Preferensi Perkara Pidana atau Perdata, Mana yang Didulukan (Prejudiciel Geschil)?

Preferensi Perkara Pidana atau Perdata seringkali dipertanyakan, terutama pada saat menghadapi suatu perkara dimana kita dihadapkan pada pilihan apakah menyelesaikannya melalui proses pidana atau perdata. Nyatanya terdapat perkara yang dapat diselesaikan secara perdata maupun pidana, ada pula yang hanya bisa diselesaikan secara pidana atau perdata. Ketika suatu perkara terbuka untuk dilakukan upaya hukum pidana maupun perdata, maka bagaimanakah jika hasil putusannya ternyata berbeda, manakah yang harus didahulukan? Berikut akan kita bahas mengenai preferensi (prejudiciel geschil) perkara pidana dan perdata.

 

Penyelesaian perkara pidana didasarkan pada pasal-pasal yang mengatur mengenai perbuatan yang dilarang, yang apabila dilakukan maka memiliki konsekuensi pidana, contohnya pencurian yang diatur pada Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/Wetboek van Strafrecht (KUHP) yang dapat mengakibatkan pelakunya dihukum pidana penjara paling lama lima tahun. Aturan pidana tersebut berlaku terhadap masyarakat umum untuk menjaga keamanan dari tindakan pencurian.

 

Berbeda halnya dengan perbuatan ingkar janji atau wanprestasi yang merupakan ranah perdata. Dalam peraturan perundang-undangan tidak diatur akibat pidana dari perbuatan ingkar janji, karena sumber dari perbuatan itu adalah perjanjian yang merupakan suatu perikatan yang dibuat oleh para pihak itu sendiri. Memang terdapat beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan tentang perjanjian yang harus dipenuhi (dwingend recht), namun ketentuan tentang konsekuensi atas terjadinya ingkar janji atau wanprestasi ditentukan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian tersebut (Aanvullen Recht). Di samping itu, sifat yang demikian tersebut yang merupakan hukum privat, menjadikan negara tidak dapat mengatur terlalu dalam tentang perjanjian. Hal tersebut berbeda dengan undang-undang yang dibuat oleh negara dan memberi suatu kewajiban kepada warga negaranya untuk patuh (kaedah hukum imperatif), maka ketika kewajiban tersebut tidak dilakukan, negara dapat memberikan hukuman.

 

Dalam ranah perdata, dikenal dua sumber perikatan yaitu peraturan perundang-undangan dan perjanjian (Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/KUHPer). Dalam hal seseorang melanggar suatu aturan dan menimbulkan kerugian bagi pihak lain, maka pihak yang dirugikan tersebut dapat mengajukan gugatan perdata perbuatan melanggar hukum dengan dasar Pasal 1365 KUHPer yang menyatakan:

“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.”

 

 

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, apabila suatu pihak melanggar/melawan peraturan perundang-undangan, maka bisa jadi negara memberikan hukuman kepada pelaku, dengan catatan peraturan perundang-undangan mengatur sanksinya. Namun demikian, tidak jarang sanksi tersebut tidak memberikan hanya fokus pada pelaku dan tidak memiliki timbal balik apapun terhadap kerugian yang dialami oleh korban. Hal tersebutlah yang kemudian membuat perkara diselesaikan dengan pidana dan perdata. Artinya di satu sisi negara dapat menghukum pelaku, di sisi lain korban/pihak yang dirugikan atas perbuatan pelaku dapat menuntut hak ganti rugi kepada pelaku, sehingga terdapat dua macam skema penyelesaian perkara yaitu pidana dan perdata.

 

Apabila terdapat peluang penyelesaian melalui pidana maupun perdata, maka berdasarkan Pasal 131 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 Tentang Susunan, Kekuasaan, dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia ditentukan:

“Jika dalam jalan-pengadilan ada soal yang tidak diatur dalam Undang-Undang, maka Mahkamah Agung dapat menentukan sendiri secara bagaimana soal itu harus diselesaikan.”

Lebih lanjut, Mahkamah Agung (MA) mengatur pada Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1956 (Perma 1/1956). Disebutkan dalam Pasal 1 Perma 1/1956 bahwa:

“Apabila pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu.”

Adapun Pasal 3 Perma 1/1956 menyatakan:

“Pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana tidak terikat oleh suatu putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya suatu hak perdata tadi”.

 

Di samping Perma 1/1956, MA juga pernah mengeluarkan ketentuan mengenai prejudiciel geschil terkait perkara pidana dan perdata dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 1980 yang menentukan:

  1. “Prejudiciel geschill” ini ada yang merupakan suatu “question prejudicielle a l’action” dan ada yang merupakan suatu “question prejudicielle au jugement”
  2. “Question prejudicielle a l’action” adalah mengenai perbuatan-perbuatan pidana tertentu yang disebut dalam KUHP (antara lain Pasal 284 KUHP);
  3. Dalam hal ini diputuskan ketentuan perdata dulu sebelum dipertimbangkan penuntutan pidana.
  4. “Question prejudicielle au jugement:” menyangkut permasalahan yang diatur dalam Pasal 81 KUHP; pasal tersebut sekedar memberi kewenangan, bukan kewajiban, kepada Hakim Pidana untuk menangguhkan pemeriksaan, menunggu putusan Hakim Perdata mengenai persengketaannya.
  5. Diminta perhatian, bahwa andaikan Hakim hendak mempergunakan lembaga hukum ini, Hakim Pidana tidak terikat pada putusan Hakim Perdata yang bersangkutan seperti dinyatakan dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1956.

 

Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, maka terlihat bahwa prejudiciel geschil perkara pidana dan perdata lebih condong pada perkara perdata terlebih dahulu, namun perlu diingat bahwa dimungkinkan apabila diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka perkara pidana harus lebih didahulukan dibandingkan perkara perdata. Contohnya pada Pasal 25 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan, “penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak Pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya.”

 

Penulis: Mirna R., S.H., M.H., C.C.D.

Editor: R. Putri J., S.H., M.H., C.T.L., C.L.A.

 

Sumber:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht);
  2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
  3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
  4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
  5. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1956; dan
  6. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1980.

 

 

 

 

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.