Proses Perceraian Non Islam

Berbicara mengenai perceraian maka erat kaitannya dengan perkawinan. Perceraian merupakan salah satu alasan putusnya perkawinan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 38 huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah mengalami perubahan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan). Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan antara lain suami istri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri sebagaimana ketentuan dalam Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan. Berdasarkan penjelasan ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan, alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah :

    1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
    2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya;
    3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
    4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;
    5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
    6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.

Pasal 40 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan. Pengadilan yang dimaksud dalam hal ini adalah pengadilan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 63 ayat (1) UU Perkawinan, yaitu Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam, dan Pengadilan Umum bagi lainnya. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka perceraian pada orang yang beragama non Islam dilakukan di Pengadilan Umum/Pengadilan Negeri.

Tata cara perceraian diatur lebih lanjut dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut PP 9/1975). Pasal 20 ayat (1) PP 1/1975 menyatakan bahwa gugatan perceraian diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Pengadilan yang dimaksud dalam pembahasan artikel ini adalah Pengadilan Negeri sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1 huruf b dan c PP 1/1975. Apabila kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan Negeri tempat kediaman penggugat sebagaimana ketentuan dalam Pasal 20 ayat (2) PP 1/1975. Kemudian, apabila tergugat bertempat kediaman diluar negeri, maka gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan Negeri ditempat kediaman penggugat, Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat sebagaimana ketentuan dalam Pasal 20 ayat (3) PP 1/1975.

Gugatan perceraian dapat memberikan konsekuensi atau akibat hukum terhadap pembagian harta bersama (harta gono gini). Terhadap pembagian harta gono gini dalam perceraian orang non Islam berbeda ketentuan dengan perceraian orang Islam. Dalam perceraian orang Islam gugatan pembagian harta gono gini dapat diajukan sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan gugatan perceraian sebagaimana ketentuan dalam Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah mengalami dua kali perubahan dengan perubahan terakhir dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (selanjutnya disebut UU Peradilan Agama) yang menyatakan sebagai berikut :

“Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap

Sedangkan terhadap gugatan harta gono gini dalam Pengadilan Negeri tidak dapat digabungkan bersama dengan gugatan perceraian, sebab Pengadilan Negeri patuh dan tunduk pada peraturan perundang-undangan Hukum Acara Perdata, yaitu Herzeine Inlandsch Reglement (HIR). Berdasarkan hal tersebut, maka terhadap gugatan perceraian dalam Pengadilan Negeri, proses persidangan diawali dengan sidang perceraian, kemudian setelahnya dapat dilanjutkan dengan sidang gugatan harta gono gini. Apabila gugatan perceraian digabungkan dengan gugatan harta gono gini, maka Hakim dapat menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) sebagaimana contoh dalam Putusan Nomor 656 K/Pdt/2012 yang menolak gugatan Penggugat sepanjang mengenai pembagian harta bersama dan hanya mengabulkan tuntutan Penggugat untuk perkara perceraian.[1] Dalam putusan tersebut juga menyebutkan mengenai pertimbangan hakim berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 913 K/SIP/1982 tanggal 21 Mei 1983 yang pada pokoknya menyatakan :

“Suatu gugatan perdata yang petitumnya menuntut agar perkawinan Penggugat dengan Tergugat diputus dengan perceraian, maka tuntutan ini tidak dapat ditambah atau digabungkan dengan tuntutan pembagian harta bersama, gugatan ini harus diajukan secara tersendiri setelah putusan mengenai perceraiannya mempunyai kekuatan hukum tetap“

Walaupun pada dasarnya tidak ada aturan yang secara eksplisit mengatur mengenai batasan petitum (hal yang dimintakan) dalam gugatan cerai dan gugatan harta gono gini dalam perceraian orang non Islam, namun berdasarkan ketentuan tersebut, maka petitum dalam gugatan cerai seharusnya berbeda dengan petitum gugatan untuk pembagian harta gono gini. Petitum dalam gugatan cerai seharusnya hanya terbatas pada permintaan penggugat untuk memutus hubungan perkawinan dengan tergugat, sedangkan dalam gugatan harta gono gini yaitu permintaan untuk pembagian harta bersama antara penggugat dan tergugat.

Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, pengadilan dapat mengizinkan suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah sebagaimana ketentuan dalam Pasal 24 ayat (1) PP 1/1975. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, pengadilan dapat menentukan hal-hal sebagaimana ketentuan dalam Pasal 24 ayat (2) PP 1/1975, diantaranya yaitu :

    1. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami;
    2. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak;
    3. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami-istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.

Kemudian, setelah terjadinya perceraian pengadilan dapat menetapkan hal-hal sebagaimana ketentuan dalam Pasal 41 UU Perkawinan, diantaranya yaitu :

    1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
    2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
    3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

 

[1] Astriani Van Bone, Penyelesaian Sengketa Harta Bersama Berstatus Agunan Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Negeri, Jurnal Lex Administratum, Vol. V, No. 5, Manado : Universitas Sam Ratulangi, Jul 2017, hal. 85.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.