Perubahan Gugatan
Gugatan adalah suatu tuntutan hak yang diajukan oleh penggugat kepada tergugat melalui pengadilan. Gugatan dalam hukum acara perdata umumnya terdapat 2 (dua) pihak atau lebih, yaitu antara pihak penggugat dan tergugat yang mempunyai sengketa akibat pelanggaran hak dan kewajiban antara pihak. Sengketa yang dihadapi oleh para pihak tersebut, dapat diselesaikan oleh para pihak melalui persidangan pengadilan untuk mendapatkan keadilan. Suatu gugatan yang diajukan oleh penggugat agar dapat diterima oleh pengadilan haruslah mempunyai alasan-alasan yang kuat, yang mana salah satu alasan yang harus dipenuhi adalah adanya pelanggaran hak dan telah merugikan penggugat. Apabila dalam gugatan yang diajukan oleh penggugat ke pengadilan tidak mempunyai alasan-alasan yang kuat tentang terjadinya peristiwa, maka gugatannya dalam persidangan akan berakibat dinyatakan tidak dikabulkan oleh hakim yang memeriksa perkaranya.[1] Namun dalam prakteknya, terkadang para kuasa hukum membutuhkan suatu perubahan ataupun penambahan untuk gugatan yang telah mereka ajukan dikarenakan adanya kekeliruan penulisan yang bersifat sumir dan tidak terkait dengan pokok perkara.
Perubahan gugatan adalah salah satu hak yang diberikan kepada penggugat dalam hal mengubah atau mengurangi isi dari surat gugatan yang dibuat olehnya. Dalam hal ini, baik hakim maupun tergugat tidak dapat menghalangi dan melarang penggugat untuk mengubah gugatannya tersebut. Perubahan gugatan harus tetap mengedepankan nilai-nilai hukum yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Perubahan gugatan diatur dalam pasal 127 Rv. Yang berbunyi: ”Penggugat berhak untuk mengubah atau mengurangi tuntutannya sampai saat perkara diputus, tanpa boleh mengubah pokok gugatannya”, selain itu memperbaiki atau merubah surat gugatan tidak dapat dilakukan sesuka penggugat, ketentuan yang dapat dipedomani juga dapat bersumber dari yurisprudensi Mahkamah Agung.
Dari bunyi pasal tersebut diatas, menjelaskan bahwa perubahan gugatan diperbolehkan apabila dikehendaki oleh pihak penggugat hanya pada pengurangan tuntutannya selama perkara belum diputuskan oleh hakim atau sampai saat perkara diputus. Perubahan gugatan pembatasannya secara tegas menurut pasal 127 Rv. hanya terbatas pada pengurangan tuntutan dan tidak diperbolehkan mengubah atau mengadakan penambahan gugatan pokoknya yang telah dimasukkan dalam petitum.
Peraturan mengenai syarat mengajukan perubahan gugatan tidak terdapat dalam Pasal 127 Rv. Namun, dalam buku pedoman yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung (“MA”), terdapat syarat formil untuk mengajukan perubahan gugatan, dimana hal tersebut sangat penting diterapkan dalam praktik peradilan. Dalam buku pedoman MA, dijelaskan mengenai syarat formil dalam mengajukan perubahan gugatan, yaitu:[2]
- Pengajuan perubahan pada sidang yang pertama dihadiri tergugat
Syarat formil ini, ditegaskan oleh MA dalam buku pedoman, yang menyatakan:
- Diajukan pada hari sidang pertama, dan
- Dihadiri oleh para pihak
Dari ketentuan tersebut, penggugat juga tidak dibenarkan mengajukan perubahan gugatan:
- Di luar hari sidang, dan
- Pada sidang yang tidak dihadiri tergugat.
Tujuan dari syarat-syarat formil ini adalah untuk melindungi kepentingan tergugat dalam membela diri. Jika perubahan dibenarkan di luar sidang dan di luar hadirnya tergugat, maka akan dianggap sangat merugikan kepentingan tergugat.
- Memberi hak kepada tergugat untuk menanggapi
Syarat formil ini pun digariskan oleh MA, yang menyatakan:
- Menanyakan kepada tergugat tentang perubahan gugatan yang bersangkutan,
- Memberi hak dan kesempatan kepada tergugat untuk menanggapi dan membela kepentingannya.
- Tidak menghambat acara pemeriksaan
Dalam hal ini, perubahan gugatan tidak boleh menghambat jalannya pemeriksaan di pengadilan. Apabila perubahan gugatan tersebut menghambat jalannya pemeriksaan, maka akan menjadi masalah baru lagi di antara kedua belah pihak yang berperkara, seperti bertambahnya jangka waktu proses pemeriksaan sehingga memakan waktu yang lama dalam proses penyelesaian perkaranya.
Terdapat beberapa pengaturan mengenai batas waktu pengajuan perubahan gugatan, yaitu:
- Sampai saat perkara diputus
Tenggang batas waktu ini ditegaskan dalam rumusan Pasal 127 Rv. Pasal 127 Rv mengatur bahwa penggugat berhak mengubah atau mengurangi tuntutan sampai saat perkara diputus. Jangka waktu ini dianggap terlalu memberikan hak kepada penggugat untuk melakukan perubahan gugatan dan dianggap sebagai kesewenang-wenangan terhadap tergugat.
- Batas waktu pengajuan pada hari sidang pertama
Buku pedoman yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung (“MA”) menegaskan bahwa batas jangka waktu pengajuan perubahan gugatan hanya dapat dilakukan pada hari sidang pertama. Selain itu, para pihak juga disyaratkan untuk hadir pada saat pengajuan perubahan gugatan. Jangka waktu dalam buku pedoman MA ini dianggap terlalu restriktif karena hanya memberikan waktu pada hari sidang pertama.
- Sampai pada tahap replik-duplik
Batas jangka waktu pengajuan perubahan gugatan yang dianggap layak dan memadai menegakkan keseimbangan kepentingan para pihak adalah sampai tahap replik-duplik berlangsung. Dalam praktiknya, peradilan cenderung menerapkan batasan jangka waktu perubahan gugatan ini, contohnya dalam Putusan MA No. 546 K/Sep/1970.
Yang perlu digaris bawahi adalah batasan yang diperbolehkan dilakukan perubahan atau perbaikan. Penggugat tidak boleh merubah atau menambah pokok gugatan, hal ini menjadi penting. Demikian pula tidak boleh sebagian besar dari isi surat gugatan dirubah atau diperbaiki, jika demikian lebih baik dilakukan pencabutan gugatan dan setelah disusun surat gugatan dengan baik dan benar maka didaftarkan kembali. Larangan mengubah atau menambah pokok gugatan itu juga sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung RI menyatakan: “Perubahan surat gugatan perdata yang isinya tidak melampaui batas-batas materi pokok gugatan dan tidak akan merugikan tergugat dalam pembelaan atas gugatan penggugat tersebut, maka hakim boleh mengabulkan perubahan tersebut.”[3]
[1] Sarwono,2011,Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta Timur, Hal. 31
[2] Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan, Buku II, MA RI: Jakarta, April 1994, hlm. 110.
[3] Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 454K/Sip/1970, tanggal 11 Maret 1971
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanMenemukan Suatu Benda dan Memilikinya, Dapatkah Disebut Mencuri?
Menghadang Truk Untuk Konten Berakhir Meregang Nyawa (Pertanggungjawaban...
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.