Prinsip Proporsional dalam Perjanjian

Kontrak diadakan karena adanya unsur kepentingan yang dimiliki oleh para pihak yang mengadakannya. Sejatinya dalam mengadakan sebuah kontrak terlebih dahulu diawali dengan proses negosiasi. Tujuan dari adanya negosiasi untuk mempertemukan kepentingan yang menjadi sebuah kesepakatan. Dalam negosiasi tersebut terjadi tawar menawar mengenai kepentingan-kepentingan yang dimiliki para pihak, kemudian dipertemukan kepentingan para pihak tersebut menjadi sebuah kesepakatan yang kemudian dijadikan sebagai hukum yang mengatur para pihak tersebut yang mengadakannya. Pada praktiknya banyak perdebatan mengenai keseimbangan dan ketidakseimbangan berkontrak yang pada akhirnya berujung pada isu-isu tentang “keadilan berkontrak” seperti pada kontrak bisnis (komersial).

Dalam buku ke III Kitab Undang-undang Hukum perdata, setidaknya terdapat tiga asas yang berlaku bagi hukum kontrak, yaitu:[1]

  1. Asas kebebasan berkontrak (menurut bentuk dan isi) dengan perkecualian kontrak-kontrak dalam bentuk formal dan riil dan (isi) syarat kausa yang diperbolehkan.
  2. Asas daya mengikat kontrak dengan perkecualian daya pembatasan iktikad baik dan overmacht, dan
  3. Asas yang menyatakan bahwa perjanjian hanya menciptakan perikatan di antara para pihak dalam perjanjian/kontrak dengan perkecualian janji yang dibuat demi kepentingan pihak ketiga.

Asas-asas tersebut secara bersama-sama merupakan satu kesatuan dalam satu sistem check and balance yang bertugas untuk mendorong terciptanya hubungan hukum dalam kontrak yang proporsional, sehingga dengannya asas-asas tersebut bersama dengan asas proporsionalitas menjadi bagian yang tidak terpisahkan guna mewujudkan kontrak yang berkeadilan. Berdasarkan sistem check and balance tersebut, asas proporsionalitas berfungsi untuk mengoreksi asas kebebasan berkontrak yang didalam pelaksanaannya justru tidak memberikan keadilan bagi salah satu pihak. Asas proporsionalitas bermakna sebagai “asas yang melandasi atau mendasari pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai proporsi atau bagiannya dalam seluruh proses kontraktual.” Asas proporsionalitas mengandaikan pembagian hak dan kewajiban diwujudkan dalam seluruh proses hubungan kontraktual, baik pada fase pra kontraktual, pembentukan kontrak maupun pelaksanaan kontrak (pre-contractual, contractual, post contractual). Asas proporsional sangat berorientasi pada konteks hubungan dan kepentingan para pihak (menjaga kelangsungan hubungan agar berlangsung kondusif dan adil).[2] Asas proporsionalitas tidak hanya penting untuk menghasilkan kontrak yang berkeadilan dan saling menguntungkan (keadilan substansial), namun dengan asas proporsionalitas penting juga untuk menekankan adanya fairness (keadilan dalam prosedur), sehingga atas perannya tersebut seyogyanya asas proporsionalitas dapat selalu terlibat dalam setiap proses pembentukan kontrak. Asas proporsionalitas tidak termasuk dalam syarat sahnya perjanjian.[3] Akan tetapi perjanjian tersebut tetap sah dan mengikat berdasarkan pasal 1320 KUHPerdata jika terdapat kesepakatan dan kecakapan diantara pihak serta terdapat objek perjanjian dan telah sesuai dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum

Menurut Agus Yudha Hernoko mengajukan suatu kriteria yang dapat dijadikan pedoman untuk menemukan asas proporsionalitas dalam kontrak, sebagai berikut:

  1. Kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang memberikan pengakuan terhadap hak, peluang dan kesempatan yang sama kepada para kontraktan untuk menentukan pertukaran yang adil bagi mereka. Kesamaan bukan dalam arti “kesamaan hasil” melainkan pada posisi para pihak yang mengandaikan “kesetaraan kedudukan dan hak (equitability)” (prinsip kesamaan hak/kesetraan hak)
  2. Berlandaskan pada kesamaan/kesetaraan hak tersebut, maka kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang dilandasi oleh kebebasan para kontraktan untuk menentukan substansi apa yang adil dan apa yang tidak adil bagi mereka (prinsip kebebasan)
  3. Kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara proporsional bagi para pihak. Perlu digaris bawahi bahwa keadilan tidak selalu berarti semua orang mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang sama, dalam konteks ini dimungkinkan adanya hasil akhir yang berbeda. Dalam hal ini, maka prinsip distribusi-proporsional terhadap hak dan kewajiban para pihak harus mengacu pada pertukaran yang fair (prinsip distribusi-proporsional)
  4. Dalam hal terjadinya sengketa kontrak, maka beban pembuktian, berat ringan kadar kesalahan maupun hal-hal lain terkait harus diukur berdasarkan asas proporsionalitas untuk memperoleh hasil penyelesaian yang elegan dan win-win solution.

