Perlawanan Atas Eksekusi
Eksekusi sebagai salah satu tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara dan memiliki peran yang sangat penting bagi sempurnanya proses peradilan perdata yang membutuhkan pelaksanaan putusan secara paksa. Eksekusi termasuk dalam tata tertib beracara yang diatur dalam Het Heterziene Inlandsch Reglement (HIR) atau Rechtsreglement Buitengewesten (RBg). Jika pihak yang kalah tidak kunjung melaksanakan isi putusan secara sukarela, maka pihak yang dimenangkan dapat mengajukan permohonan eksekusi terhadap putusan tersebut kepada pengadilan tingkat pertama yang memutus perkara tersebut. Hasil dari permohonan tersebut adalah penetapan eksekusi. Pihak yang tidak menerima atau dirugikan atas adanya penetapan tersebut dapat mengajukan perlawanan.
Dalam hukum acara perdata Indonesia dimungkinkan bagi pihak ketiga yang kepentingannya dilanggar untuk melakukan perlawanan atau bantahan atas penetapan eksekutorial. Adapun perlawanan atau bantahan dari pihak ketiga dalam hukum acara perdata disebut dengan istilah verzet yang diartikan perlawanan. Pasal 195 ayat (6) HIR, berbunyi:
- Perlawanan terhadap keputusan, juga dari orang lain yang menyatakan bahwa barang yang di sita miliknya, dihadapkan serta diadili seperti segala perselisihan tentang upaya paksa yang diperintahkan oleh pengadilan negeri, yang dalam daerah hukumnya terjadi keputusan itu
Frasa “Perlawanan terhadap keputusan, juga dari orang lain yang menyatakan bahwa barang yang di sita miliknya” artinya pelaksanaan putusan itu dilawan oleh orang lain yang mengakui barang yang disita itu sebagai miliknya. Suatu putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan memerintahkan panitera atau juru sita untuk melaksanakan sita eksekusi terhadap benda milik pihak yang dikalahkan, merupakan alasan bagi pihak ketiga untuk mengajukan gugatan perlawanan karena pihak ketiga menyatakan benda yang dijadikan obyek sita eksekutorial tadi dinyatakan sebagai barang miliknya dan bukan milik pihak yang dikalahkan dalam perkara semula.
Pihak ketiga tersebut mempunyai hak untuk melakukan perlawanan apabila dinilai pelaksanaan isi putusan hakim yang memerintahkan sita eksekusi terhadap obyek milik pihak ketiga tersebut telah merugikan ataupun telah melanggar hak dan kepentingannya.[1] Sita eksekutorial merupakan penyitaan yang semata-mata untuk melaksanakan putusan atau eksekusi pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap atau (inkracht). Pihak yang dirugikan disini adalah pihak ketiga. Pasal 207 HIR yang mengatur terkait perlawanan atas pelaksanaan putusan, menyatakan bahwa:
- Perlawanan debitur terhadap pelaksanaan keputusan, baik dalam hal disitanya barang tak bergerak maupun dalam hal disitanya barang bergerak, harus diberitahukan oleh orang itu dengan surat atau dengan lisa kepada ketua pengadilan negeri tersebut pada pasal 195 ayat (6); jika perlawanan itu diberitahukan dengan lisan, maka ketua wajib mencatatnya atau menyuruh mencatatnya;
- Kemudian perkara itu oleh ketua pada persidangan yang pertama sesudah itu, supaya diputuskan sesudah kedua belah pihak diperiksa atau dipanggil dengan sah;
- Perlawanan itu tidak dapat menahan orang memulai atau meneruskan pelaksanaan keputusan itu, kecuali jika ketua memberi perintah, supaya hal itu ditangguhkan sampai pengadilan negeri mengambil keputusan.
