Putusan Pengesahan Perkawinan Beda Agama Disorot Komisi III DPR dan KY, Batas-Batas Kebebasan Kekuasaan Kehakiman

Pengesahan perkawinan beda agama yang diputus oleh Hakim pada Pengadilan Negeri Surabaya dengan Perkara Register Nomor 916/Pdt.P/2022/PN.Sby masih menjadi pembicaraan di kalangan masyarakat, pasalnya selama ini Indonesia tidak pernah mencatatkan perkawinan beda agama yang dilangsungkan di Indonesia (Baca: https://hukumexpert.com/perkawinan-beda-agama-diijinkan-oleh-pengadilan-negeri-surabaya/). Meski sebelumnya telah terdapat perkawinan beda agama yang dilangsungkan dengan salah satu agama (Baca: https://hukumexpert.com/hijab-di-katredal-perkawinan-beda-agama/) namun perkawinan tersebut dilangsungkan dengan tata cara salah satu agama. Penetapan Hakim terkait pengesahan perkawinan beda agama tersebut ternyata menjadi sorotan beberapa pihak tidak terkecuali Komisi III DPR dan Komisi Yudisial.
Komisi III berpendapat bahwa penetapan Hakim Pengadilan Negeri Surabaya tersebut telah mencederai Pancasila dan UUD 1945.[1] Di saat bersamaan Komisi Yudisial dalam menanggapi Majelis Ulama Indonesia, menyebut bahwa penetapan Hakim Pengadilan Negeri Surabaya tersebut telah melanggar undang-undang. Komentar demi komentar keluar, tidak hanya oleh lembaga-lembaga negara melainkan juga masyarakat pada umumnya, baik itu pro maupun kontra.
Sebelumnya, telah pernah dibahas terkait dengan macam-macam gugatan, yang salah satunya adalah gugatan voluntair atau disebut juga permohonan (Baca: https://hukumexpert.com/jenis-jenis-gugatan/?detail=ulasan). Perkara permohonan yang sifatnya tidak menyertakan pemohon tersebut, menjadikan penetapan atas suatu permohonan tidak dapat diajukan upaya hukum apapun. Dengan demikian, putusan register nomor 916/Pdt.P/2022/PN.Sby adalah final dan mengikat, hal mana akan menjadi dasar bagi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk mencatatkan perkawinan dimaksud.
Tidak menutup kemungkinan penetapan tersebut akan menjadi yurisprudensi, yang merupakan salah satu sumber hukum. Indonesia memang tidak menganut sistem preseden, dimana sebelumnya harus diikuti oleh hakim yang memutus perkara dengan karakteristik perkara yang sama. Meski demikian, tidak menutup kemungkinan, hakim-hakim selanjutnya akan menjadikan pertimbangan hakim pada perkara register nomor 916/Pdt.P/2022/PN.Sby tersebut menjadi acuan dalam memutus perkara yang sama, yang juga menjadi salah satu penyebab banyak pihak menentang penetapan tersebut.
Keberatan terhadap putusan/penetapan pada dasarnya dapat diajukan melalui upaya hukum. Upaya hukum tersebut menjadi salah satu wadah untuk menguji putusan/penetapan hakim, yang mana dilakukan pula oleh hakim dengan kedudukan di lembaga yang lebih tinggi seperti Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung. Namun demikian, seperti yang telah disampaikan sebelumnya, perkara register nomor 916/Pdt.P/2022/PN.Sby adalah penetapan yang final dan mengikat.
Pengujian suatu putusan/penetapan oleh hakim pada lembaga yang lebih tinggi tidak terlepas dari prinsip trias politica, dimana dalam suatu negara dikenal 3 (tiga) kekuasaan yang terpisah diantaranya kekuasaan ekesekutif (Presiden dan lembaga-lembaga di bawahnya), Kekuasaan Kehakiman, dan Kekuasaan pembuat undang-undang yang dipegang oleh DPR. Meski demikian, Indonesia bukanlah penganut trias politica murni, hal tersebut dapat dilihat dengan kekuasaan pembuat undang-undang yang juga sebagian kewenangannya diserahkan kepada Presiden. Di sisi lain, kekuasaan kehakiman itu sendiri telah diakui dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Pengertian kebebasan kekuasaan kehakiman dapat juga diartikan sebagai pemisahan dan terlepas dari pengaruh kedua lembaga di atas.[2] International Principles on the Indepndence and Accountability of Judges, Lawyers and Prosecutors, menyatakan bahwa,
“A state would be in breach of its international obligation if the judiciary were not an independent branch of power. Therefore, in this context, independence refers both in the individual judge as well as to the judiciary as a whole”.[3]
Jimmly Asshidiqie membedakan kebebasan kekuasaan kehakiman dalam tiga hal, yaitu:
- Structural Independence, yaitu kebebasan lembaga kekuasaan kehakiman yang membuatnya benar-benar terpisah dari organisasi lain.
