Prinsip Pemisahan Horizontal dan Perlekatan Dalam Hukum Tanah

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA), terkait aturan pertanahan berlaku 2 (dua) aturan hukum, yaitu hukum tanah barat yang bersumber dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPer) dan hukum tanah adat yang bersumber dari hukum adat. Dalam Pasal 500, Pasal 571, Pasal 601, Pasal 603 dan Pasal 604 KUHPer berlaku asas perlekatan (natrekking/accesie), sedangkan didalam hukum tanah adat berlaku prinsip atau asas yang bernama  asas pemisahan horizontal (horizontale scheiding). Prinsip pemisahan ini yaitu keterkaitan antara kepemilikan tanah dengan benda-benda diatasnya. Asas perlekatan disebut juga dengan asas vertikal yang menjelaskan bahwa kepemilikan atas tanah meliputi juga kepemilikan atas bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berada diatasnya. Secara sederhana dapat diartikan bahwa pemilik tanah juga merupakan pemilik bangunan. Sedangkan asas pemisahan horizontal yaitu menjelaskan bahwa kepemilikan atas tanah tidak meliputi kepemilikan atas bangunan, tanaman serta benda-benda yang diatasnya, dalam artian pemilik tanah belum tentu sebagai pemilik bangunan. Pemilik bangunan adalah orang yang mendirikan bangunan, walaupun tanah dibawahnya bukan miliknya. Pasal 500, Pasal 571 dan Pasal 601 KUHPer menyatakan sebagai berikut :

Pasal 500

             Segala sesuatu yang termasuk dalam suatu barang karena hukum perlekatan, begitu pula segala hasilnya, baik hasil alam, maupun hasil usaha kerajinan, selama melekat pada dahan atau akarnya, atau terpaut pada tanah, adalah bagian dan barang itu.

Pasal 571

             Hak milik atas sebidang tanah meliputi hak milik atas segala sesuatu yang ada di atasnya dan di dalam tanah itu. Di atas sebidang tanah, pemilik boleh mengusahakan segala tanaman dan mendirikan bangunan yang dikehendakinya, hal ini tidak mengurangi pengecualian-pengecualian tersebut dalam Bab IV dan VI buku ini. Di bawah tanah itu ia boleh membangun dan menggali sesuka hatinya dan mengambil semua hasil yang diperoleh dari galian itu; hal ini tidak mengurangi perubahan-perubahan dalam perundang-undangan dan peraturan pemerintah tentang pertambangan, pengambilan bara, dan barang-barang semacam itu.

            Pasal 601

             Segala sesuatu yang dibangun di atas pekarangan adalah milik si pemilik tanah, asalkan bangunan itu melekat pada tanah; hal itu tidak mengurangi kemungkinan perubahan termaktub dalam Pasal 603 dan Pasal 604.

            Pasal 603

             Bila seseorang dengan bahan-bahan bangunan sendiri, mendirikan bangunan di atas tanah milik orang lain, maka pemilik tanah boleh memiliki bangunan itu atau menuntut agar bangunan itu diambilnya. Bila pemilik tanah menuntut supaya bangunan diambil, maka pembongkaran bangunan berlangsung dengan biaya pemilik bahan, malahan pemilik bahan ini boleh dihukum membayar segala biaya, kerugian dan bunga. Bila sebaliknya, pemilik tanah hendak memiliki bangunan tersebut, maka ia harus membayar harga bangunan beserta upaya kerja tanpa memperhitungkan kenaikan harga tanah.    

Pasal 604

             Bila bangunan itu didirikan oleh pemegang besit yang beritikad baik, maka pemilik tidak boleh menuntut pembongkaran bangunan itu, tetapi ia boleh memilih membayar harga bahan-bahan beserta upah kerja atau membayar sejumlah uang, seimbang dengan kenaikan harga tanah.

             Kemudian setelah diterbitkannya UUPA, maka Indonesia tidak lagi menganut dualisme prinsip pemisahan hak atas tanah. UUPA diterbitkan sebagai aturan nasional dan tunggal yang mengatur mengenai pertanahan di Indonesia. UUPA dibentuk berdasarkan atas hukum adat. Hal ini selaras dengan konsideran huruf a dalam UUPA yang menyatakan :

“Bahwa berhubung dengan apa yang tersebut dalam pertimbangan-pertimbangan di atas perlu adanya hukum agraria nasional, yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”

Selain itu, juga disebutkan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (4), Pasal 3 dan Penjelasan Pasal 5 UUPA yang menyatakan sebagai berikut :

Pasal 2 ayat (4)

             Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

Pasal 3

             Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

            Penjelasan Pasal 5

                        Penegasan bahwa hukum adat dijadikan dasar dari hukum agraria yang baru.

Berdasarkan atas ketentuan-ketentuan sebagaimana telah disebutkan, maka dapat dikatakan bahwa aturan hukum tanah di Indonesia menganut asas pemisahan secara horizontal, dimana pemilik tanah belum tentu juga sebagai pemilik bangunan. Namun, dalam prakteknya juga masih dimungkinkan menganut asas perlekatan sebagaimana yang terjadi dalam hak tanggungan.

Pada dasarnya Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (UU Hak Tanggungan) menyatakan bahwa hak atas tanah dapat dibebani hak tanggungan, yaitu :

    1. Hak Milik;
    2. Hak Guna Usaha;
    3. Hak Guna Bangunan.

Selain hak-hak atas tanah tersebut, hak pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani hak tanggungan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 4 ayat (2) UU Hak Tanggungan. Hal ini juga diperjelas dalam ketentuan Pasal 53 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah (selanjutnya disebut PP 40/1996) yang menyatakan bahwa hak pakai atas tanah negara dan atas tanah hak pengelolaan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Hak tanggungan dapat dibebankan pada bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut sebagaimana ketentuan dalam Pasal 4 ayat (4) UU Hak Tanggungan. Pembebanan hak tanggungan terhadap hak atas tanah termasuk bangunan dan segala hal yang berdiri diatasnya harus dinyatakan secara tegas di Akta Pembebanan Hak Tanggungan. Kecuali, berdasarkan Pasal 4 ayat (5) UU Hak Tanggungan apabila bangunan, tanaman atau benda-benda yang berada di atas tanah yang dibebani hak tanggungan tersebut bukan milik dari pemegang hak atas tanah maka tidak dapat dibebani hak tanggungan bersamaan dengan hak atas tanahnya kecuali apabila pemiliknya atau kuasanya yang sah ikut serta tanda tangan akta pembebanan hak tanggungan.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.