Putusan Berkekuatan Hukum Tetap

Indonesia merupakan negara hukum. Hal ini tertuang dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang tertulis “Negara Indonesia adalah negara hukum”, yang dimaksud negara hukum adalah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dan tidak ada kekuasaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan (akuntabel).[1] Di dalam kehidupan bermasyarakat, tiap-tiap individu atau orang mempunyai kepentingan yang berbeda antara orang satu dengan yang lainnya, adakalanya kepentingan antar para pihak itu saling bertentangan sehingga menimbulkan suatu sengketa hukum. Dalam melaksanakan hak dan kewajiban pada suatu hubungan hukum yang seringkali menjadi sumber timbulnya sengketa hukum adalah apabila hak seseorang yang diberikan oleh hukum materiil dilanggar, kepentingan seseorang yang dilindungi oleh hukum materiil diingkari.
Dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, dalam sebuah peradilan pidana terdapat putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), “Putusan Incracht adalah putusan Pengadilan Negeri yang diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara, putusan perdamaian, putusan verstek yang terhadapnya tidak diajukan verzet atau banding; putusan Pengadilan Tinggi yang diterima oleh kedua belah pihak dan tidak dimohonkan kasasi; dan putusan Mahkamah Agung dalam hal kasasi.[2] Putusan inkracht (berkekuatan hukum tetap) terjadi karena hakim telah memeriksa dan mengadili perkara yang gagal didamaikan dalam tahap mediasi. Pada prinsipnya hanya putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan dapat dijalankan. Suatu putusan itu dapat dikatakan telah mempunyai kekuatan hukum tetap apabila di dalam putusan mengandung arti suatu wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti antara pihak yang berperkara sebab hubungan hukum tersebut harus ditaati dan harus dipenuhi oleh pihak tergugat.
Bagaimana upaya yang dapat dilakukan terhadap putusan yang mempunyai hukum tetap (inkracht)? “Selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, upaya peninjauan kembali tidak dapat dipergunakan. Terhadap putusan yang demikian hanya dapat ditempuh upaya hukum biasa berupa banding atau kasasi. Upaya hukum peninjauan kembali baru terbuka setelah upaya hukum biasa (berupa banding dan kasasi) telah tertutup. Upaya hukum peninjauan kembali tidak boleh melangkahi upaya hukum banding dan kasasi.”[3] Pengaturan secara umum upaya hukum peninjauan kembali diatur dalam Pasal 263 s.d. Pasal 269 KUHAP. Putusan perkara pidana yang dapat diajukan peninjauan kembali adalah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 263 ayat [1] KUHAP). Upaya peninjauan kembali juga diatur dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.” Mengenai wewenang memutus peninjauan kembali dan cara mengajukan peninjauan kembali diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung (UU MA), dalam ketentuan Pasal 28 dan Pasal 34 UU MA menyebutkan “MA bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir atas putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Adapun jenis – jenis putusan menurut sifatnya ada 3 (tiga) di Indonesia, yaitu sebagai berikut :
- Putusan declaratoir;
Putusan Declaratoir adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim dengan amar yang menyatakan atau menegaskan tentang suatu keadaan atau kedudukan yang sah menurut hukum semata-mata.[4] Misalnya, tentang kedudukan sebagai anak sah, kedudukan sebagai ahli waris, atau tentang pengangkatan anak
- Putusan constitutief;
Putusan Constitutief adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim yang amarnya menciptakan suatu kedaan hukum yang baru,[5] baik yang bersifat meniadakan suatu keadaan hukum maupun yang menimbulkan keadaan hukum baru. Misalnya putusan perceraian yang merupakan putusan yang meniadaan keadaan hukum yakni tidak ada lagi ikatan hukum antara suami dan istri sehingga putusan itu meniadakan hubungan perkawinan yang ada, dan bersamaan dengan itu timbul keadaan hukum yang baru kepada suami dan istri, yaitu yang bersangkutan menjadi janda dan duda.
- Putusan condemnatoir;
Putusan Condemnatoir adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim dengan amar yang bersifat menghukum. Bentuk hukuman dalam perkara perdata berbeda dengan hukuman dalam perkara pidana. Dalam perkara perdata, bentuk hukumannya berupa kewajiban untuk melaksanakan atau memenuhi prestasi yang dibebankan kepada pihak yang terhukum. Prestasi yang dimaksud dapat memberi, berbuat, atau tidak berbuat.[6]
Menurut ketentuan Pasal 196 Herzien Inlandsh Reglement (HIR) dan Pasal 207 Rechtreglement Voor de Buitengewestem (RBg), ada 2 (dua) cara untuk menyelesaikan pelaksanaan putusan, yaitu dengan cara sukarela (pihak yang kalah secara sukarela melaksanakan putusan), dan dengan cara paksa atau yang disebut dengan eksekusi oleh pengadilan. Suatu putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan di dalam bunyi isi putusan tersebut memerintahkan panitera atau juru sita untuk melaksanakan eksekusi terhadap benda milik pihak yang dikalahkan merupakan alasan bagi pihak ketiga mengajukan gugatan perlawanan apabila benda yang dijadikan obyek sita eksekutorial tadi oleh orang lain (pihak ketiga) sebagai barang miliknya dan bukan milik pihak yang dikalahkan dalam perkara semula. Pihak ketiga tersebut mempunyai hak untuk melakukan perlawanan apabila dinilai pelaksanaan isi putusan hakim yang memerintahkan eksekusi terhadap obyek sita eksekutorial telah merugikan hak dan kepentingannya. Jadi akibat dari suatu putusan yang berkekuatan hukum adalah hubungan hukum tersebut harus ditaati dan dipenuhi oleh pihak yang kalah dalam persidangan. Apabila tidak ada itikad baik untuk melaksanakan putusan akan dilaksanakan eksekusi oleh pengadilan.
[1] Penjelasan Pasal 1 Ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
[2] penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi
[3] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali , JAKARTA : SINAR GRAFIKA., 2009, hal. 615
[4] M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, cet III, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2003), hal. 48
[5] Riduan Syrahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, cet. I, (Jakarta:Pustaka Kartini, 1998), hal. 83
[6] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, cet. V, (Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti, 1992), hal.165
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanGugatan kepada Panglima TNI Atas Pengangkatan Pangdam Jaya
Kredit Pemilikan Rumah

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.