Perkawinan Beda Agama Diijinkan Oleh Pengadilan Negeri Surabaya
Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, mengeluarkan putusan yang membolehkan dua pasangan sejoli yang berbeda agama untuk menikah. Sebelumnya, diketahui bahwa pasangan kekasih tersebut telah menikah pada Maret 2022, namun pencatatan pernikahan tersebut ditolak oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Surabaya dengan alasan adanya perbedaan agama pada pasangan tersebut[1]. Pernikahan tersebut antara RA pengantin pria yang beragama Islam dan EDS pengantin wanita yang beragama Kristen, keduanya sudah melangsungkan pernikahan dengan persetujuan keluarga dan menggunakan cara agama mereka masing-masing[2]. Karena pernikahan tersebut ditolak Disdukcapil, kemudian pasangan kekasih ini mengajukan penetapan di PN Surabaya agar mereka diizinkan melakukan pernikahan meskipun terdapat perbedaan agama. Permohonan pernikahan beda agama ke PN Surabaya tersebut mereka ajukan tanggal 13 April 2022 lalu. Kemudian, permohonan mereka dikabulkan oleh hakim tunggal Imam Supriyadi pada 26 April 2022. Dengan Nomor penetapan 916/Pdt.P/2022/PN Sby[3].
Perkawinan yang dalam istilah agama disebut “Nikah” ialah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan di antara seorang pria dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah[4]. Pengertian Perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan selanjutnya disebut (UU Perkawinan) adalah sebuah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal yang didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa[5]. Yang menjadi dasar hukum perkawinan di Indonesia adalah :
- UUD 1945 Pasal 28B Ayat 1, yang mengatur hak seseorang untuk melakukan pernikahan dan melanjutkan keturunan
- Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
- Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991 dan diantisipasi secara Organik oleh keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 atau disebut juga kompilasi hukum islam.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Dalam Pasal 2 ayat (1 dan 2) UU Perkawinan dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
Pada dasarnya hukum positif kita mengenal adanya Perkawinan Campuran sebagaimana Pasal 57 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa:
“Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”
- Ini berbeda sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 Ayat (2) Reglement op de Gemengde Huwelijken (G.H.R) yaitu:
“Perbedaan agama, golongan penduduk atau asal usul tidak dapat merupakan halangan pelangsungan perkawinan.”
- Namun untuk ketentuan pasal 7 ayat (2) G.H.R sudah tidak berlaku, hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 66 UU No 1/1974:
“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yg berhubungan dengan perkawinan berdasarkan undang-undang ini, dengan berlakunya undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam BW, HOCI, GHR, yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur oleh undang-undang ini dinyatakan dinyatakan tidak berlaku.”
- Dalam ketentuan Pasal 40 Huruf C Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyebutkan:
“Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: seorang wanita yang tidak beragama islam,”
Oleh karena itu, perkawinan tersebut tidak bisa dilakukan dan didaftarkan secara Islam, yaitu di Kantor Urusan Agama (KUA) sebagaimana ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk dan yang dapat dilakukan hanyalah mencatatkan perkawinan tersebut di catatan sipil, sebagaimana pendudukan non-muslim lainnya.
Berbeda dengan isi dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan pada ketentuan
- Pasal 34 UU Adminduk menyatakan:
“Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.”
- Selanjutnya, Pasal 35 huruf a UU Adminduk menyatakan:
“Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi: perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan,”
- Penjelasan Pasal 35 huruf a UU Adminduk menyatakan:
“Yang dimaksud dengan “Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.”
Ketika Pasal 34, Pasal 35 huruf a, dan Penjelasan Pasal 35 huruf a UU Adminduk dibaca bersamaan, maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan beda agama dan kepercayaan adalah perkawinan yang “sah” sehingga dapat dicatatkan, sepanjang dilakukan dengan penetapan pengadilan.
Pernikahan yang dilarang menurut perspektif Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa larangan kawin diantaranya, yaitu pertalian nasab atau garis keturunan, pertalian kerabat, pertalian persusuan, pertalian nasab dengan perempuan yang telah dinikahinya (pasal 8 dan 9 UU Perkawina, pasal 39 dan 41 KHI). Bagi laki-laki tidak boleh memiliki istri lebih dari empat, sesuai dengan ajaran Islam yang dimuat dalam pasal 42 KHI. Pasal 43 KHI menjelaskan larangan terhadap isteri yang telah ditalak tiga dan di li’an, yang artinya istri tidak diperbolehkan melaksanakan pernikahan ketika istri sudah di talak tiga oleh suaminya, dan pasal 44 KHI menjelaskan bahwa seorang wanita dilarang melangsungkan pernikahan dengan seorang laki-laki yang bukan beragama Islam (non muslim). Dapat disimpulkan bahwa Bahwa Indonesia memiliki masyarakat yang plural sehingga perkawinan beda agama dan kepercayaan merupakan suatu peristiwa yang sangat mungkin terjadi. Akan tetapi, satu-satunya undang-undang yang mengatur mengenai perkawinan, yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 1/1974 tidak secara tegas mengatur mengenai perkawinan beda agama dan kepercayaan sehingga terjadi kekosongan hukum sehingga perlu dilakukan suatu penemuan hukum oleh hakim.[6] Wahyono Darmabrata mencatat ada empat cara yang lazim ditempuh pasangan beda agama yang akan menikah yaitu sebagai berikut[7] :
- Meminta penetapan pengadilan terlebih dahulu. Atas dasar penetapan itulah pasangan melangsungkan pernikahan di Kantor Catatan Sipil. Tetapi cara ini tak bisa lagi dilaksanakan sejak terbitnya Keppres No.12 Tahun 1983.
