Permohonan Pembatalan Sertifikat Tanah

Seiring dengan bertambahnya laju pertumbuhan penduduk yang cukup pesat, kebutuhan akan tempat tinggal khususnya tanah semakin meningkat. Terbatasnya jumlah lahan untuk dijadikan tempat tinggal, membuat diperlukannya suatu jaminan akan kepastian hukum terhadap hak kepemilikan atas tanah yang mereka miliki. Guna mendapatkan kepastian tersebut, maka diperlukan suatu bukti tertulis yang menerangkan suatu kepemilikan atau hak milik yang dipunyai oleh seseorang tersebut. Bukti tertulis itu disebut sertifikat hak atas tanah. Sertifikat hak atas tanah adalah tanda bukti atau alat pembuktian mengenai pemilikan tanah sehingga merupakan surat/barang yang bernilai sebagaimana Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang UUPA (UU 5/1960) jo Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (PP 24/1997). Akan tetapi, karena kurang terstrukturnya penerbitan akta tanah menimbulkan banyaknya tindakan-tindakan tidak bertanggung jawab. Salah satu contohnya yaitu banyaknya terjadi sengketa tanah diakibatkan satu bidang tanah yang memiliki dua sertifikat atas nama dua orang yang berbeda, yang tentunya menjadikan adanya tumpang tindih kepemilikan. Oleh karena itu diperlukan penyelesaian atas permasalahan tersebut.

Penyelesaian sengketa atas persoalan tanah dapat dilakukan di Badan Pertanahan Nasional atau Pengadilan. Jika permasalahan yang terjadi terkait pembatalan sertifikat maka dapat dilakukan di Badan Pertanahan Nasional atau di Pengadilan Tata Usaha Negara. Ketentuan tentang Pendaftaran Tanah diatur dalam PP 24/1997, sehingga pembatalan sertifikat hak atas tanah seluruhnya berpedoman pada ketentuan tersebut. Permohonan pembatalan sertifikat dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu :

 

A. Permohonan Pembatalan Sertifikat di Badan Pertanahan Nasional

 

Pembatalan Sertifikat dapat dilakukan diluar mekanisme peradilan yaitu dengan cara mengajukan permohonan kepada Menteri/Kepala BPN/Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Mekanisme ini diatur pada Pasal 110 jo Pasal 108 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan (Permen 9/1999). Adapun dasar permohonan dapat dilakukan jika diduga terdapat cacat hukum administratif dalam penerbitannya, sebagaimana diatur pada Pasal 106 ayat (1) jo Pasal 107 Permen 9/1999. Cacat hukum administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 (1) adalah sebagai berikut  :

  1. Kesalahan prosedur
  2. Kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan
  3. Kesalahan subjek hak
  4. Kesalahan objek hak
  5. Kesalahan jenis hak
  6. Kesalahan perhitungan luas
  7. Terdapat tumpang tindih hak atas tanah
  8. Data yuridis atau data data fisik tidak benar;atau
  9. Kesalahan lainnya yang bersifat administratif

Permohonan pembatalan tersebut dapat dilakukan dengan cara mengajukan pengaduan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pertanahan melalui loket pengaduan, kotak surat atau website Kementerian dengan alasan-alasan tersebut di atas. Apabila pengaduan disampaikan secara langsung kepada Menteri, maka pengaduan itu diteruskan kepada Kepala Kantor di wilayah objek sengketa berada. Hal tersebut sesuai dengan ayat (2) dan (3) Pasal 6 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan (Permen ATR/BPN 11/2016).

Di dalam permohonannya, Pemohon harus menguraikan secara detail fakta-fakta dan membangun narasi tentang kesalahan atau pelanggaran administratif dalam penerbitan sertifikat itu secara jelas. Pengaduan secara tertulis, harus memuat kronologis dan data-data sebagai berikut:

  1. Keterangan mengenai pemohon, apabila perorangan maka permohonan memuat nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaannya, dan dibuktikan dengan melampirkan :
    1. foto kopi surat identitas (KTP); dan
    2. surat bukti kewarganegaraan.

