Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali Serta 5 Perbedaannya
Permohonan Kasasi
Sebagai negara hukum, sistem penegakan hukum di Indonesia selalu memiliki pengawasan satu sama lain. Salah satu pengawasan dan kontrol tersebut adalah dengan adanya upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan-putusan pengadilan. Dalam sistem peradilan sendiri terdapat 2 (dua) macam upaya hukum, yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa.
Permohonan Kasasi merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diajukan terhadap putusan peradilan tingkat pertama dan/atau tingkat banding. Permohonan Kasasi yang diajukan terhadap putusan tingkat pertama hanya terbatas pada perkara-perkara tertentu yang mengatur bahwa tidak ada upaya hukum banding lagi, seperti permohonan yang kemudian menghasilkan penetapan oleh pengadilan dimana penetapan tersebut memang tidak dapat diajukan upaya hukum banding, perkara Perselisihan Hubungan Industrial terkait perkara Pemutusan Hubungan Kerja yang mengatur tidak adanya upaya hukum banding, dan perkara kepailitan yang mengatur tidak ada upaya hukum banding.
Pasal 45 A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung (selanjutnya disebut “UU MA”) mengatur perkara-perkara yang tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi, yang mana ditegaskan kembali oleh Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2011 (selanjutnya disebut “SEMA 8/2011”) tentang perkara yang tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi, yaitu:
- Putusan tentang praperadilan;
- Putusan pidana yang diancam dengan pidana penjawa paling lama 1 (satu) tahun dan/atau diancam pidana denda;
- perkara tata usaha negara yang obyek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.
Terhadap perkara-perkara yang tidak melarang adanya upaya hukum banding, membuat para pihak dalam perkara tersebut yang tidak puas dengan putusan hakim harus terlebih dahulu mengajukan upaya hukum banding, sebelum mengajukan upaya hukum kasasi. Baik peradilan tingkat pertama maupun tingkat banding biasa disebut sebagai Judex Facti yang artinya peradilan tersebut memiliki kewenangan untuk memeriksa fakta dan/atau menilai bukti-bukti yang diajukan di persidangan.
Berbeda dengan Judex Facti, Kasasi merupakan tingkat peradilan yang biasa disebut Judex Juris, tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa fakta dan/atau menilai bukti-bukti yang diajukan di persidangan. Hal tersebut dikarenakan kewenangan Hakim pada tingkat kasasi atau yang biasa disebut Judex Juris, memiliki keterbatasan sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) UU MA yang menyatakan:
“Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena:
a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.”
Berdasar ketentuan tersebut, maka batas kewenangan memeriksa oleh Hakim pada tingkat kasasi hanya berkaitan dengan hukumnya saja, dan tidak berkaitan dengan pemeriksaan fakta dan/atau penilaian bukti.
Pengajuan permohonan kasasi diajukan dalam jangka waktu yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Pada umumnya, permohonan kasasi diajukan paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterimanya pemberitahuan putusan. Namun demikian, dalam beberapa perkara tertentu terdapat perbedaan, seperti perkara Perselisihan Hubungan Industrial yang menyatakan bahwa permohonan kasasi dapat diajukan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya pemberitahuan putusan, sedangkan dalam pengajuan permohonan kasasi terhadap perkara kepailitan diajukan dalam jangka waktu 8 (delapan) hari.
Selanjutnya, pengajuan upaya hukum kasasi juga harus juga harus diikuti dengan pengajuan memori kasasi, yang diserahkan paling lambat 14 (empat belas) hari sejak dinyatakannya permohonan kasasi. Memori Kasasi sendiri berisi alasan-alasan diajukannya permohonan kasasi tersebut. Pemohon Kasasi dalam memori kasasinya dapat mengajukan satu dari tiga atau sekaligus ketiga alasan permohonan kasasi sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) UU MA di atas. Oleh karena itu, memori kasasi tidak dapat memuat alasan yang berkaitan dengan pemeriksaan fakta dan/atau penilaian bukti, sebab hal tersebut sudah bukan kewenangan tingkat kasasi/Judex Juris.
Manakala pernyataan permohonan kasasi dan/atau penyerahan memori kasasi terlambat dilakukan oleh pihak yang mengajukan permohonan kasasi, maka permohonan kasasi tersebut dinyatakan tidak memenuhi syarat dan “tidak dapat diterima” oleh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama, dan tidak akan dikirim ke Mahkamah Agung. Terhadap penetapan oleh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama tersebut tiak dapat dilakukan upaya hukum apapun. Hal tersebut sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2011.
Tidak diterimanya permohonan kasasi tentunya akan menjadikan putusan yang akan dimohonkan kasasi tersebut menjadi berkekuatan hukum tetap. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut tentunya juga akan memiliki kekuatan eksekutorial.
