Pernikahan Siri dan Akibat Hukumnya

Pernikahan siri dan akibat hukumnya terkadang tidak diketahui oleh Masyarakat, sehingga tidak sedikit Masyarakat yang melakukan pernikahan siri, baik karena tidak ingin repot dengan persyaratan pendaftaran ataupun alasan illegal lainnya. Pernikahan sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan)

 

UU Perkawinan merupakan salah satu wujud aturan tata tertib perkawinan yang dimiliki oleh Negara Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, di samping aturan-aturan tata tertib perkawinan yang lain seperti hukum adat dan hukum agama. Agar terjaminnya ketertiban dan diakui sahnya perkawinan itu, maka Pasal 2 UU Perkawinan dan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (PP 9/1975) menentukan bahwa setiap perkawinan harus dicatat oleh petugas yang berwenang.

 

Perkawinan yang tidak dicatatkan atau yang dikenal dengan berbagai istilah lain seperti “kawin bawah tangan”, “kawin siri” atau “nikah siri”. Istilah siri sendiri berasal dari bahasa Arab sirra, israr yang berarti rahasia. Kawin siri, menurut arti katanya ialah perkawinan yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi atau rahasia.[1]

 

Perbedaan yang paling nampak antara pernikahan siri dengan pernikahan pada umumnya yaitu pernikahan siri tidak tercatat dalam buku administrasi perkawinan. Namun yang terpenting dalam hukum Islam, perkawinan tersebut telah memenuhi ketentuan yang ditetapkan sehingga perkawinan itu sah. Adapun ketentuan tersebut sebagai berikut:

  1. Harus adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan yang telah akil dan baliq
  2. Adanya persetujuan yang bebas antara dua calon pengantin tersebut
  3. Harus adanya wali nikah bagi calon pengantin perempuan
  4. Harus ada dua orang saksi laki-laki muslim yang adil
  5. Harus ada maharnya (mas kawin) yang diberikan oleh pengantin laki-laki kepada isterinya
  6. Harus ada ijab dan kabul antara calon pengantin tersebut
  7. Menurut tradisi, semenjak dulu selesai mengucapkan akad nikah bentuk formal ijab dan kabul, diadakan walimah atau pesta perkawinan, menurut kemampuan para mempelai.[2]

 

Menurut hukum Islam, pernikahan siri adalah sah, asalkan telah terpenuhi syarat dan rukun perkawinan yang di atas. Namun demikian, dari aspek UU perkawinan, pernikahan siri tidak memenuhi syarat dikarenakan belum dicatatkan. Meskipun pencatatan perkawinan hanya merupakan perbuatan administratif yang tidak berpengaruh pada sah tidaknya perkawinan, tetapi pernikahan yang tidak dicatatkan tersebut menimbulkan akibat hukum, di antaranya sebagai berikut:

  1. Kedudukan Istri

Apabila terdapat permasalahan rumah tangga, termasuk bila di kemudian hari terjadi perceraian, maka permasalahan tersebut hanya bisa diselesaikan di luar jalur hukum negara, yaitu dilakukan secara musyawarah menurut hukum Islam dan diselesaikan melalui hukum adat. Akibat lainnya adalah Istri tidak bisa menggugat suami, apabila ditinggalkan oleh suami, Istri tidak memperoleh tunjangan apabila suami meninggal.

 

Apabila suami sebagai pegawai negeri, maka istri tidak memperoleh tunjangan perkawinan dan tunjangan pensiun suami,[3] dikarenakan secara hukum, perempuan yang melakukan pernikahan siri tidak dianggap sebagai isteri yang sah. Dengan kata lain perkawinan itu dianggap tidak sah, sehingga isteri siri tidak berhak atas nafkah dan harta warisan suami jika suami meninggal dunia.[4]

 

Di samping itu, secara sosial isteri siri akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan bawah tangan sering dianggap masyarakaat tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan (alias kumpul kebo). Para pihak baik suami maupun isteri tidak dapat memperoleh hak dalam hal perlindungan hukum atas perkawinan yang mereka jalani.

 

  1. Kedudukan Anak

Kejelasan status perkawinan suami isteri dapat dibuktikan melalui bukti otentik tentang perkawinan mereka. Bukti otentik tersebut seperti buku nikah, yang mana merupakan landasan bagi kejelasan status hukum seorang anak. Bukti otentik tersebut menjadi penting untuk kepengurusan lainnya, seperti untuk kepengurusan akta kelahiran si anak yang salah satu syarat pencatatannya adalah surat nikah.

