Permohonan Provisi

Permohonan Provisi adalah permohonan pihak yang berperkara supaya diadakan tindakan pendahuluan untuk kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan. Tindakan pendahuluan yang dimohonkan adalah tindakan sementara yang tidak termasuk pokok perkara. Misalnya, dalam perkara perceraian yang sedang diadili oleh Pengadilan Negeri, baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat, istri mohon izin kepada hakim agar boleh meninggalkan rumah suaminya selama persidangan berlangsung dan hakim dalam putusan provisionil (provisionil vonnis) dapat menunjukkan rumah dimana istri harus tinggal. Dasar hukum mengenai permohonan provisi dan putusan provisi tidak diatur secara tegas, malainkan diatur secara implisit dalam Pasal 180 ayat (1) RIB/HIR. Kemudian mengenai pengertian putusan provisionil tercantum dalam Penjelasan Pasal 185 RIB/HIR.

Permohonan provisi sering digunakan oleh Penggugat untuk mencegah kerugian yang lebih besar terjadi selama proses pemeriksaan perkara di Pengadilan. Salah satu prinsip hukum acara perdata mengenai permohonan provisi adalah isi permohonan yang tidak boleh menyangkut pokok perkara. Hal tersebut karena pokok perkara merupakan hal yang akan diputuskan pada putusan akhir.

  • Proses Beracara Terkait Permohonan Provisi

Sekalipun pengaturan mengenai permohonan provisionil masih sangat kurang, namun hakim dalam menilai permohonan provisi harus memperhatikan urgensi dan kepentingan yang mendesak pada permohonan tersebut, untuk melindungi hak dari pihak yang memohonkan permohonan provisi. Penolakan terhadap permohonan provisi oleh hakim harus dilakukan dengan suatu putusan dalam persidangan dan bukan dengan suatu penetapan. Putusan provisi umumnya diambil sebelum hakim memeriksa sendiri pokok perkara yang bersangkutan dan bersifat tindakan sementara selama prosedur pemeriksaan perkara berjalan. Hakim tidak terikat pada putusan provisi dalam mengambil keputusan untuk putusan akhir, meskipun antara putusan provisi dengan pokok perkara dan putusan akhir merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Dalam membuat permohonan provisi, pihak yang mengajukan harus memperhatikan beberapa hal seperti syarat formil permohonan provisi, antara lain:

  1. Memuat alasan yang melatarbelakangi diajukannya permohonan provisi, termasuk urgensi dan relevansinya dengan gugatan pokok.
  2. Mengemukakan dengan jelas tindakan sementara yang dimohonkan.
  3. Tindakan yang dimohonkan tidak boleh mengenai pokok perkara.

Jika terdapat permohonan provisi dalam proses pemeriksaan perkara, maka pemeriksaan gugatan pokok akan ditangguhkan. Hakim akan mendahulukan pemeriksaan permohonan provisi menggunakan prosedur singkat. Meskipun dimaksudkan untuk diputus pada hari itu juga, namun Pasal 285 RV memungkinkan penundaan pemeriksaan tuntutan provisi apabila penundaan tersebut tidak menyebabkan terjadinya kerugian yang besar atau kerugian yang tidak dapat diperbaiki. Meskipun terdapat pihak yang membantah putusan provisi hakim, pengadilan dapat menjalankan putusan provisi hakim tersebut dijalankan terlebih dahulu, asalkan terdapat tanda alas hak yang otentik atau suatu surat yang menurut peraturan dapat diterima sebagai bukti, atau jika terdapat putusan terdahulu yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika permohonan provisi yang dikabulkan dalam hal perselisihan bezit.

