Presidential Threshold

Sejak kemerdekaan Indonesia, telah dilakukan beberapa kali amandeman terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).  Hasil amandemen UUD NRI 1945 yang terakhir, jelas mengamanatkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat. Perkembangan Pemilihan Umum (Pemilu) dalam konsep demokrasi Indonesia membawa threshold (ambang batas) pada setiap sistem bentuk Pemilu, mulai dari  ElectoralThreshold sebagai syarat partai politik dapat ikut serta dalam Pemilu, Parliementary Threshold sebagai bentuk ambang batas partai untuk menduduki kursi parlemen pusat, hingga Presidential Threshold sebagai ambang batas suara partai untuk mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilu.

Istilah Presidential Threshold merupakan istilah yang berasal dari bahasa Inggris, yang memiliki 2 (dua) kata yakni “presidential” dan “threshold”. Secara etimologi, kata “presidential” menurut Oxford Dictionary memiliki makna “relating to a president or presidency[1] atau dapat dipahami “yang berhubungan dengan presiden”. Sedangkan arti kata “threshold” memiliki arti “the still of a doorway”; “the entrance to a house or building”; “any place or point of entering or beginning[2]. Secara sederhana, dapat dipahami bahwa sebagai ambang batas, atau ambang dari sebuah permulaan.

Secara terminologi, presidential threshold merupakan ambang batas perolehan kursi dan suara minimal partai politik atau gabungan partai politik dalam pemilihan umum legislatif agar dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hal ini juga dapat dimaknai sebagai pengaturan tingkat ambang batas dukungan DPR, baik dalam bentuk jumlah perolehan suara (ballot) atau jumlah perolehan kursi (seat) yang harus diperoleh partai politik peserta Pemilihan Umum (Pemilu) agar dapat mencalonkan Presiden dari partai politik tersebut atau dengan gabungan partai politik. Sigit Pamungkas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Presidential Threshold adalah:

Pengaturan tingkat ambang batas dukungan dari DPR, baik dalam bentuk jumlah perolehan suara (ballot) atau jumlah perolehan kursi (seat) yang harus diperoleh partai politik peserta pemilu agar dapat mencalonkan Presiden dari partai politik tersebut atau dengan gabungan partai politik.”[3]

Pemilu di Indonesia, President Threshold pertama kali diterapkan saat menjelang Pemilu 2004, yakni Electrical Threshold yang ditetapkan pada tahun 1999. Ambang batas ini dimaknai sebagai syarat perolehan suara maupun kursi bagi partai politik untuk bisa ikut kembali di Pemilu mendatang. Hal ini tertuang dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemiliha Umum, yang menyebutkan bahwa:

Untuk dapat mengikuti Pemilihan Umum berikutnya, Partai Politik harus memiliki sebanyak 2% (dua per seratus) dari jumlah kursi DPR atau memiliki sekurang-kurangnya 3% (tiga per seratus) jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah propinsi dan di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia berdasarkan hasil Pemilihan Umum

Ketentuan ini dicantumkan kembali dalam Pasal 143 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Ketentuan ini yang kemudian dikenal dengan Electoral Threshold, yaitu batas minimal perolehan kursi partai agar dapat mengikuti Pemilu berikutnya. Mengenai ambang batas pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, pada saat itu diatur dalam Pasal 5 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemiliha Umum Presiden dan Wakil Presiden bahwa:

Pasangan Calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilu anggota DPR

Dengan demikian, ketentuan Pasal 5 ini mengatur tentang pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diajukan oleh partai atau gabungan partai yang memiliki sedikitnya 15 persen kursi DPR atau 20% suara Pemilu DPR. Ketentuan ini dinaikkan menjadi 20% kursi DPR atau 25% suara Pemilu DPR oleh Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yang menyatakan bahwa:

Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Aturan tentang Pemilu ini kemudian diatur kembali dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Selanjutnya disingkat dengan “UU Pemilu”). Inilah yang disebut Presidential Threshold, yaitu batas minimal perolehan kursi atau suara partai atau koalisi partai agar bisa mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. UU Pemilu yang berlaku saat ini, merupakan penyederhanaan dan penggabungan dari 3 (tiga) buah ketentuan sebelumnya, yakni Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Dalam UU terdapat 5 (lima) poin penting salah satunya adalah President Threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu yang menyatakan bahwa:

Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 222, dapat dipahami bahwa hanya partai yang memiliki perolehan suara minimal 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) suara sah secara nasional. Namun, jika tidak memiliki suara sampai dengan ambang batas tersebut, maka mau tidak mau partai-partai politik harus berkoalisi untuk memenuhi ambang batas agar dapat mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden. Sehingga terpenuhinya syarat minimal 20% (dua puluh persen) di DPR atau 25% (dua puluh lima persen) suara sah secara nasional.

Dalam naskah akademik UU Pemilu, dikatakan bahwa alasan diadakannya ambang batas, yang dalam hal ini President Threshold, bertujuan untuk memperkuat sistem pemerintahan Presidensial atau membentuk sistem pemerintahan Presidensial yang efektif.[4] Sebab dalam hal ini, Indonesia adalah negara yang menganut sistem pemerintahan Presidensiil. Menurut Jimly Asshiddiqie, pengaturan ambang batas merupakan mekanisme yang niscaya digunakan dalam sistem Presidensial dengan multi partai. Presiden membutuhkan dukungan mayoritas di Parlemen. Tanpa dukungan mutlak, Presiden sangat mungkin menjadi kurang decisive dalam upaya menggerakkan jalannya pemerintahan dan pembangunan. Dengan adanya ambang batas ini, dalam jangka panjang diharapkan dapat menjami penyederhanaan jumlah politik dimasa yang akan datang. Makin tinggi angka ambang batas, diasumsikan makin cepat pula upaya mencapai kesederhanaan jumlah partai politik.[5]

 

[1] Oxford Dictionary

[2] Oxford Dictionary

[3] Sigit Pamungkas. Perihal Pemilu. Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM. Yogyakarta, (2009).  Hlm 19

[4] Kementerian Dalam Negeri, 2016, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum.

[5] Jimly Asshiddiqie, Memperkuat Sistem Pemerintahan Presidentil, Universitas Negeri Jember, Jember, 2001, hlm. 61

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.