Apabila disampaikan oleh badan hukum maka harus memuat nama, tempat kedudukan, akta atau peraturan pendiriannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan dibuktikan dengan melampirkan foto kopi akta atau peraturan pendiriannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yurisis dan data fisik, yang meliputi keterangan tentang nomor/jenis hak atas tanah, letak, batas-batas dan luasnya (jika ada Surat Ukur atau Gambar Situasi sebutkan tanggal dan nomor Surat Ukur) dan Jenis tanah (pertanian/non pertanian). Mengenai tanahnya maka disebutkan nomor/jenis hak atas tanah, untuk itu dilampirkan data-data berupa:

    1. foto copy surat keputusan dan atau sertipikat, dan
    2. surat-surat lain yang berkaitan dengan permohonan pembatalan.

3. Lain-lain, yang dimaksukan disini adalah keterangan atau uraian tentang alasan permohonan pembatalan dan Keterangan lain yang dianggap perlu.

Setelah berkas permohonan diterima oleh Kepala Kantor Pertanahan maka dilakukan penelitian terhadap data-data tersebut, jika dinilai ada kekurangan data fisik ataupun data yuridis maka Kepala Kantor Pertanahan memberitahukannya kepada pengirim pengaduan. Pengadu dapat melengkapi berkas yang dianggap kurang itu. Jika data-data pengaduan telah lengkap maka dilakukan proses penelitian dan membahas data fisik maupun data yuridis yang disampaikan. Membahas kebenaran dari pengaduan dimaksud, selanjutnya melakukan langkah-langkah penanganan sengketa itu, seperti melakukan paparan duduk perkara, melakukan survei lapangan, melakukan pengukuran ulang, melakukan mediasi terhadap para pihak yang bersengketa, dan seterusnya.

Output dari langkah-langkah penanganan sengketa itu, adalah keputusan Menteri atau Kepala Wilayah BPN sebagaimana ketentuan Pasal 24 ayat (1) Permen ATR/BPN  11/2016 yang berbentuk:

  1. Keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah;
  2. Keputusan Pembatalan Sertifikat;
  3. Keputusan Perubahan Data pada Sertifikat, Surat Ukur, Buku Tanah dan/atau Daftar Umum lainnya; atau
  4. Surat Pemberitahuan bahwa tidak terdapat kesalahan administrasi;

Kewenangan melakukan pembatalan hak atas tanah dipegang oleh menteri, namun demikian dapat dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah atau kepada Pejabat yang ditunjuk, sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 105 Permen Agraria/BPN No. 9/1999. Dalam pelaksanaannya berkaitan tentang perubahan data-data pertanahan yang ada di dalam sertipikat tanah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan.

B. Permohonan Pembatalan Sertifikat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara

Sertifikat Hak Atas Tanah merupakan salah satu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014). Oleh karena itu, pembatalan KTUN berupa Sertifikat Hak Atas Tanah dapat dilakukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Gugatan Pembatalan Sertifikat Hak Atas Tanah harus diajukan 90 (Sembilan puluh) hari sejak diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara (UU 5/1986), sebagai berikut:

“Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.”

Apabila pihak yang dirugikan tersebut ternyata bukan pihak yang dituju oleh KTUN, maka batas waktu pengajuan gugatan kepada PTUN adalah 90 (sembilan puluh) hari setelah dirinya mengetahui adanya KTUN yang merugikannya tersebut. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam SEMA Nomor 2 Tahun 1991 yang menyatakan sebagai berikut:

“bagi mereka yang tidak dituju oleh suatu Keputusan ata Usaha Negara tetapi yang merasa kepentingannya dirugikan maka tenggang waktu sebagaimana dimaksud pasal 55 dhitung secara kasuistis sejak saat ia merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara dan mengetahui adanya keputusan tersebut.”

Adapun alasan-alasan pengajuan gugatan pembatalan KTUN diatur dalam Pasal 53 ayat (1) UU 5/1986, yaitu:

  1. Keputusan TUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;  dan
  2. Keputusan TUN yang digugat ini bertentangan  dengan asas umum pemerintahan yang baik.

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 66 UU 30/2014 disebutkan bahwa suatu KTUN dapat dibatalkan apabila cacat dalam kewenangan, prosedur, dan substansi. Atas alasan-alasan tersebutlah pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan kepada Badan atau Pejabat TUN melalui Pengadilan Tata Usaha Negara untuk mendapatkan keputusan.

 

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.