Pidana Gratifikasi, Penyuap dan Tersuap
Awalnya gratifikasi merupakan pemberian yang biasa diberikan dan diterima masyarakat, namun kemudian berkembang menjadi suatu tindakan memberi dan diberi yang bertentangan dengan kepentingan umum. Sehingga makna awal gratifikasi yang bersifat sosial bergeser menjadi kegiatan terlarang dan menjadi suatu bentuk tindak pidana. Sehingga gratifikasi dianggap bertentangan dengan rasa keadilan.[1] Diketahui awal mula terjadinya gratifikasi, berasal dari tindakan tidak melanggar norma, yakni hanya sebatas kegiatan memberi dan diberi, namun kemudian gratifikasi dinilai bertentangan dengan nilai keadilan karena berkembang menjadi tindakan yang berlatar belakang kepentingan.
Memaknai gratifikasi, kata yang berasal dari gratificatie dalam bahasa Belanda, yang memiliki arti sebagai “hadiah”. Kata gratifikasi ini muncul dikarenakan sulitnya pembuktian mengenai suap. Makna gratifikasi, jika dilihat dari segi bahasa menegaskan bahwa arti dari gratifikasi itu sendiri yakni sebagai bentuk “hadiah”. Perbuatan gratifikasi sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor beserta perubahannya), pada penjelasan Pasal 12 B Ayat (1) menyebutkan bahwa:
“Yang dimaksud dengan “gratifikasi” dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.”
Berkaca dari tinjauan penjelasan Pasal 12 B Ayat (1) UU Tipikor, gratifikasi dimaknai secara luas dan cenderung tidak terbatas. Sejalan dengan makna gratifikasi menurut UU Tipikor, Adapun pengaturan mengenai gratifkasi diatur secara khusus dalam Pasal 12 B Ayat (1) UU Tipikor, yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
- yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
- yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Diketahui bahwa dalam Pasal 12 B Ayat (1) UU Tipikor, menegaskan bahwa gratifikasi mengandung unsur pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas dari pegawai negeri dan penyelenggara negara. Sedangkan ayat selanjutnya menegaskan tentang ancaman denda dan pidana penjara terhadapnya. Sehingga dapat diketahui, terjadinya gratifkasi ada Pemberi “hadiah” (Penyuap) itu sendiri yang kemudian diterima oleh si Penerima “hadiah” (Tersuap) dengan maksud adanya kepentingan atas penyelenggaraan negara yang memaksa penyelenggara negara untuk berlawanan dengan tugas dan kewajibannya.
Dalam rumusan Pasal 12 B Ayat (1) UU Tipikor, tidak menjelaskan secara rinci mengenai siapa saja yang dapat memberikan atau menyuap pegawai negeri, sehingga dapat dimaknai bahwa
- Penyuap adalah orang atau badan yang memberikan hadiah kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara. Namun, dapat dikategorikan sebagai penyuapan apabila seseorang memberikan janji terhadap pihak yang memiliki maksud tertentu dalam hal ini Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara untuk berbuat sesuatu yang memiliki hubungan dengan jabatannya dan memberi sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
- Tersuap atau Penerima Suap adalah Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima janji atau hadiah yang sebenarnya perbuatan tersebut melanggar atau bertentangan dengan kewajibannya yang diberikan dikarenakan kewenangan atau kekuasaan yang memiliki hubungan dengan kekuasaan atau jabatannya.
Berkaitan dengan gratifikasi, pada tahun 2020 lalu, Bupati Kudus Muhammad Tamzil ditetapkan sebagai terpidana kasus gratifikasi oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 4563 K/Pid.Sus/2020. Ia terbukti telah melanggar Pasal 12 B UU Tipikor Jo. Pasal 65 Ayat (1) KUHPidana. Majelis hakim menyebutkan bahwa M. Tamzil, menikmati uang suap Rp 350 juta rupiah. Ia divonis 8 tahun penjara dan denda Rp 250 juta dan juga dihukum membayar Rp 2,125 miliar dan pencabutan hak politik.[2]
Dalam UU Tipikor, memang tidak mengatur terkait dengan Pemberi suap atau aturan terhadap Penyuap itu sendiri untuk dikenakan hukuman pidana. Namun, merujuk pada ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 Tentang Tindak Pidana Suap (UU TPS), pada Pasal 2 UU TPS menyebutkan bahwa:
Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena memberi suap dengan pidana penjara selamalamanya 5 (lima) tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah).
Sehingga dalam hal ini, apabila ada seseorang yang melakukan pemberian atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud membujuk agar kepentingannya dapat tercapai, serta apabila dikaitkan dalam halnya dengan penyelenggaraan negara dan kepentingan umum, maka ketentuan ini dapat dikenakan kepada si Penyuap itu.
Pada beberapa kasus, penyuap dikenakan proses pidana. Hal tersebut terjadi pada perkara suap dana bantuan sosial yang ramai pada tahun 2020 lalu. Hal yang sama juga terjadi pada perkara suap Bupati Probolinggo yang cukup menghebohkan pada tahun 2021.[3] Namun demikian, terdapat beberapa perkara dimana Tersuap atau pejabat yang menerima suap tersebut dinyatakan bersalah namun penyuap dinyatakan tidak bersalah, bahkan pada beberapa kasus penyuap yang telah mengakui dan terbukti melakukan suap ternyata tidak diproses. Tidak diprosesnya penyuap dalam beberapa perkara tersebut tidak memiliki kejelasan alasan maupun sebabnya. Oleh karena itu, menjadi pertanyaan batas-batas atau hal-hal yang menjadi sebab penyuap dalam suatu tindak pidana tidak diproses, bahkan dibebaskan, yang tentunya hal ini menjadi PR bagi para penegak hukum untuk kepastian hukum di Indonesia.
[1] Topo Santoso, Menguak Relevansi Ketentuan Gratifikasi di Indonesia, Jurnal dinamika Hukum Vol. 13 No. 3 September 2013
[2] Angling Adhitya Purbaya, Bupati Kudus Tamzil Masuk Bui Lagi: Dulu Korupsi, Kini Terima Suap, https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4967776/bupati-kudus-tamzil-masuk-bui-lagi-dulu-korupsi-kini-terima-suap
[3] Raka Dwi Novianto, Berkas Perkara Lengkap, Penyuap Bupati Probolinggo Bakal Segera Disidang, https://nasional.sindonews.com/read/584070/13/berkas-perkara-lengkap-penyuap-bupati-probolinggo-bakal-segera-disidang-1635545407/10
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanAksi Cepat Tanggap (ACT), Dugaan Penyelewengan
Ganti rugi atas Pasal 77 dan Pasal 195 KUHAP
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.