Perlindungan Bagi Whistle Blower

Pembahasan mengenai whistle blower merupakan pembahasan yang menarik terutama dari segi konsepsinya. Terminologi whistle blower sendiri berasal dari Bahasa Inggris yang berarti “peniup peluit”, hal ini dikarenakan whistle blower dianalogikan sebagai wasit dalam suatu pertandingan olahraga yang meniup peluit sebagai tanda telah terjadinya pelanggaran. Sedangkan dalam konteks hukum, whistle blower diartikan sebagai orang yang mengungkapkan fakta kepada publik terkait adanya suatu skandal, tindakan-tindakan yang sifatnya berbahaya, malpraktik atau korupsi serta tindak pidana lainnya (Pelapor).[1]

Terminologi Pelapor sebenarnya secara abstrak telah ada dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana namun tidak diposisikan sebagai subjek hukum, melainkan sebagai obyek hukum yang disebut dengan Laporan. Terminologi Whistle Blower mulai disebutkan lebih jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian diikuti dengan beberapa aturan sebagai berikut:

  1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Dalam ketentuan ini, Pelapor diartikan sebagai orang yang memberi informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

 

  1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK)

Dalam ketentuan ini, yang dimaksud dengan Pelapor adalah orang yang memberikan laporan, informasi, atau keterangan kepada penegak hukum mengenai tindak pidana yang akan, sedang, atau telah terjadi, yang mana tindak pidana yang dimaksud dalam pasal ini adalah tindak pidana dalam kasus tertentu.

 

  1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia

Dalam ketentuan ini, Pelapor diartikan sebagai warga negara Indonesia atau penduduk yang memberikan Laporan kepada Ombudsman

 

  1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Dalam undang-undang ini, Pihak Pelapor adalah Setiap Orang yang menurut Undang-Undang ini wajib menyampaikan laporan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

 

  1. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Dalam peraturan ini, mengartikan Pelapor sebagai orang yang memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau Komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 24 KUHAP.

 

  1. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang

Yang dimaksud Pelapor dalam peraturan ini adalah setiap orang yang karena kewajibannya berdasarkan peraturan perundang-undangan menyampaikan laporan kepada PPATK tentang Transaksi Keuangan Mencurigakan atau Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai sebagaimana dimaksud dalam undang-undang atau secara sukarela melaporkan kepada penyidik tentang adanya dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam undang-undang.

 

  1. Peraturan Bersama Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia Nomor: M.HH-11.HM.03.02.Th.2011, Nomor: PER-045/A/JA/12/2011, Nomor: 1 Tahun 2011, Nomor: KEPB-02/01- 55/12/2011, dan Nomor: 4 Tahun 2011 Tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama

Dalam peraturan ini, Pelapor adalah orang yang mengetahui dan memberikan laporan serta informasi tentang terjadinya atau akan terjadinya suatu tindak pidana tertentu kepada penegak hukum dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya.

 

  1. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu

Dalam Surat Edaran ini, yang dimaksud dengan Pelapor Tindak Pidana adalah pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya, yang mana tindak pidana tertentu yang bersifat serius adalah tindak pidana seperti tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir.

Secara garis besar, aturan-aturan tersebut memaknai Pelapor sebagai seorang yang mengetahui dan memberikan laporan atau informasi terkait tindak pidana tertentu yang bersifat serius seperti tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir dan melaporkannya kepada penegak hukum atau pejabat yang berwenang. Pelapor dapat menjadi seorang saksi apabila terhadap informasi tersebut diketahui, dilihat, dan dialami sendiri secara langsung.

Pada praktiknya, Whistle Blower seringkali digunakan dalam mengungkap tindak pidana korupsi. Dengan adanya peran Whistle Blower, hal ini akan memudahkan kinerja aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi. Komariah E. Sapardjaja mengatakan bahwa, peran whistle blower sangat penting dan diperlukan dalam rangka proses pemberantasan tindak pidana korupsi, asal bukan suatu isu bagi pengungkapan korupsi maupun mafia peradilan. Seseorang dapat dikatakan Whistle Blower apabila yang dilaporkan benar-benar didukung oleh fakta konkret, bukan semacam rumor.[2]

Para Whistle Blower sangat rentan akan intimidasi dan ancaman bahkan cenderung menjadi sasaran laporan dan tuntutan tindak pidana pencemaran nama baik, padahal mereka ini adalah kunci dari pemberantasan korupsi. Hal ini adalah wajar karena eksistensi Whistle Blower kurang mendapatkan perlindungan dalam sistem peradilan pidana. Meski demikian, dalam Pasal 5 Ayat (3) UU PSK, Pelapor memiliki beberapa hak sebagai berikut:

  1. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
  2. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
  3. memberikan keterangan tanpa tekanan;
  4. mendapat penerjemah;
  5. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
  6. mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
  7. mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
  8. mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
  9. dirahasiakan identitasnya;
  10. mendapat identitas baru;
  11. mendapat tempat kediaman sementara;
  12. mendapat tempat kediaman baru;
  13. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
  14. mendapat nasihat hukum;
  15. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir; dan/atau
  16. mendapat pendampingan.

Dengan demikian, jelas terlihat bahwa keberadaan Whistle Blower dalam beberapa aturan di Indonesia, secara garis besar mengonsepkan Pelapor sebagai seorang yang mengetahui dan memberikan laporan atau informasi suatu peristiwa tindak pidana tertentu yang bersifat serius dan terorganisir kepada penegak hukum atau pejabat yang berwenang. Peran Whistle Blower seringkali ditemukan dalam mengungkap tindak pidana korupsi. Meski akrab dengan ancaman, UU PSK dan beberapa aturan lainnya memberikan perlindungan terhadap Whistle Blower.

Penulis: Rizky P.J.

Editor: R. Putri J. & Mirna R.

 

[1] Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime, Alumni, Bandung: 2015, hlm. 1

[2] Mardjono Reksodipuro, Pembocor Rahasia/Whistleblower Dalam Menanggulangi Kejahatan Di Indonesia, Wacana Goverminyboard, Jakarta, 2012, hlm. 13.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.