Contoh sederhana yang dapat menjelaskan eksistensi dan daya kerja asas proporsionalitas, sebagai berikut:

A dan B sepakat untuk membeli sebungkus rokok yang berisi 10 batang seharga Rp. 10.000,00 secara patungan dan akan membaginya secara proporsional. A mempunyai uang sebesar Rp. 8.000,00 dan B sebesar Rp. 2.000,00. Secara sederhana maka pembagian hak dan kewajiban yang proporsional dari kasus di atas adalah sebagai berikut:

  1. Dari beban kewajiban membayar sebesar Rp. 8.000,00 maka A memperoleh hak sebanyak 8 (delapan) batang rokok;
  2. Sebaliknya, B yang membayar sebesar Rp. 2.000,00 memperoleh hak sebanyak 2 (dua) batang rokok;
  3. Secara matematis, hasil yang diperoleh masing-masing pihak adalah tidak sama (tidak seimbang – tidak adil). Hal ini dikarenakan sebagian besar pihak yang memberikan penilaian semata-mata hanya melihat dari hasil akhir tanpa memahami proses yang berlangsung sebelumnya. Oleh karena itu mereka hanya memaknai perbandingan matematis, yaitu: 8 (delapan) batang : 2 (dua) batang.
  4. Namun apabila ditinjau dari asas porporsionalitas pembagian tersebut adil dan proporsional. Seharusnya penilaian adil atau tidak adil harus dianalisis secara komprehensif pada seluruh proses, bahwa untuk memperoleh 8 (delapan) batang rokok tersebut A dibebani kewajiban membayar Rp. 8.000,00. Tentunya beban kewajiban ini lebih berat dibandingkan dengan kewajiban B yang hanya membayar Rp. 2.000,00. Sehingga wajar untuk pengorbanan yang lebih besar A memperoleh hasil yang lebih besar pula. Jadi proporsionalitas harus dihitung dari awal proses hingga hasil akhirnya.
  5. Baik A maupun B, keduanya sama memperoleh rokok serta merasakan kenikmatan rokok. Perbedaan hanya terletak jumlah dan lama waktu menghisap rokok, namun rasa rokok sama-sama dapat dinikmati keduanya.
  6. Proses penyelesaian tersebut di atas menggambarkan bagaimana prinsip kesamaan atau kesetaraan, kebebasan dan distribusi proporsional berlangsung dengan fair.

Berdasarkan contoh-contoh tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa daya kerja asas proporsionalitas meliputi proses prakontrak, pembentukan maupun pelaksanaan kontrak. Asumsi kesetaraan posisi para pihak, terbukanya peluang negosiasi serta aturan main yang fair menunjukkan bekerjanya mekanisme pertukaran hak dan kewajiban yang proporsional. Disini problematika mengenai ada atau tidaknya keseimbangan para pihak pada dasarnya kurang relevan lagi diungkapkan, karena melalui kesetaraan posisi para pihak, terbukanya peluang negosiasi serta aturan main yang fair, maka substansi keseimbangan itu sendiri telah tercakup dalam mekanisme pertukaran hak dan kewajiban yang proporsional.

Berbeda dengan Asas Keseimbangan yang dapat dibaca dalam artikel berjudul Prinsip Keseimbangan Dalam Perjanjian[4]. Berikut perbedaan mendasar mengenai prinsip Proposionalitas dan Keseimbangan dalam sebuah perjanjian, antara lain:

NoPerbedaanProposionalitasKeseimbangan
1PengertianProporsionalitas (Asas proporsionalitas) acap kali sekadar dipahami dalam konteks hukum pembuktian, meskipun pada dasarnya asas proporsionalitas harus dimaknai sebagai pembagian hak dan kewajiban menurut proporsi yang meliputi segenap aspek kontraktual secara keseluruhan.

 

 

Keseimbangan acap kali diartikan dalam kesamaan, sebanding dalam jumlah, ukuran atau posisi. Dalam perspektif kontrak, asas keseimbangan diberikan penekanan pada posisi tawar para pihak harus seimbang. Tidak adanya keseimbangan para pihak mengakibatkan kontrak menjadi tidak seimbang dan membuka peluang intervensi penguasa untuk menyeimbangkannya;

 

2Ruang LingkupKarakteristik kontrak komersial menempatkan posisi para pihak pada kesetaraan, sehingga tujuannya berorientasi pada keuntungan bisnis dengan pertukaran hak dan kewajiban yang proposional (fair).Memberikan keseimbangan posisi para pihak yang berkontrak, apabila terjadi ketidakseimbangan posisi yang menimbulkan gangguan terhadap isi kontrak diperlukan intervensi otoritas tertentu (pemerintah). Asas keseimbangan (equal-equilibrium) akan bekerja memberikan keseimbangan apabila posisi tawar para pihak dalam menentukan kehendak menjadi tidak seimbang
3PengaturanAsas Proposionalitas tidak atur dalam undang-undang atau peraturan yang mengatur tentang perjanjian, namun digunkan dalam sebuah perjanjian dan itu sah.Penerapan asas keseimbangan yaitu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UU Perlindungan Konsumen)

 

 

[1] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie), buku ke III tentang perikatan

[2] Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2014, Hal. 84

[3] Cut Helmi Yanti Simbolon*, Ery Agus Priyono, Dewi Hendrawati, DIPONEGORO LAW REVIEW, 2016

[4] https://hukumexpert.com/prinsip-keseimbangan-dalam-perjanjian/

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.