Peninjauan Kembali
Selain memiliki kewenangan mengadili di tingkat kasasi, Mahkamah Agung juga memiliki kewenangan untuk memeriksa dan mengadili di tingkat Peninjauan Kembali yang merupakan upaya hukum luar biasa. Apabila permohonan kasasi diajukan terhadap putusan yang belum memiliki kekuatan hukum tetap, maka peninjauan kembali justru diajukan terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Peninjauan Kembali dapat diajukan dengan alasan-alasan sebagaimana diatur dalam pasal 67 UU MA yang menyatakan:
“Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setealh perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yagn tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e. Aapabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.”
Sedangkan jangka waktu pengajuan peninjauan kembali didasarkan pada alasan pengajuan peninjauan kembali, sebagaimana diatur dalam Pasal 69 UU MA. Manakala alasan peninjauan kembali dikarenakan adanya kebohongan atau tipu muslihat yang menjadi dasar putusan, adanya ultra petita, terdapat bagian dari tuntutan yang belum diputus tanpa dipertimbangkan sebabnya, dan karena terdapat kekhilafan hakim dalam putusan, maka jangka waktu peninjauan kembali adalah 180 (seratus delapan puluh) hari sejak diberitahukannya putusan. Sedangkan dikarenakan adanya bukti baru atau “novum”, maka pengajuan peninjauan kembali adalah 180 (seratus delapan puluh) hari sejak ditemukannya bukti surat yang bersifat menentukan tersebut. Terakhir, apabila peninjauan kembali diajukan karena adanya putusan yang bertentangan, maka jangka waktu pengajuan peninjauan kembali adalah 180 (seratus delapan) puluh hari sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu inkracht dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara.
Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, tepatnya pada Pasal 263 ayat (2), disebutkan bahwa alasan permohonan peninjauan kembali terhadap putusan pidana adalah:
“a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan seabgai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.”
Pengaturan tentang Peninjauan Kembali dapat dilihat mulai dari Pasal 66 sampai dengan Pasal 77 UU MA. Pasal 66 UU MA mengatur:
“Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali”
Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman juga mengatur:
“Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali”
Namun demikian, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali mengatur:
“1. Permohonan peninjauan kembali dalam suatu perkara yang sama yang diajukan lebih dari 1 (satu) kali baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana bertentangan dengan Undang-Undang. Oleh karena itu apabila suatu perkara diajukan permohonan Peninjauan Kembali yang kedua dan seterusnya, maka Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dengan mengacu secara analog kepada ketentuan Pasal 45 A Undang-Undang Mahkamah Agung (Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009), agar dengan Penetapan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama, permohonan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak perlu dikirim ke Mahkamah Agung;
2. Apabila suatu obyek perkara terdapat 2 (dua) atau lebih putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu dengan yang lain baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana dan diantaranya ada yang diajukan permohonan peninjauan kembali agar permohonan peninjauan kembali tersebut diterima dan berkas perkaranya tetap dikirimkan ke Mahkamah Agung”
Berdasar ketentuan tersebut, maka Peninjauan Kembali dapat diajukan lebih dari 1 (satu) kali manakala ada putusan yang bertentangan satu dengan lainnya. Bahkan lebih lanjut Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 45/PUU-XIII/2015 memperbolehkan peninjauan kembali terhadap perkara pidana diajukan lebih dari 1 (satu) kali.
Perbedaan Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali
Berdasar uraian-uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya baik Permohonan Kasasi maupun Peninjauan Kembali diajukan kepada Mahkamah Agung. Meski demikian, keduanya adalah upaya hukum yang berbeda satu sama lain, Adapun 5 (lima) perbedaan upaya hukum kasasi dan upaya hukum peninjauan kembali adalah sebagai berikut:
Kasasi | Peninjauan Kembali | |
Jenis Upaya Hukum | Biasa | Luar Biasa |
Diajukan terhadap putusan | Belum Inkracht | Sudah Inkracht |
Alasan | a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan | a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setealh perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu; b. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan; c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yagn tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut; d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya; e. Aapabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain; f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. |
Jangka Waktu | 14 (empat belas) hari atau ditentukan lain sesuai peraturan perundang-undangan | 180 (seratus delapan puluh) hari, dihitung berdasarkan alasan pengajuan Peninjauan Kembali |
Jumlah Pengajuan | Hanya 1 (satu) kali | Dapat lebih dari 1 (satu) kali apabila alasan Peninjauan Kembali adalah novum dan adanya putusan yang bertentangan |
Penulis: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanLatihan Soal Tentang Istilah Hukum
SEMA Tentang Pembatasan Upaya Hukum Kasasi Terhadap Sengketa Tata...
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.