Perluasan Objek Praperadilan Berdasar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014

Penetapan Tersangka Sebagai Perluasan Objek Praperadilan

Ruang lingkup praperadilan sejatinya telah dibatasi dalam ketentuan Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), namun ternyata perkembangan hukum telah menerobos batas-batasan tersebut dan bahkan mendahului pembahasan Rancangan KUHAP. Perkembangan hukum merupakan wujud nyata dari implementasi teori responsif yang menguraikan hukum sebagai suatu sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi-aspirasi masyarakat.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 merupakan salah satu wujud nyata dari perkembangan hukum tersebut. Dari putusan tersebut menambahkan objek praperadilan dalam ketentuan Pasal 77 KUHAP, sehingga objek praperadilan diperluas, yaitu termasuk sah atau tidaknya penetapan tersangka, sah atau tidaknya penggeledahan dan sah atau tidaknya penyitaan. Berikut beberapa pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi yang termuat dalam putusannya nomor 21/PUU-XII/2014 yang mempertimbangkan perluasan obyek praperadilan sebagai berikut:

  • Menimbang bahwa permasalahan utama Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), Pasal 77 huruf a, dan Pasal 156 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209, selanjutnya disebut KUHAP) yang menyatakan:

 

Pasal 1 Angka 2 KUHAP:

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mecari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya

 

Pasal 1 Angka 14 KUHAP:

Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana

 

Pasal 17 KUHAP:

Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup

 

Pasal 21 ayat (1) KUHAP:

Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana”.

 

Pasal 77 huruf a KUHAP: “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: (a) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan

 

Pasal 156 ayat (2) KUHAP:

Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, sebaiknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan

 

Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disebut UUD 1945, yaitu:

 

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945:

Negara Indonesia adalah negara hukum”.

 

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945:

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

 

Pasal 28I ayat (5) UUD 1945:

Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan”. \

 

Pasal 28J ayat (2) UUD 1945:

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Pokok Permohonan

  • Menimbang bahwa Pemohon dalam permohonannya mendalilkan yang pada pokoknya sebagai berikut:
  1. Bahwa frasa “dan guna menemukan tersangkanya” dalam Pasal 1 ayat (2) KUHAP melanggar Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena menimbulkan kesewenang-wenangan sehingga bertentangan dengan prinsip due process of law serta melanggar hak atas kepastian hukum yang adil;
  2. Bahwa frasa “bukti permulaan” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 14 dan frasa “bukti permulaan yang cukup” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 17 KUHAP yang tanpa disertai parameter yang jelas menimbulkan ketidakpastian hukum, khusus berkenaan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh penyidik sebelum menyatakan seseorang menjadi tersangka atau sebelum menggunakan upaya paksa dalam menangkap seseorang;
  3. Bahwa frasa “melakukan tindak pidana” dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP adalah multi tafsir dan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan karena jumlah tindak pidana yang diancam pidana penjara lima tahun atau lebih sangat banyak jumlahnya. dan frasa “dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa” dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, ukuran, standar, atau parameternya tidak ditemukan jawabannya dalam ketentuan norma Pasal 21 ayat (1) KUHAP maupun dalam Penjelasan atas pasal tersebut. Pemaknaan sepenuhnya diserahkan kepada penyidik. Oleh karena itu, frasa tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945;
  4. Bahwa konsep praperadilan berdasarkan Pasal 77 huruf a KUHAP yang terbatas pada memberikan penilaian terhadap sah atau tidak sahnya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, jelas tidak sepenuhnya memberikan perlindungan yang cukup bagi tersangka sehingga menimbulkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, oleh karenanya bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945;
  5. Bahwa frasa “sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan” dalam Pasal 156 ayat (2) KUHAP menimbulkan ketidakadilan bagi terdakwa yang melakukan banding atas putusan sela yang menolak eksepsi terdakwa karena berdasarkan Pasal 156 ayat (2) KUHAP maka hakim yang memeriksa perkara tersebut dapat tetap melanjutkan pemeriksaan terhadap pokok perkara walaupun terdakwa melakukan banding ke Pengadilan Tinggi. Hal itu tidak sesusai dengan prinsip due process of law yang dijamin oleh Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945;

