkan karena adanya pendelegasian kewenangan sebelum dilakukannya penuntutan (rencana tuntutan) sebagaimana diatur dalam Pedoman 3/2019.
Penulis; Rizky P.J.
Editor: R. Putri J. & Mirna R.
[1] Tribun-Medan, Jaksa Menangis Saat Bacakan Tuntutan Penjara Bharada Eliezer 12 Tahun, Hingga Persidangan Ribut, https://medan.tribunnews.com/2023/01/18/jaksa-menangis-saat-bacakan-tuntutan-penjara-bharada-eliezer-12-tahun-hingga-persidangan-ribut.
[2] Adam Ilyas, Independensi Penuntut Umum dalam Kebijakan Rencana Tuntutan Berjenjang untuk Menentukan Tuntutan Pidana, Jurnal Pandecta, Volume 16, Nomor 1, June 2021.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaanhukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.