Pernikahan Dibawah Umur

Sebuah wedding organizer bernama “Aisha Wedding Organizer” yang mempromosikan jasa pernikahan anak dibawah umur melalui website. Hal tersebut kemudian viral di media sosial setelah di posting oleh akun twitter @SwetaKartika.[1] Layanan pernikahan yang ditawarkan Aisha Wedding Organizer tersebut sontak menjadi pembicaraan karena selain bertentangan dengan upaya pemerintah menekan pernikahan anak, serta dianggap melanggar undang-undang tentang perkawinan anak.[2] Munculnya kasus ini dianggap telah meresahkan masyarakat.[3] Adapun situs yang dimaksud saat ini sudah tidak dapat diakses dan terdapat tulisan bahwa situs sedang dalam perbaikan.[4] Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menilai bahwa Aisha Wedding Organizer telah melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kemudian mengalami perubahan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengalami perubahan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan).
Pasal 1 ayat 1 UU Perlindungan Anak menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Hal ini juga dinyatakan secara International dalam Pasal 1 Convention on The Right of The Child 1989 yang menyatakan sebagai berikut :
“For the purposes of the present Convention, a child means every human being below the age of eighteen years unless under the law applicable to the child, majority is attained earlier.”
Mengacu pada ketentuan dalam pasal tersebut, maka seseorang yang masih berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun disebut sebagai anak yang patut mendapatkan perlindungan sebagaimana ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 1 ayat (2) UU Perlindungan Anak menyatakan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan terhadap anak ini juga terkait dengan batasan usia bagi seseorang untuk dapat melakukan perkawinan. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun. Hal tersebut berlaku sejak disahkannya perubahan terhadap UU Perkawinan yang sebelumnya mengatur batas usia menikah wanita yaitu 16 (enam belas) tahun dan batas usia menikah pria 19 (sembilan belas) tahun.
Ketetapan mengenai batas usia yang ditetapkan dalam UU Perkawinan di Indonesia selisih satu tahun dari ketentuan yang ditetapkan oleh negara-negara lain di dunia pada umumnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pew Research Center, sebanyak 153 negara didunia sudah menetapkan usia 18 (delapan belas) tahun adalah usia minimal untuk menikah.[5] Namun, dengan adanya batasan usia minimal untuk sebuah perkawinan di Indonesia tidak lantas melarang sepenuhnya seseorang yang berusia dibawah 19 (sembilan belas) tahun untuk melakukan perkawinan. Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan memberikan pengecualian terhadap perkawinan dengan alasan yang sangat mendesak. Perkawinan yang demikian, wajib meminta dispensasi kepada Pengadilan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) UU Perkawinan yang menyatakan sebagai berikut :
(2) Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup;
(3) Pemberian dispensasi oleh Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan.
Penyimpangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan yaitu hanya dapat dilakukan melalui pengajuan permohonan dispensasi oleh orang tua dari salah satu atau kedua belah pihak dari calon mempelai kepada Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang beragama non Islam, apabila pihak pria dan wanita berumur dibawah 19 (sembilan belas) tahun sebagaimana penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan. Selain itu, penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan juga menyatakan bahwa alasan sangat mendesak adalah keadaan tidak ada pilihan lain dan sangat terpaksa harus dilangsungkan perkawinan. Sedangkan yang dimaksud dengan bukti-bukti pendukung yang cukup adalah surat keterangan yang membuktikan bahwa usia mempelai masih di bawah ketentuan undang-undang dan surat keterangan dari tenaga kesehatan yang mendukung pernyataan orang tua bahwa perkawinan tersebut sangat mendesak untuk dilaksanakan.
Walaupun tidak ada sanksi dan konsekuensi yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan atas perkawinan terhadap batas usia perkawinan terhadap anak, namun pencegahan terhadap perkawinan anak adalah tanggung jawab orang tua sebagaimana ketentuan dalam Pasal 26 ayat (1) huruf c UU Perlindungan Anak. Apabila perkawinan dilaksanakan tidak sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka dapat berakibat perkawinan tidak sah secara hukum. Ketentuan terkait batasan usia perkawinan tersebut semata-mata untuk menjaga kesehatan suami-istri dan keturunannya sebagaimana yang dinyatakan dalam penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan sebelum mengalami perubahan pada tahun 2019.
Menurut Walgito dalam bukunya yang berjudul “Bimbingan Konseling Islam” bahwa perkawinan yang masih terlalu muda banyak mengundang masalah yang tidak diharapkan karena segi psikologisnya belum matang seperti cemas dan stress.[6] Hal lain yang dapat terjadi terhadap psikologis seorang anak yang melakukan pernikahan dini, yaitu neuritis depresi karena mengalami proses kekecewaan yang berlarut-larut dan perasaan-perasaan tertekan yang berlebihan.[7] Kemudian dampak terhadap biologisnya yaitu apabila anak yang dibawah umur hamil, maka kehamilan dalam usia yang kurang mempuni beresiko lebih tinggi seperti halnya kesulitan waktu melahirkan, lahirnya bayi yang tidak sehat, cacat, bahkan kematian bayi/Ibu.[8] Oleh karena itu, promosi terkait pernikahan dini oleh Aisha Wedding Organizer dianggap tidak sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan karena bertentangan dengan upaya pemerintah menekan pernikahan anak.
[1] https://jatim.inews.id/berita/viral-wedding-organizer-promosikan-paket-pernikahan-di-bawah-umur
[2] https://nasional.kompas.com/read/2021/02/11/07481851/promosi-pernikahan-anak-aisha-weddings-bikin-masyarakat-resah-dan-pemerintah?page=all
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5]https://internasional.kompas.com/read/2016/09/14/12375931/amerika.serikat.ternyata.izinkan.pernikahan.anak-anak
[6] Elprida Riyanny Syalis dan Nunung Nurwati, Analisis Dampak Pernikahan Dini Terhadap Psikologis Remaja, Jurnal Pekerjaan Sosial, Vol.3, No. 1, Bandung : Universitas Padjajaran, Juli 2020, hal. 36.
[7] Ibid, hal. 37.
[8] Ibid, hal. 38.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaan
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.