 

  • Menimbang bahwa terhadap pengujian frasa “dan guna menemukan tersangkanya” dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

Bahwa Pasal 1 ayat (2) KUHAP termasuk dalam Bab I Pasal 1 tentang Ketentuan Umum yang mengatur tentang pengertian Penyidikan yang menyatakan, “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang daitur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Adapun frasa “dan guna menemukan tersangkanya” harus ditafsirkan bersyarat seperti yang didalilkan oleh Pemohon, menurut Mahkamah, sebenarnya sudah dipenuhi oleh pasal tersebut, yaitu penyidik dalam rangkaian tindakan penyidikan melakukan suatu proses pengumpulan bukti yang dengan bukti tersebut kemudian penyidik menemukan tersangka dalam satu tindak pidana sehingga tidak serta merta penyidik menemukan tersangka sebelum melakukan pengumpulan bukti sebagaimana ditentukan dalam pasal a quo. Pasal 1 angka 2 KUHAP mengatur bagaimana penyidik menemukan tersangka sehingga pasal tersebut sudah jelas dan tidak perlu ditafsirkan.

Menurut Mahkamah, norma tersebut sudah tepat karena memberikan kepastian hukum yang adil kepada warga negara Indonesia ketika akan ditetapkan menjadi tersangka oleh penyidik, yaitu, harus melalui proses atau rangkaian tindakan penyidikan dengan cara mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut penyidik menemukan tersangkanya, bukan secara subjektif penyidik menemukan tersangka tanpa mengumpulkan bukti. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum;

  • Menimbang bahwa terhadap pengujian frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
  1. Bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Gagasan negara hukum sebagai prinsip umum yang dianut dalam penyelenggaraan negara yang, antara lain, bercirikan prinsip due process of law yang dijamin secara konstitusional. Sejalan dengan hal tersebut maka salah satu prinsip negara hukum adalah adanya pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
  2. Bahwa asas due process of law sebagai perwujudan pengakuan hak-hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak, terutama bagi lembaga-lembaga penegak hukum. Perwujudan penghargaan hak asasi tersebut terlaksana dengan memberikan posisi yang sama, termasuk dalam proses peradilan pidana, khususnya bagi tersangka, terdakwa maupun terpidana dalam mempertahankan hak-haknya secara seimbang.
  3. Negara hukum yang telah diadopsi dalam UUD 1945 meletakkan suatu prinsip bahwa setiap orang memiliki hak asasi (HAM), yang dengan demikian mewajibkan orang lain, termasuk di dalamnya negara, untuk menghormatinya. Bahkan secara konstitusional, ketentuan konstitusional tentang HAM tersebut dalam perspektif historis-filosofis dalam pembentukan negara dimaksudkan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab [vide Pembukaan UUD 1945]. Oleh karena itu, negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan terhadap HAM [vide Pasal 28I ayat (4) UUD 1945]. Prinsip sebagaimana diuraikan di atas, melahirkan suatu prinsip yang lain, yaitu bahwa proses peradilan dalam perkara pidana harus sampai pada kebenaran materiil, suatu kebenaran yang di dalamnya tidak terdapat lagi keraguan. Dari prinsip yang demikian lahir pula prinsip dalam proses peradilan pidana, yaitu, “lebih baik membebaskan orang yang bersalah daripada menjatuhkan pidana kepada seseorang yang tidak bersalah”. Di dalam ungkapan tersebut terdapat makna yang dalam, bahwa ketika pengadilan menjatuhkan putusan yang menyatakan seseorang bersalah dan karena itu dijatuhi pidana haruslah benar-benar didasarkan pada suatu fakta hukum yang diyakini sebagai suatu kebenaran. Kalau tidak demikian maka akan terjadi bahwa negara melalui pengadilan pidana telah melanggar HAM, padahal secara konstitusional negara melalui proses peradilan justru harus melindungi HAM [vide Pasal 24 ayat (1) UUD 1945];
  4. Kewajiban negara untuk menegakkan dan melindungi HAM sesuai prinsip negara hukum yang demokratis mengharuskan pelaksanaan HAM dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan [vide Pasal 28I ayat (5) UUD 1945]. Hukum acara pidana merupakan salah satu implementasi dari penegakan dan perlindungan HAM sebagai ketentuan konstitusional dalam UUD 1945. Hal demikian sesuai pula dengan salah satu prinsip negara hukum yang demokratis, yaitu due process of law;
  5. KUHAP sebagai hukum formil dalam proses peradilan pidana di Indonesia telah merumuskan sejumlah hak tersangka/terdakwa sebagai pelindung terhadap kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Namun demikian, masih terdapat beberapa frasa yang memerlukan penjelasan agar terpenuhi asas lex certa serta asas lex stricta sebagai asas umum dalam hukum pidana agar melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyelidik maupun penyidik, khususnya frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Ketentuan dalam KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yaitu minimal dua alat bukti, seperti ditentukan dalam Pasal 44 ayat (2) yang menyatakan, “Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, … dst”. Satu-satunya pasal yang menentukan batas minimum bukti adalah dalam Pasal 183 KUHAP yang menyatakan, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti … dst”; Oleh karena itu, dengan berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, agar memenuhi asas kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta memenuhi asas lex certa dan asas lex stricta dalam hukum pidana maka frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia). Artinya, terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya tersebut, tidak diperlukan pemeriksaan calon tersangka.