- Functional Independence, yaitu kebebasan kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan fungsinya.
- Dan Financial Independence, yaitu kebebasan kekuasaan kehakiman dalam menentukan sendiri anggarannya, termasuk gaji.[4]
The Bangalore Principles of Judicial Conduct juga memberikan pengertian sebagai,
“Judicial Indepencendence is a pre requisite to the rule of law and a fundamental fuarantee of a fair trial. A judge shall therefore uphold and exemplify judicial independence in both its individual and institutional aspect.”
Bahkan dalam value 1, ditentukan bahwa hakim harus bebas dari pengaruh, tekanan, intervensi secara langsung atau tidak langsung dari berbagai pihak, baik pihak eksekutif atau legislatif, dan juga pengaruh dari luar seperti media atau pendapat masyarakat.[5] Berdasarkan pada pengertian-pengertian tersebut, maka kekuasaan kehakiman memiliki kebebasan yang dapat pula diartikan hampir mutlak.
Kekuasaan tersebut disebut hampir mutlak, sebab kekuasaan kehakiman juga terikat pada hal-hal tertentu. Paulus E Lotulung menyatakan bahwa, “tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab”.[6] Kebebasan kehakiman tidak membuat hakim terbebas dari akuntabilitas publik.[7] Di samping itu, International Principles on the Independence and Accountability of Judges, Lawyers and Prosecutors menyebutkan, bahwa meski kebebasan kekuasaan kehakiman dijamin, tetapi juga harus diikuti dengan kemampuan hakim dalam beretika.[8] Oleh karena itu hakim juga harus memiliki akuntabilitas personal, yang mengakibatkan adanya batas-batas bagi hakim untuk berperilaku. Batas-batas tersebut yang kemudian menjadi acuan bagi pihak lain dalam melakukan pengawasan. Salah satu pihak yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap kekuasaan kehakiman adalah Komisi Yudisial.
Komisi Yudisial diatur dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan:
“Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.”
Atas dasar ketentuan tersebut kemudian terbitlah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (selanjutnya disebut “UU KY”). Pasal 13 UU KY menyebutkan wewenang Komisi Yudisial terdiri atas:
- mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;
- menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
- menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung; dan
- menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.
Dengan demikian, Komisi Yudisial hanya memiliki wewenang untuk menegakkan pelaksaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim. Adapun terkait dengan penjatuhan putusan atau penetapan, selama penjatuhan putusan atau penetapan tersebut tidak mengandung unsur adanya pelanggaran terhadap kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim, maka Komisi Yudisial tidak memiliki wewenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap hakim dimaksud.
Dengan demikian, pada dasarnya baik masyarakat maupun DPR tidak memiliki kewenangan atau hak untuk mempengaruhi putusan atau penetapan-penetapan yang dijatuhkan oleh hakim. Pihak yang dapat melakukan penegakan terhadap pelaksaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim adalah Komisi Yudisial, itupun manakala memang dalam penjatuhan penetapan atau putusan memang diduga terdapat pelanggaran atas Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim. Dalam penegakan itupun juga perlu diingat, bahwa hakim bukanlah corong undang-undang, dan hakim memiliki kewenangan untuk menemukan hukum.
[1] https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/39446/t/Komisi+VIII+Soroti+Keputusan+PN+Surabaya+Sahkan+Pernikahan+Beda+Agama
[2] Montesquieu, Baron De, Op Cit, hlm. 173-174.
[3] Principles on the Independence and Accountabilitiy of Judges, Lawyers and Prosecutors, diterima di Jenewa Swiss,2004, hlm. 15.
[4] H. Muchsin, 2004, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, Depok, STIH IBLAM, hlm. 11.
[5] The Bangalore Principles of Judicial Conduct, 2002, hlm. 2.
[6] Paulus E Lotulung, 2003, “Kebebasan Hakim Dalam Sistem Penegakan Hukum”, (disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII), hlm. 6.
[7] Measures for the Effective Implementation of the Bangalore Principles of Judicial Conduct, diterima di Lusaka, Zambia, 2010, hlm. 11.
[8] International Principles on the Independence and Accountability of Judges, Lawyers and Prosecutors, diterima di Jenewa Swiss, 2004, hlm. 53.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanSyarat Kepangkatan Sebagai Penyidik
Resensi Buku: Teori dan Praktik Perseroan Terbatas oleh Dr....
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.
