Prinsip Keseimbangan Dalam Perjanjian
Dalam perjanjian para pihak yang terlibat harus diperhatikan kedudukannya, perjanjian yang ada harus mencerminkan adil bagi setiap pihak yang ikut andil di dalamnya tak terkecuali, keseimbangan dalam perjanjian merupakan satu keharusan jika ingin terciptanya keadilan dalam kontrak. Secara implisit, dalam perjanjian pihak-pihak di asumsikan mempunyai kedudukan yang seimbang sehingga diharapkan akan muncul perjanjian yang adil dan seimbang pula bagi para pihak, tetapi dalam praktik masih banyak ditemukan model kontrak standar (kontrak baku) yang cenderung dianggap berat sebelah, tidak seimbang, dan tidak adil.[1] Dalam KUH Perdata perjanjian diatur dalam Buku III (Pasal 1233-1864) tentang Perikatan. Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan: “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Sebuah perjanjian memiliki unsur-unsur, yaitu pihak-pihak yang kompeten, pokok yang disetujui, pertimbangan hukum, perjanjian timbal balik, serta hak dan kewajiban timbal balik.
Menurut Siti Malikhatun Badriyah[2], tujuan dari perjanjian adalah untuk mencapai keseimbangan kepentingan antara para pihak. Sehingga keseimbangan menjadi hal yang sangat penting, bahkan menjadi titik sentral sejak awal, yaitu sejak dimulai dari tahap pra kontraktual (tahap penawaran), kemudian pada saat muncul kesepakatan yang menimbulkan perikatan antara para pihak (tahap kontraktual), sampai kepada tahap pelaksanaan perjanjian yang mengikat para pihak. Keseimbangan dikenal dalam sebuah perjanjian sebagai asas, dimana asas keseimbangan merupakan asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian.
Perjanjian memiliki sejumlah aspek yaitu perbuatan para pihak, isi perjanjian yang disepakati para pihak, dan pelaksanaan perjanjian. Tiga aspek yang saling berkaitan dari perjanjian tersebut dapat dimunculkan sebagai faktor penguji berkenaan dengan daya kerja asas keseimbangan[3]. Ketiga aspek tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Perbuatan para pihak,
Perbuatan para pihak dalam hal ini pelaku usaha dan yang melakukan perbuatan hukum,
- Isi perjanjian yang disepakati para pihak
Isi perjanjian merupakan objek dari perjanjian itu sendiri yang berupa prestasi yang harus dilaksanakan apa yang dikehendaki dalam perjanjian tersebut. Dan isi dari perjanjian tidak bertentangan dengan UndangUndang.
- Pelaksanaan perjanjian
Dalam pelaksanaan perjanjian hendaknya dilakukan berdasarkan itikad baik, dimana kedua pihak harus melaksanakan prestasi masing-masing
Pengadopsian asas keseimbangan terlihat dari ketentuan-ketentuan Pasal 1320 sampai dengan Pasal 1337 KUHPerdata Indonesia yang secara tidak langsung menghendaki adanya keseimbangan kehendak, keseimbangan kecakapan, dan keseimbangan informasi di antara para pihak. Selain itu, ditekankannya “kesepakatan kedua belah pihak”, “pelaksanaan dengan iktikad baik” serta terikatnya suatu Perjanjian dengan “kepatutan, kebiasaan dan undang-undang” di dalam ketentuan Pasal 1338 dan Pasal 1339 KUHPerdata Indonesia dan pengaturan “keadaan memaksa” di dalam ketentuan Pasal 1244, Pasal 1245, Pasal 1444 dan Pasal 1445 KUHPerdata Indonesia juga menunjukkan bahwa ketentuan KUHPerdata Indonesia sesungguhnya menekankan harus adanya suatu keseimbangan (keadilan) di antara para pihak di dalam Perjanjian.[4]
Asas keseimbangan dalam sebuah kontrak atau perjanjian harus diperhatikan agar salah satu pihak tidak dirugikan hanya karena adanya kebebasan berkontrak antar kedua belah pihak dalam membuat suatu perjanjian, atau asas keseimbangan merupakan suatu keadaan dimana para pihak yang terlibat dalam perjanjian harus memiliki kedudukan atau posisi yang seimbang, tidak ada yang mendominasi, dan juga para pihak memiliki posisi tawar yang seimbang, baik dari kedudukan para pihak, kepentingan maupun hak dan kewajiban para pihak. Faktor-faktor yang dapat mengganggu keseimbangan dalam perjanjian ialah:[5]
- cara terbentuk perjanjian yang melibatkan pihak-pihak yang kedudukannya tidak seimbang; dan/atau
- ketidaksetaraan prestasi-prestasi dalam perjanjian.
Fenomena adanya ketidakseimbangan dalam kontrak/perjanjian dapat dicermati dari beberapa model kontrak, terutama kontrakkontrak konsumen dalam bentuk standar/baku, dimana perjanjian standar/baku merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan dituangkan ke dalam bentuk atau format tertentu, yang mana didalamnya memuat klausul-klausul yang cenderung isinya berat sebelah. Dalam praktek pemberian kredit di lingkungan perbankan, misalnya terdapat klausul yang mewajibkan nasabah untuk tunduk terhadap segala petunjuk dan peraturan bank, baik yang sudah ada atau yang akan diatur dikemudian hari. Dalam kontrak jual beli, misalnya terdapat klausul barang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan.Klausul tersebut pada umumnya merupakan klausul ekstensi yang isisnya terkesan lebih memberatkan salah satu pihak.[6]
[1] Baginda A J N, Ery Agus Priyono dan Dewi Hendrawati, Diponegoro Law Journal, Vol 5 No. 4, 2016, h.2
[2] Siti Malikhatun Badriyah. (2016). Sistem Penemuan Hukum dalam Masyarakat Prosmatik. Jakarta: Sinar Grafika. h. 139
[3] Herlien Budiono, Op.Cit, h.334.
[4] Teguh Wicaksono Saputra, Penerapan Asas Keseimbangan Dan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Putusan Pengadilan¸Tesis, Perpustakaan Universitas Indonesia
[5] Kartini Mujadi, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 114
[6] R.M.Panggabean, Keabsahan Perjanjian dengan Klausul Baku, Jurnal Hukum Vol 4 No. 17 tahun 2010, hlm 57
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanMic Dimatikan Dalam Gedung DPR: Musyawarah Dan Tata Cara...
Resensi Buku: Hukum Perjanjian Oleh Prof. Dr. Agus Yudha...
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.