 

Menimbang bahwa pertimbangan Mahkamah yang menyertakan pemeriksaan calon tersangka di samping minimum dua alat bukti tersebut di atas, adalah untuk tujuan transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka sudah dapat memberikan keterangan yang seimbang dengan minimum dua alat bukti yang telah ditemukan oleh penyidik. Dengan demikian, berdasarkan alasan tersebut di atas, seorang penyidik di dalam menentukan “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP dapat dihindari adanya tindakan sewenang-wenang, terlebih lagi di dalam menentukan bukti permulaan yang cukup selalu dipergunakan untuk pintu masuk bagi seorang penyidik di dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Dengan uraian pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil Pemohon a quo beralasan menurut hukum;

 

  • Menimbang terhadap dalil Pemohon bahwa Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 apabila tidak dimaknai mencakup sah atau tidak sahnya penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat, Mahkamah berpendapat:
  1. Mengenai penetapan tersangka, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
  1. Sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah dalam paragraf [3.14] bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dalam negara hukum, asas due process of law sebagai salah satu perwujudan pengakuan hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak terutama bagi lembaga penegak hukum. Perwujudan penghargaan hak asasi tersebut terlaksana dengan memberikan posisi yang seimbang berdasarkan kaidah hukum yang berlaku, termasuk dalam proses peradilan pidana, khususnya bagi tersangka, terdakwa maupun terpidana dalam mempertahankan haknya secara seimbang. Oleh karena itu, negara terutama Pemerintah, berkewajiban untuk memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan terhadap HAM [vide Pasal 28I ayat (4) UUD 1945]. KUHAP sebagai hukum formil dalam proses peradilan pidana di Indonesia telah merumuskan sejumlah hak tersangka/terdakwa sebagai pelindung terhadap kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia;
  2. Penegakan hukum harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku juga berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hukum tersebut harus ditegakkan demi terciptanya tujuan dan cita-cita Bangsa Indonesia sebagaimana yang dirumuskan pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat, yaitu, membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Rakyat Indonesia harus merasa aman dari berbagai ancaman dan bahaya yang datang, rasa aman yang diberikan oleh negara kepada rakyat tidak hanya ditujukan bagi mereka yang benar saja, akan tetapi bagi mereka yang melakukan kesalahan ataupun bagi mereka yang diduga melakukan kesalahan juga berhak memperoleh jaminan rasa aman terhadap diri mereka.
  3. Sistem yang dianut dalam KUHAP adalah akusatur, yaitu tersangka atau terdakwa diposisikan sebagai subjek manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum. Dalam rangka melindungi hak tersangka atau terdakwa, KUHAP memberikan mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang penyidik atau penuntut umum melalui pranata praperadilan.
  4. Berkenaan dengan kebebasan seseorang dari tindakan penyidik, International Covenant on Civil and Political Rights yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik);
  5. Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, pertanyaan yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah apakah selain yang ditetapkan dalam Pasal 77 huruf a KUHAP seperti penetapan tersangka dapat dijadikan objek praperadilan?
  6. Pasal 1 angka 10 juncto Pasal 77 KUHAP menentukan bahwa praperadilan memiliki wewenang untuk memeriksa dan memutus: 1) sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan, atas permintaan tersangka atau keluarganya atau permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan; 2) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan dan; 3) permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan
