Permohonan Dengan Adanya Termohon

Permohonan atau gugatan voluntair adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan. Ciri khas permohonan antara lain, masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata dan benar-benar murni untuk menyelesaikan kepentingan pemohon tentang suatu permasalahan perdata yang memerlukan kepastian hukum.[1] Pada prinsipnya yang dipermasalahkan pemohon, tidak bersentuhan dengan hak dan kepentingan orang lain. Landasan hukum permohonan atau gugatan voluntair merujuk pada ketentuan Pasal 2 dan penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU 14/1970). Dalam Pasal 2 dan penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU 14/1970, landasan dari gugatan voluntair yang merupakan penegasan, di samping kewenangan badan peradilan penyelesaian masalah atau perkara yang bersangkutan dengan yuridiksi contentiosa yaitu perkara sengketa yang bersifat partai (ada pihak penggugat dan tergugat), juga memberi kewenangan penyelesaian masalah atau perkara voluntair.[2]

Permohonan pada umumnya meliputi beberapa hal sebagai berikut:

  1. Masalah yang diajukan bersifat sepihak saja;
  2. Permasalahan yang dimohon penyesuaian kepada pengadilan negeri pada prinsipnya tanpa sengketa dan tanpa pihak lain;
  3. Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan, tetapi bersifat mutlak satu pihak.
  4. Keputusan hakim mengikat terhadap semua orang.

 

Proses pemeriksaan permohonan di pengadilan dilakukan secara ex-parte yang bersifat sederhana yaitu hanya mendengarkan keterangan pemohon, memeriksa bukti surat atau saksi yang diajukan pemohon dan tidak ada tahap replik-duplik dan kesimpulan. Setelah permohonan diperiksa, maka pengadilan akan mengeluarkan penetapan atau ketetapan (beschikkingdecree). Bentuk ini membedakan penyelesaian yang dijatuhkan pengadilan dalan gugatan contentiosa, karena dalam gugatan contentiosa yang bersifat partai, penyelesaian yang dijatuhkan berbentuk putusan atau vonis (award).[3] Menurut Yahya Harahap terdapat ciri khas permohonan atau gugatan voluintir:[4]

  1. Masalah yang diajaukan bersifat kepentingan sepihak semata (for the benefit of one party only), maksudnya ialah:
  2. Murni untuk menyelesaikan kepentingan pemohongan tentang
    permasalahan perdata yang memerlukan kepastian hokum.
  3. Permasalahan yang dimohonkan oleh pemohon tidak bersentuhan dengan
    kepentingan orang lain
  4. Permasalahan yang dimohon penyesuaian ke PN, bukan merupakan sengketa
    dengan kepentingan pihak lain
  5. Tidak ada ornag lain atau pihak yang ditarik sebagai lawan, tetapi bersifat
    Ex-Parte

Meski demikian, terdapat beberapa permohonan yang mengharuskan adanya pihak Termohon diantaranya:

  1. Permohonan eksekusi atas putusan perdata
  2. Permohonan Penyelenggaraan RUPS kepada Pengadilan
  3. Permohonan PKPU dan Kepailitan
  4. Permohonan talak di Pengadilan Agama
  5. Permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 di Mahkamah Konstitusi.

Menurut Yahya Harahap, jalannya proses pemeriksaan secara Ex-Parte pada permohonan atau gugatan voluntair yaitu yang terlibat dalam pemeriksaan hanyalah pemohon dan/atau kuasanya saja, tidak ada pihak tergugat atau lawan pada saat pemeriksaan atau dengan kata lain pemeriksaan semata-mata hanya untuk kepentingan pemohon. Berperkara di MK, khususnya tentang permohonan pengujian Undang-undang, mengharuskan adanya Termohon, dalam hal ini adalah Lembaga negara yang dianggap telah mengambil, mengurangi, menghalangi, mengabaikan, dan/atau merugikan pemohon. Dalam pemeriksaan perkara, pemohon dan termohon memiliki kedudukan yang sama (equal). Keduanya memiliki kesempatan dan kebebasan yang sama untuk mengajukan hal-hal yang dianggapnya benar menurut hukum. Keduanya juga memiliki hak dan kebebasan yang sama untuk mengajukan pembelaan dan bukti-bukti yang dianggap perlu.[5]

Sebagai contoh permohonan yang melibatkan dua pihak, dalam hal ini adanya  termohon, yakni permohonan eksekusi Atas Putusan Perkara Perdata: Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Basung, dalam Perkara Perdata No: XX/Pdt.G/2015/PN. LBB. Pada putusan tersebut menyebutkan bahwa pemohon mengajukan permohonan kepada termohon eksekusi terhadap putusan Perkara Perdata No: XX/Pdt.G/2015/PN. Permohonan diajukan melalui kuasa hukum pemohon. Permohonan tersebut diajukan untuk mengeksekusi sebidang tanah yang dalam hal ini tercatat dalam Perkara Perdata No: XX/Pdt.G/2015/PN, yang mengadili, Termohon Eksekusi tidak menggunakan haknya untuk melakukan upaya hukum Kasasi terhadap Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Basung Perkara Perdata No: XX/Pdt.G/2015/PN. LBB Jo. Putusan Pengadilan Tinggi Padang Registrasi No: XX/PDT/2016/PT.PDG. dengan kesimpulan Pemohon Eksekusi berada pada pihak yang dimenangkan dalam perkara ini, dan perkara ini telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (Inkracht van Gewijsde).[6] Jika merujuk pada UU no 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa penetapan putusan tersebut dianggap kurang tepat karena dianggap melampaui yurisdiksi voluntair, karena dianggap kasus tersebut tidak diatur dalam undang-undang, juga perkara tersebut jelas mengandung sengketa antara permohonan dengan pihak lain. Penjelasan tersebut juga mengacu pada pendapat Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata halaman 44 yang mempunyai jenis perkara yang hampir sama dengan perkara diatas.

Permohonan di Mahkamah Konstitusi juga mengharuskan adanya termohon. Istilah permohonan digunakan karena nuansa kepentingan umum yang dominan dalam setiap perkara yang ditangani MK. Walaupun suatu perkara diajukan oleh individu warga negara, namun putusannya berlaku umum dan mempengaruhi hukum dan ketatanegaraan. Sebagai lembaga peradilan, MK menjalankan wewenang yang dimiliki berdasarkan permohonan yang diterima. Istilah yang digunakan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) adalah “permohonan” bukan “gugatan” seperti dalam hukum acara perdata.

 

[1] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2013.

[2] Ivan Ari, http://p4tkpenjasbk.kemdikbud.go.id/kepegawaian/2019/05/15/perbedaan-prinsip-antara-permohonan-dengan-gugatan/.

[3] Arthur Daniel, https://indonesiare.co.id/id/article/mengenal-perbedaan-gugatan-dan-permohonan

[4] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian dan putusan pengadilan, Sinar Grafika, 2004, hal 29

[5] https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=16720&menu=2

[6]Permohonan Eksekusi Perdata Kartini“, Academia.edu., diakses pada tanggal 7 September 2021, https://www.academia.edu/35636479/Permohonan_Eksekusi_Perdata_Kartini

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.