 

Apabila suami istri memiliki anak, maka tentu harus ada pencatatan terhadap anak tersebut, yang nantinya akan mengeluarkan Kutipan Akta Kelahiran. Adapun ketika suami isteri tidak pernah mencatatkan perkawinannya, maka pencatatan identitas anak akan dicatat dengan mengakui hubungan hukum dengan ibunya saja. Hal tersebut didasarkan pada Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan, yang menyebutkan bahwa anak yang lahir dari pernikahan siri disamakan statusnya dengan anak luar kawin.

 

Selain itu, Apabila kelak sang ayah meninggal dunia, sang anak juga tidak berhak menerima warisan apapun dari sang ayah, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan juncto Pasal 100 KHI.[5] Menurut Pasal 863 KUH Perdata, jika anak hasil pernikahan siri itu diakui oleh ayahnya (setelah melalui serangkaian proses pengakuan secara hukum), maka ia hanya berhak mewarisi 1/3 bagian.

 

  1. Kedudukan Harta Kekayaan

Pada dasarnya setiap perkawinan, masing-masing pihak dari suami atau isteri mempunyai harta yang dibawa dan diperoleh sebelum melakukan akad perkawinan. Selanjutnya, suami atau isteri yang telah melakukan perkawinan mempunyai harta yang diperoleh selama perkawinan yang disebut harta bersama.

 

Dalam pernikahan siri tidak ada pencampuran harta perkawinan. Sehingga begitu sulit untuk memecahkan persoalan mengenai harta bersama dalam pernikahan siri. penyelesain masalah harta kekayaan dalam pernikahan siri sulit untuk diselesaikan karena memang tidak ada pihak yang berwenang dalam mengurus pembagian harta kekayaan dalam pernikahan siri.

 

Selain itu, upaya yang biasanya dilakukan untuk pembagian harta kekayaan ditempuh oleh perempuan/isteri dengan pendekatan persuasif dengan melibatkan keluarga pihak suami. Karena memang untuk penyelesaian harta bersama lembaga peradilan tidak mempunyai kewenangan untuk menyelesaikannya. Namun, pada umumnya salah satu upaya yang biasa ditempuh yaitu dengan cara kekeluargaan.[6]

 

 

Dari penjelasan di atas, menunjukkan bahwa pernikahan siri dapat menimbulkan beberapa akibat hukum khususnya bagi istri dan anak. Hal tersebut tentunya akan memberikan kerugian, terlebih bagi anak dalam menjalani aktivitasnya di masa depan. Ada salah satu kasus yang pernah terjadi akibat pernikahan siri terhadap anak, yaitu kasus status anak dari Machica Mochtar yang tidak diakui oleh Ayahnya karena merupakan hasil dari pernikahan siri. Kemudian akibat dari kasus tersebut, melahirkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang berimplikasi pada kedudukan anak hasil pernikahan siri, yaitu mempunyai hubungan hukum baik dengan terhadap ibu dan bapak biologisnya, termasuk keluarga dari kedua ibu dan bapak biologisnya.

 

Meskipun pernikahan siri dinyatakan sah karena telah memenuhi ketentuan dan syarat yang diatur dalam hukum Islam. Akan tetapi, pernikahan siri tersebut tidak diakui oleh negara karena tidak tercatat sebagaimana yang diatur dalam UU Perkawinan dan PP 9/1975. Adapun pernikahan siri dan akibat hukumnya harus diketahui oleh masyarakat, sebab pada dasarnya pernikahan siri memiliki akibat hukum yang sangat merugikan baik terhadap pasangan suami istri, maupun anak hasil pernikahan siri tersebut.

 

Penulis: Rizky Pratama J., S.H.

Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA., & Mirna R., S.H., M.H., CCD.

 

[1] Vivi Kurniawati, Nikah Siri, Rumah Fiqih Publishing, Jakarta, 2019, halaman 10.

[2] Efii Setiawati, Nikah sirri tersesat di jalan yang benar?, Kepustakaan Eja Insane, Bandung, 2005, halaman 37

[3] H. M. Anshary, Hukum perkawinan di Indonesia: masalah-masalah krusial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, halaman 36

[4] Ibid.

[5] Zuffran Sabrie, Analisa Hukum Islam Tentang Anak Luar Nikah, Departemen Agama RI, Jakarta, 1998, halaman 65.

[6] R. M. Idris, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, halaman 112

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.