Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 Mengenai Kedudukan Alat Bukti Elektronik

Perkembangan teknologi informasi melahirkan aturan baru di Indonesia, yaitu diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Secara umum, materi UU ITE dibagi menjadi dua bagian besar yaitu pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik dan pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang. UU ITE tersebut juga mengatur mengenai alat bukti baru sebagai perluasan dari alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ayat (1) dan (2) UU ITE yang berbunyi:
- Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
- Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Dengan adanya perluasan alat bukti dimana alat bukti elektronik dapat digunakan dalam proses pembuktian perka pidana, Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 20/PUU-XIV/2016 menguji kedudukan alat bukti elektronik tersebut dengan beberapa pertimbangan sebagaimana yang akan diuraikan di bawah ini sebagai berikut:
Kedudukan Pemohon Judicial Review
- Permohonan judicial review diajukan oleh Drs. Setya Novanto, dengan kedudukannya selaku perseorangan warga negara Indonesia yang juga merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), namun Pemohon dalam mengajukan permohonan ini tidak bertindak dalam kedudukan Pemohon sebagai warga negara Indonesia anggota DPR RI. Akan tetapi Pemohon bertindak selaku perseorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak-hak konstitusional yang diatur dalam UUD 1945;
- Pemohon menganggap hak-hak konstitusional Pemohon yang diatur di dalam UUD 1945 sebagaimana diuraikan di atas, telah dirugikan atau setidaktidaknya berpotensi dilanggar oleh berlakunya Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Tipikor, khususnya frasa “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik”.
Pokok Permohonan Pemohon
- Pada pokoknya, permohonan Pemohon berkaitan dengan perekaman yang dilakukan secara tidak sah (illegal) atau tanpa izin/persetujuan orang yang berbicara dalam rekaman, atau dilakukan secara diam-diam tanpa diketahui pihak-pihak yang terlibat dalam pembicaraan padahal pembicaraan tersebut dilakukan dalam ruangan tertutup bukan di ruang publik yang memungkinkan akses bagi setiap orang untuk melihat dan mendengar pembicaraan tersebut, maka secara jelas melanggar hak privasi (a reasonable expectation of privacy) dari orang yang pembicaraannya direkam sehingga bukti rekaman semacam itu kedudukannya di mata hukum sama dengan hasil penyadapan yang dilakukan tidak berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
- Bahwa berdasarkan Pasal 17 Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik 1966 (bukti P-13), sebagaimana telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 dinyatakan, “Tidak boleh seorang pun yang dengan sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampurtangani perihal kepribadiannya, keluarganya, rumahtangganya atau surat menyuratnya, demikian pula tidak boleh dicemari kehormatannya dan nama baiknya secara tidak sah”;
- Bahwa tindakan perekaman yang dilakukan oleh orang yang tidak berwenang atau tidak didasarkan atas kekuatan aturan perundang-undangan yang berlaku tidak selaras dengan ketentuan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945, oleh karena itu ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU ITE Sepanjang Tidak Dimaknai bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya yang dapat menjadi alat bukti yang sah menurut hukum acara yang berlaku di Indonesia adalah informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya yang diperoleh menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan/atau dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya;
- .Bahwa untuk menjadikan kaidah undang-undang yang memuat norma tentang informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagai alat bukti yang sah sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Nomor 20 Tahun 2001 menjadi konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), maka kaidah itu haruslah dimaknai bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya yang dapat menjadi alat bukti yang sah menurut hukum acara yang berlaku di Indonesia adalah informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya yang diperoleh menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan/atau dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi dan/atau institusi penegak hukum lainnya. Penafsiran dengan cara pemaknaan seperti ini, menurut hemat Pemohon akan membuat kaidahkaidah Undang-Undang sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Nomor 20 Tahun 2001 itu secara kondisional adalah konstitusional (conditionally constitutional) terhadap kaidah konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945;
- Bahwa dengan pemaknaan seperti yang dimohonkan oleh Pemohon sebagaimana disebutkan di atas, maka kekhawatiran akan tereliminasinya rekaman siaran televisi atau yang lainnya yang dilakukan berdasarkan aturan perundang-undangan sebagai alat bukti yang sah tidak akan terjadi karena hasil perekaman seperti itu jelas dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dalam hal ini Undang-Undang Penyiaran. Dalam pemaknaan yang Pemohon mohonkan di atas, ada 2 (dua) kriteria yang bersifat kumulatif-alternatif yang menyebabkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya dapat dijadikan alat bukti yang sah, yaitu (1) diperoleh menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dan/atau (2) dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi dan/atau institusi penegak hukum lainnya. Dengan terpenuhinya salah satu atau kedua kriteria tersebut, maka informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya dapat dijadikan alat bukti yang sah.
Pertimbangan Hukum
- Bahwa kegiatan dan kewenangan penyadapan merupakan hal yang sangat sensitif karena di satu sisi merupakan pembatasan HAM namun di sisi lain memiliki aspek kepentingan hukum. Oleh karena itu, pengaturan (regulation) mengenai legalitas penyadapan harus dibentuk dan diformulasikan secara tepat sesuai dengan UUD 1945.
- UU ITE mengatur bahwa setiap orang dilarang melakukan intersepsi atau penyadapan seperti yang ditentukan dalam BAB VII PERBUATAN YANG DILARANG khususnya Pasal 31 ayat (1) yang menentukan, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain”. Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU ITE memberi penjelasan apa saja yang termasuk dalam intersepsi atau penyadapan sebagaimana ditentukan dalam penjelasan Pasal 31 ayat (1), yaitu “Yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.”