  7. KUHAP tidak memiliki check and balance system atas tindakan penetapan tersangka oleh penyidik karena KUHAP tidak mengenal mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti dan tidak menerapkan prinsip pengecualian (exclusionary) atas alat bukti yang diperoleh secara tidak sah seperti di Amerika Serikat.
  8. Bahwa hakikat keberadaan pranata praperadilan adalah sebagai bentuk pengawasan dan mekanisme keberatan terhadap proses penegakan hukum yang terkait erat dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia, sehingga pada zamannya aturan tentang praperadilan dianggap sebagai bagian dari mahakarya KUHAP. Namun demikian, dalam perjalanannya ternyata lembaga praperadilan tidak dapat berfungsi secara maksimal karena tidak mampu menjawab permasalahan yang ada dalam proses pra-ajudikasi. Fungsi pengawasan yang diperankan pranata praperadilan hanya bersifat post facto sehingga tidak sampai pada penyidikan dan pengujiannya hanya bersifat formal yang mengedepankan unsur objektif, sedangkan unsur subjektif tidak dapat diawasi pengadilan. Hal itu justru menyebabkan praperadilan terjebak hanya pada hal-hal yang bersifat formal dan sebatas masalah administrasi sehingga jauh dari hakikat keberadaan pranata praperadilan.
  9. Bahwa pada saat KUHAP diberlakukan pada tahun 1981, penetapan tersangka belum menjadi isu krusial dan problematik dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Upaya paksa pada masa itu secara konvensional dimaknai sebatas pada penangkapan, penahanan, penyidikan, dan penuntutan, namun pada masa sekarang bentuk upaya paksa telah mengalami berbagai perkembangan atau modifikasi yang salah satu bentuknya adalah “penetapan tersangka oleh penyidik” yang dilakukan oleh negara dalam bentuk pemberian label atau status tersangka pada seseorang tanpa adanya batas waktu yang jelas, sehingga seseorang tersebut dipaksa oleh negara untuk menerima status tersangka tanpa tersedianya kesempatan baginya untuk melakukan upaya hukum untuk menguji legalitas dan kemurnian tujuan dari penetapan tersangka tersebut. Padahal hukum harus mengadopsi tujuan keadilan dan kemanfaatan secara bersamaan sehingga jika kehidupan sosial semakin kompleks maka hukum perlu lebih dikonkretkan secara ilmiah dengan menggunakan bahasa yang lebih baik dan sempurna (Shidarta, 2013: 207-214). Dengan kata lain, prinsip kehati-hatian haruslah dipegang teguh oleh penegak hukum dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
  10. Bahwa untuk memenuhi maksud dan tujuan yang hendak ditegakkan dan dilindungi dalam proses praperadilan adalah tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan (vide pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 65/PUU-IX/2011, bertanggal 1 Mei 2012, juncto putusan Mahkamah Nomor 78/PUU-XI/2013, bertanggal 20 Februari 2014), serta dengan memperhatikan nilai-nilai hak asasi manusia yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan perlindungan hak asasi manusia yang termaktub dalam Bab XA UUD 1945, maka setiap tindakan penyidik yang tidak memegang teguh prinsip kehati-hatian dan diduga telah melanggar hak asasi manusia dapat dimintakan perlindungan kepada pranata praperadilan, meskipun hal tersebut dibatasi secara limitatif oleh ketentuan Pasal 1 angka 10 juncto Pasal 77 huruf a KUHAP. Padahal, penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang di dalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang termasuk dalam perampasan hak asasi seseorang. Bahwa Pasal 77 huruf a KUHAP salah satunya mengatur tentang sah atau tidak sahnya penghentian penyidikan. Sementara itu, penyidikan itu sendiri menurut Pasal 1 angka 2 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
  11. Betul bahwa apabila Pasal 1 angka 2 KUHAP dilakukan secara ideal dan benar maka tidak diperlukan pranata praperadilan. Namun permasalahannya adalah bagaimana ketika tidak dilakukan secara ideal dan benar, dimana seseorang yang sudah ditetapkan menjadi tersangka memperjuangkan haknya dengan ikhtiar hukum bahwa ada yang salah dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Padahal oleh UUD 1945 setiap orang dijamin haknya untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Oleh karena penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya. Namun demikian, perlindungan terhadap hak tersangka tidak kemudian diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana, sehingga tetap dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku secara ideal dan benar. Dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon mengenai penetapan tersangka menjadi objek yang didalili oleh pranata praperadilan adalah beralasan menurut hukum;