Putusan yang segera harus dilaksanakan tidak boleh membawa kerugian kepada perkara pokok. Berdasarkan hal tersebut hakim mempunyai 3 (tiga) pilihan dalam memutus permohonan provisi, antara lain:

  1. Menyatakan permohonan provisi tidak dapat diterima apabila tidak memenuhi syarat formil.
  2. Menyatakan menolak permohonan provisi apabila tidak ada urgensi maupun relevansi dengan gugatan pokok, sehingga tindakan sementara yang dimohonkan tidak perlu dilakukan.
  3. Menyatakan mengabulkan permohonan provisi jika memenuhi syarat formil dan alasan yang diajukan sebagai dasar permohonan memiliki relevansi dan urgensi terkait gugatan pokok, serta jika tindakan sementara yang dimohonkan tidak dilakukan akan timbul kerugian yang sangat besar.
  • Pelaksanaan Putusan Provisi

Putusan provisi merupakan hasil dari tuntutan lebih dahulu bersifat sementara mendahului putusan akhir (putusan yang memutus pokok perkara). Sifat dari putusan provisi adalah sangat segera dan mendesak, serta merupakan salah satu jenis putusan sela. Meskipun putusan provisionil merupakan salah satu macam putusan sela, namun jika ditinjau dari kenyataan hukum, maka putusan provisionil sebenarnya sudah dapat dikatakan mendekati putusan akhir. Apabila hakim mengabulkan permohonan provisi, maka putusan provisi dapat dilaksanakan sekalipun perkara pokoknya belum diputus oleh hakim.

Pasal 185 ayat (1) RIB/HIR menyatakan bahwa putusan yang bukan merupakan putusan akhir, meskipun harus diucapkan dalam persidangan, namun putusannya tidak dibuat sendiri melainkan hanya ditulis dalam surat pemberitaan persidangan (berita acara persidangan. Berkaitan dengan putusan provisionil, ternyata dalam prakteknya setelah ada putusan akhir, secara otomatis putusan provisi dimasukkan sebagai bagian dari putusan akhir dengan jalan menguatkannya atau mencabutnya. Kemudian, karena sifat putusan provisi yang bersifat segera dan mendesak maka putusan provisi harus dilaksanakan terlebih dahulu.

Mahkamah Agung berpendapat bahwa dikabulkannya permohonan provisi selalu menimbulkan kesulitan, karena dalam prakteknya adalah senada dengan pemberian izin untuk pelaksanaan terlebih dahulu suatu putusan yang masih belum mempunyai kekuatan hukum tetap (executie uitvoerbaar bij voorraad). Oleh karena itu, untuk melaksanakan putusan sela yang mengabulkan permohonan provisi tersebut, Mahkamah Agung menginstruksikan agar terdapat persetujuan khusus dari Mahkamah Agung (SEMA No. 4/1965 tanggal 30 Desember 1965). Setelah itu, instruksi tersebut dicabut dengan menetapkan bahwa pemberian persetujuan itu di limpahkan kepada Ketua Pengadilan Tinggi yang meliputi wilayah hukum Pengadilan Negeri dimana perkara tersebut diperiksa (SEMA No. 16/1969 tanggal 11 Oktober 1969).

Pelaksanaan putusan provisi yang harus dengan persetujuan Pengadilan Tinggi setempat bukan sebagai pemeriksaan tingkat banding, melainkan sebagai fungsi pengawasan. Hal tersebut karena, jika dalam praktek permohonan provisi diputuskan tanpa pengawasan Pengadilan Tinggi, maka dapat mendorong Hakim pada Pengadilan Negeri untuk mengabulkan permohonan provisi secara leluasa tanpa memperhatikan urgensinya. Pengawasan Pengadilan Tinggi sangat penting karena suatu putusan provisi dapat berakibat sebaliknya dari yang diinginkan, misalnya tergugat hendak menanam padi pada permulaan musim tanam diatas sebidang tanah miliknya sendiri, kemudian datang seseorang menggugat melalui pengadilan bahwa tanah itu miliknya dan dengan permohonan provisi memohon agar Hakim memutuskan penghentian penanaman padi. Seandainya benar kelak bahwa tanah tersebut milik Penggugat, maka tidak ada urgensi yang mendesak untuk mengabulkan tuntutan provisi penggugat. Sedangkan sebaliknya, jika kelak terbukti tergugat adalah pemilik tanah tersebut dan gugatan penggugat ditolak, maka permohonan provisi yang sudah dikabulkan Pengadilan akan membawa kerugian yang besar terhadap tergugat.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.