- Dari ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU ITE dan penjelasannya maka setiap orang dilarang melakukan perekaman terhadap orang lain, dan terhadap pelaku perekaman dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dikenakan sanksi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 46 ayat (1) yang menyatakan, “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”;
- Dalam konteks perlindungan hak asasi manusia maka seluruh kegiatan penyadapan adalah dilarang karena melanggar hak konstitusional warga negara khususnya hak privasi dari setiap orang untuk berkomunikasi sebagaimana dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945. Penyadapan sebagai perampasan kemerdekaan hanya dapat dilakukan sebagai bagian dari hukum acara pidana, seperti halnya penyitaan dan penggeledahan. Tindakan penyadapan adalah bagian dari upaya paksa yang hanya boleh dilakukan berdasarkan Undang-Undang dan harus diatur hukum acaranya melalui Undang-Undang yang khusus mengatur hukum formil terhadap penegakan hukum materiil. Bahkan dalam konteks penegakan hukum sekalipun, pemberian kewenangan penyadapan sudah seharusnya sangat dibatasi untuk menghindari potensi digunakannya penyadapan secara sewenang-wenang. Kewenangan penyadapan tidak dapat dilakukan tanpa kontrol dan dalam konteks penegakan hukum yang paling berwenang memberikan izin melakukan penyadapan sekaligus melaksanakan kewenangan checks and balances terhadap kewenangan tersebut adalah pengadilan atau pejabat yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang;
- Sebagai perbandingan, sehubungan dengan penyadapan, di Amerika Serikat diatur dalam Title III of Ombnibus Crime and Safe Street Act 1968. Dalam Ombnibus Crime and Safe Street Act 1968 yang menentukan bahwa semua penyadapan harus seizin pengadilan, namun izin dari pengadilan tetap ada pengecualian yaitu penyadapan dapat dilakukan tanpa menunggu persetujuan pengadilan, yaitu penyadapan atas komunikasi dalam keadaan mendesak yang membahayakan keselamatan jiwa orang lain, aktivitas konspirasi yang mengancam keamanan nasional dan karakteristik aktivitas konspirasi dari organisasi kejahatan.
- Berdasarkan pertimbangan di atas maka penyadapan harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar hak privasi warga negara yang dijamin dalam UUD 1945 tidak dilanggar. Apabila memang diperlukan, penyadapan harus dilakukan dengan izin pengadilan agar ada lembaga yang mengontrol dan mengawasi sehingga penyadapan tidak dilakukan sewenang-wenang. Oleh karena penyadapan di Indonesia sudah diatur dalam Undang-Undang meskipun tersebar di beberapa Undang-Undang sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah dalam paragraf [3.8] di atas, namun belum diatur mengenai hukum acaranya, sehingga menurut Mahkamah untuk melengkapi kekuranglengkapan hukum acara tentang penyadapan maka Mahkamah perlu memberi tafsir terhadap frasa “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” yang termuat dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Tipikor sebagaimana yang akan disebutkan dalam amar putusan di bawah ini;
- Dari pertimbangan putusan Mahkamah tersebut, sampai saat ini belum terdapat Undang-Undang yang secara khusus mengatur tentang penyadapan sebagaimana yang diamanatkan oleh putusan Mahkamah. Oleh karena itu, untuk mengisi kekuranglengkapan hukum tentang penyadapan yang termasuk di dalamnya perekaman agar tidak semua orang dapat melakukan penyadapan yang termasuk di dalamnya perekaman maka penafsiran bersyarat yang dimohonkan oleh Pemohon terhadap frasa “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Tipikor beralasan hukum sepanjang dimaknai frasa “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE;
- Menimbang bahwa selain itu, Mahkamah perlu juga mempertimbangkan mengenai bukti penyadapan berupa rekaman pembicaraan sesuai dengan hukum pembuktian. Dalam hukum pembuktian, rekaman pembicaraan adalah real evidence atau physical evidence. Pada dasarnya barang bukti adalah benda yang digunakan untuk melakukan suatu tindak pidana atau benda yang diperoleh dari suatu tindak pidana atau benda yang menunjukkan telah terjadinya suatu tindak pidana. Dengan demikian, rekaman pembicaraan dapat dijadikan bukti sebagai barang yang menunjukkan telah terjadi suatu tindak pidana. Persoalannya adalah apakah rekaman pembicaraan merupakan bukti yang sah dalam hukum acara pidana? Untuk menilai rekaman tersebut merupakan bukti yang sah adalah dengan menggunakan salah satu parameter hukum pembuktian pidana yang dikenal dengan bewijsvoering, yaitu penguraian cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di pengadilan. Ketika aparat penegak hukum menggunakan alat bukti yang diperoleh dengan cara yang tidak sah atau unlawful legal evidence maka bukti dimaksud dikesampingkan oleh hakim atau dianggap tidak mempunyai nilai pembuktian oleh pengadilan.
Amar Putusan
Mengadili,
Menyatakan:
- Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
- Frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
- Frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
- Frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
- Frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
- Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
- Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Berdasarkan uraian di atas, adanya Putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016 merupakan bentuk pengakuan dan perlindungan atas hak konstitusional yaitu hak warga negara yang dijamin undang-undang termasuk warga negara Indonesia untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 dan merupakan satu indikator yang positif bagi perkembangan ketatanegaraan dalam merefleksikan kemajuan penguatan prinsip-prinsip negara hukum di Indonesia. Selain itu, berkaitan dengan bukti elektronik, Putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016 memberikan pertimbangan dengan adanya frasa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan Kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya, maka bukti elektronik agar sah sebagai alat bukti harus terdapat permintaan dari penegak hukum.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanProtes Kenaikan Pajak Hiburan Inul Daratista: Tinjauan Hukum dan...
Penemuan Hukum Atau Rechsvinding Oleh Hakim

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.