  1. Sepanjang menyangkut penggeledahan dan penyitaan, Mahkamah dalam Putusan Nomor 65/PUU-IX/2011, bertanggal 1 Mei 2012, yang mengadili dalam kaitannya dengan Pasal 83 ayat (2) KUHAP, antara lain, mempertimbangkan, “… Salah satu pengaturan kedudukan yang sama di hadapan hukum yang diatur dalam KUHAP tersebut adalah adanya sistem praperadilan sebagai salah satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penyidikan, penuntutan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, baik yang disertai dengan permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi atau pun tidak. Adapun maksud dan tujuan yang hendak ditegakkan dan dilindungi dalam proses praperadilan adalah tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Dengan demikian dibuatnya sistem praperadilan yang diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP adalah untuk kepentingan pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Kehadiran KUHAP dimaksudkan untuk mengoreksi pengalaman praktik peradilan masa lalu, di bawah aturan HIR, yang tidak sejalan dengan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. Selain itu, KUHAP memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia bagi tersangka atau terdakwa untuk membela kepentingannya di dalam proses hukum…”; Dengan pertimbangan di atas, secara implisit Mahkamah sesungguhnya sudah menyatakan pendapatnya bahwa penggeledahan dan penyitaan merupakan bagian dari mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenangwenang dari penyidik atau penuntut umum dan karenanya termasuk dalam ruang lingkup praperadilan. Oleh karena itu, permohonan Pemohon mengenai penggeledahan dan penyitaan beralasan menurut hukum;
  2. Adapun mengenai pemeriksaan surat seperti yang didalilkan Pemohon agar masuk dalam ruang lingkup kewenangan pranata praperadilan, menurut Mahkamah, pemeriksaan surat tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tindakan penggeledahan dan penyitaan, sehingga pertimbangan Mahkamah pada angka 2 di atas berlaku pula terhadap dalil Pemohon a quo.

Amar Putusan

Mengadili, 

Menyatakan:

  1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
  1. Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
  2. Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
  3. Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;
  4. Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;
  1. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
  2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

 

Dengan demikian, dapat diketahui diputuskannya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan adalah suatu perluasan objek praperadilan untuk melindungi setiap individu warga negara terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara, khususnya lembaga penegak hukum, sehingga merugikan hak-hak fundamental individu-individu warga negara dari kesewenang-wenangan negara dalam rangka mewujudkan perlindungan dan pemajuan serta penghormatan terhadap HAM. Penetapan tersangka sebagai objek praperadilan sebagai bentuk pengawasan dan mekanisme kontrol terhadap proses penegakan hukum yang terkait erat dengan jaminan perlindungan HAM dengan penegasan bahwa sistem yang dianut KUHAP adalah akusatur, yaitu tersangka diposisikan sebagai subjek manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama dimata hukum, dengan asas due process of law sebagai salah satu perwujudan pengakuan HAM.

 

Penulis: Rizky Pratama J., S.H.

 

Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan;Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan; Perluasan Objek Praperadilan;

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.