Perubahan Nomor Pokok Wajib Pajak Menjadi Nomor Induk Kependudukan

Perubahan Nomor Pokok Wajib Pajak menjadi Nomor Induk Kependudukan menjadi sempat membuat bingung masyarakat sebagai wajib pajak. Adapun pemerintah Indonesia dalam pembangunannya mengandalkan pajak sebagai salah satu sumber dana terbesar, terbukti dengan banyaknya macam pajak yang dipungut oleh pemerintah.

Sistem pemungutan pajak di Indonesia saat ini menggunakan sistem self assessment sejak pembaharuan pajak pada tahun 1983. Dalam sistem self assessment, Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk melaksanakan hak dan kewajibannya di bidang perpajakan berdasarkan ketentuan perpajakan. Salah satu kewajiban wajib pajak adalah kewajiban mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Secara definisi, pengertian NPWP dapat ditemukan dalam pengaturan terkait ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Pengaturan tersebut telah beberapa kali mengalami perubahan. Perubahan terakhir diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Seiring perkembangan informasi dan teknologi serta tumpang tindihnya pegaturan terkait perpajakan, maka dibuatlah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang didalamnya mengatur terkait dengan perubahan UU KUP. Merujuk ketentuan Pasal 1 Angka 6 UU HPP menyatakan bahwa:

Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Wajib Pajak dalam UU HPP tidak hanya berlaku bagi orang pribadi melainkan juga badan yang termasuk pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan. Wajib pajak berkewajiban untuk memiliki NPWP apabila telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. NPWP merupakan suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak. Oleh karena itu, kepada setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu NPWP. Selain itu, NPWP juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan.

Beberapa waktu lalu pada akhir tahun 2022, beredar informasi yang disampaikan oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia bahwa Nomor Induk Kependudukan (NIK) akan terintegrasi dengan NPWP. Informasi tersebut benar adanya dan telah diatur dalam Pasal 2 Ayat (1a) UU HPP yang menyatakan bahwa:

Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan penduduk Indonesia menggunakan nomor induk kependudukan.

Terintegrasinya NIK menjadi NPWP dimaksudkan untuk memberikan kesetaraan serta mewujudkan administrasi perpajakan yang efektif dan efisien bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang merupakan penduduk Indonesia. Secara teknis hal ini diatur lebih rinci dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2022 Tentang Nomor Pokok Wajib Pajak Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah (PMK 112/PMK.03/2022). Terdapat perbedaan definisi mengenai NPWP dalam Pasal 1 Angka 1 PMK 112/PMK.03/2022 yang berbunyi:

Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Pemberlakuan NIK menjadi NPWP terhitung sejak tanggal 14 Juli 2022 dan akan berlaku secara penuh pada tanggal 01 Januari 2024. Untuk mengaktifkan NPWP yang terintegrasi dengan NIK, Direktur Jenderal Pajak memberikan NPWP dengan mengaktivasi NIK berdasarkan permohonan pendaftaran Wajib Pajak atau secara jabatan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 Ayat (4) PMK 112/PMK.03/2022. Bagi NPWP Wajib Pajak Orang Pribadi yang dengan format 15 (lima belas) digit sebelum Peraturan Menteri ini mulai berlaku, proses perubahan data tersebut dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. Data identitas Wajib Pajak dilakukan pemadanan dengan data kependudukan yang ada di Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
  2. Apabila data valid, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan permintaan klarifikasi atas data hasil pemadanan kepada Wajib Pajak.
  3. Penyampaian permintaan klarifikasi oleh Direktur Jenderal Pajak dilakukan melalui:
  4. laman Direktorat Jenderal Pajak;
  5. alamat pos elektronik Wajib Pajak;
  6. contact center Direktorat Jenderal Pajak; dan/ atau
  7. saluran lainnya yang ditentukan Direktur Jenderal Pajak.
  8. Apabila data belum valid, hanya dapat menggunakan NPWP dengan format 15 (lima belas) digit sampai dengan tanggal 31 Desember 2023 dalam layanan administrasi perpajakan dan administrasi pihak lain yang menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak.[1]

Pengintegrasian NIK menjadi NPWP berlaku bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang penghasilan kena pajak per tahun melebihi Rp 54.000.000 (lima puluh empat juta rupiah) bagi orang pribadi dan Rp 4.500.000 (empat juta lima ratus ribu rupiah) bagi Wajib Pajak yang sudah kawin. Hal ini sebagaimana dimaksud Pasal 7 Ayat (1) UU HPP yang menyatakan bahwa:

Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan paling sedikit:

a. 54.000.00,00 (lima puluh empat juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;

b. 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;

c. 54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan

d. 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.

 Dengan demikian, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam UU HPP dan PMK 112/PMK.03/2022, tidak semua NIK dapat dijadikan nomor Wajib Pajak Orang Pribadi. Hal tersebut disebabkan adanya batasan penghasilan tidak kena pajak, sehingga apabila penghasilan per tahunnya berada di bawah nilai yang sudah ditentukan dalam Pasal 7 Ayat (1) UU HPP, maka tidak dapat dikategorikan sebagai Wajib Pajak.

 

Penulis: Rizky Pratama J., S.H.

Editor: Mirna R., S.H., M.H., & R. Putri J., S.H., M.H.

 

[1] Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2022 Tentang Nomor Pokok Wajib Pajak Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi,

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.