Ketentuan tersebut mengharuskan gugatan perlawanan diperiksa terlebih dahulu oleh Pengadilan. Berdasarkan pertimbanga Ketua Pengadilan Negeri yang menjabat saat perlawanan diajukan, memiliki kewenangan untuk mengabulkan penundaan eksekusi sampai putusan perlawanan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Proses pemeriksaan perlawanan sengketa perdata sama dengan proses pemeriksaan pada suatu gugatan. Perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan, yaitu sita conservatoir dan sita revindicatoir, tidak diatur baik dalam HIR, RBg atau RV, namun dalam praktek menurut Yurisprudensi, perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga selaku pemilik barang yang disita dapat diterima, juga dalam hal sita conservatoir ini belum disahkan.[2]
Dalam praktik hukum acara perdata, gugatan perlawanan pihak berperkara harus memenuhi syarat formil sebagaimana yang diatur dalam Pasal 224 HIR, yang berbunyi:
“Grosse dari akta hipotik dan surat hutang yang dibuat di hadapan Notaris di Indonesia dan yang kepalanya berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa” berkekuatan sama dengan keputusan hakim. Jika tidak dengan jalan damai, maka surat demikian dijalankan dengan perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri, yang dalam daerah hukumnya tempat diam atau tempat tinggal debitur itu atau tempat kedudukan yang dipilihnya, yaitu menurut cara yang dinyatakan pada Pasal-Pasal yang lalu dalam bagian ini, tetapi dengan pengertian bahwa paksaan badan hanya boleh dilakukan, jika sudah dengan keputusan hakim. Jika keputusan hakim itu harus dilaksanakan seluruhnya atau sebagian di luar daerah hukum Pengadilan Negeri yang memerintahkan pelaksanaan keputusan itu, maka haruslah dituruti peraturan Pasal 195 ayat (2) dan seterusnya.”
Ketentuan Pasal 224 HIR ini memberikan hak kepada pihak tereksekusi mengajukan gugatan perlawanan terhadap pelaksanaan eksekusi mengenai keabsahan formal dan alasan materil. Berdasarkan kedua alasan ini yakni keabsahan formal dan alasan materil, pihak tereksekusi dapat mengajukan gugatan perlawanan dengan tuntutan agar putusan objek eksekusi ditolak eksekusinya atau dinyatakan tidak dapat dieksekusi (non-executable).[3]
Perlu diketahui bahwa penggunaan gugatan perlawanan oleh pihak tereksekusi (partij verzet) dalam praktik tidak selamanya akan dikabulkan pengadilan/ hakim, tetapi tergantung dari bagaimana pelawan dapat mengajukan pertimbangan/dalil-dalil hukum yang menguatkan tuntutannya. Bagian yang sangat penting untuk dijadikan dasar pengajuan gugatan perlawanan adalah harus berkaitan dengan alasan-alasan sebagai berikut:
- Eksekusi / sita eksekusi yang dijalankan melampaui amar putusan yang bersangkutan.
- Eksekusi / sita eksekusi yang dijalankan tidak sesuai dengan amar putusan itu.
- Eksekusi / sita eksekusi yang dijalankan bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum.[4]
Pada hakikatnya menurut M Yahya Harahap, landasan eksekusi merujuk kepada amar (diktum) putusan pengadilan. Hal ini merupakan azas yang harus ditaati semua pihak, eksekusi yang hendak dijalankan pengadilan tidak boleh menyimpang dari amar putusan supaya eksekusi yang dijalankan tidak melampaui batas kewenangan. Ketika eksekusi melampaui batas kewenangan bisa membawa kerugian baik bagi pihak tereksekusi maupun bagi pihak pemohon eksekusi. Bagi pihak tereksekusi bisa saja harta kekayaan yang tidak termasuk dalam sengketa ikut disita dan bagi pemohon eksekusi bisa saja tidak mendapatkan apa yang seharusnya menjadi objek eksekusi.[5]
[1] Piere Louis Karinda, Rudy H. Walukow & Mercy Maria Magdalena Setlight, Suatu Tinjauan Tentang Perlawanan (Verzet) Dalam Perkara Perdata, Lex Privatum Vol. VIII/No. 4/Okt-Des/2020
[2] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta. 2009, hlm. 39
[3] Piere Louis Karinda, Rudy H. Walukow & Mercy Maria Magdalena Setlight, Op.Cit
[4] Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 442/PDT.G.PLW/2014/PN.Jkt.Pst.
[5] M. Yahya Harahap. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Edisi Kedua, Sinar Grafika. Jakarta, 2005, hlm. 390
Penulis: Rizky. P.J
Editor : R. Putri. J & Mirna R
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanGaji 5 Juta Pajak 5%
Mendekati Batas Waktu Inkonstitusional Bersyarat UU Cipta Kerja, Terbitlah...
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.