- Perkawinan dilangsungkan menurut hukum masing-masing agama. Perkawinan terlebih dahulu dilaksanakanya menurut hukum agama salah seorang mempelai (bisanya suami), baru disusul pernikahan menurut hukum agama mempelai berikutnya. Permasalahanya perkawinan mana yang dianggap sah. Jika perkawinan menurut hukum yang kedua (terakhir) menjadi persoalan kembali tentang status perkawinan pertama.
- Kedua pasangan menentukan pilihan hukum. Salah satu pandangan menyatakan tunduk pada hukum pasagannya. Dengan cara ini, salah seorang pasangan ‘berpindah agama’ sebagai bentuk patuh terhadap hukum.
- Yang sering dipakai belakangan adalah melangsungkan perkawinan di luar negeri. Beberapa artis tercatat memilih cara ini sebagai upaya menyiasati susahnya kawin beda agama di Indonesia
Humas PN Surabaya Gede Agung menjelaskan, calon pengantin yang berbeda agama harus mengajukan permohonan pencatatan pernikahan ke PN Surabaya. Menurut Gede, Kantor Urusan Agama (KUA) tidak bisa mengabulkan permohonan nikah beda agama, maka dari itu calon pengantin yang berbeda agama wajib mengajukan permohonan terlebih dahulu ke pengadilan dan kemudian pengadilan akan memberikan putusan agar pernikahan tersebut tercatat dicatatan sipil dengan dasar putusan pengadilan.[8] Sehingga pernikahan tersebut sah secara hukum. Dalam Putusan PN Surabaya tersebut adanya alasan Imam Supriyadi (Hakim PN Surabaya) membolehkan kedua pasangan beda agama itu menikah adalah sebagai berikut:[9]
- Menimbang, bahwa perbedaan agama tidak merupakan larangan untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan dan merujuk pada ketentuan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, maka terkait dengan masalah perkawinan beda agama adalah menjadi wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutusnya;
- Menimbang, bahwa dari fakta yuridis tersebut di atas bahwa Pemohon I memeluk agama Islam, sedangkan Pemohon II memeluk agama Kristen adalah mempunyai hak untuk mempertahankan keyakinan agamanya, yang dalam hal untuk bermaksud akan melangsungkan perkawinannya untuk membentuk rumah tangga yang dilakukan oleh calon mempelai (Para Pemohon) yang berbeda agama tersebut, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan memeluk keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
- Menimbang, bahwa selain itu berdasarkan Pasal 28 B ayat 1 UUD 1945 ditegaskan, setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, di mana ketentuan ini pun sejalan dengan Pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh Negara kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing;
- Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan para saksi dan surat bukti telah diperoleh fakta-fakta yuridis bahwa Para Pemohon sendiri sudah saling mencintai dan bersepakat untuk melanjutkan hubungan mereka dalam perkawinan, di mana keinginan Para Pemohon tersebut telah mendapat restu dari kedua orang tua Para Pemohon masing-masing;
- Menimbang, bahwa oleh karena pada dasarnya keinginan Para Pemohon untuk melangsungkan perkawinan dengan berbeda agama tidaklah merupakan larangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dan mengingat pembentukan suatu rumah tangga melalui perkawinan adalah merupakan hak asasi Para Pemohon sebagai warga negara serta hak asasi Para Pemohon untuk tetap mempertahankan agamanya masing-masing, maka ketentuan dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang sahnya suatu perkawinan apabila dilakukan menurut tata cara agama atau kepercayaan yang dianut oleh calon pasangan suami istri yang in casu hal ini tidak mungkin dilakukan oleh Para Pemohon yang memiliki perbedaan Agama;
- Menimbang, bahwa tentang tata cara perkawinan menurut Agama dan Kepercayaan yang tidak mungkin dilakukan oleh Para Pemohon karena adanya perbedaan agama, maka ketentuan dalam Pasal 10 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 memberikan kemungkinan dapat dilaksanakannya perkawinan tersebut, di mana dalam ketentuan Pasal 10 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 ditegaskan “dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat dengan dihadiri 2 (dua) orang saksi”;
- Menimbang, bahwa dari fakta yuridis yang terungkap di persidangan bahwa Para Pemohon telah bersepakat dan telah mendapat persetujuan dan ijin dari kedua orang tuanya mereka bahwa proses perkawinannya di hadapan pejabat Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya dan selanjutnya mereka telah sepakat untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke- Tuhanan Yang Maha Esa, maka Hakim Pengadilan menganggap Para Pemohon melepaskan keyakinan agamanya yang melarang adanya perkawinan beda agama ;
- Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan tersebut di atas, maka Hakim dapat memberikan izin kepada Para Pemohon untuk melangsungkan perkawinan antara Pemohon I yang beragama Islam dengan Pemohon II yang beragama Kristen di hadapan Pejabat pada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya, dan oleh karena itu Permohonan Para Pemohon secara hukum beralasan dikabulkan. Selanjutnya kepada Pegawai Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya untuk mencatat perkawinan Para Pemohon dalam Register Perkawinan setelah dipenuhi syarat- syarat perkawinan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Menimbang, bahwa oleh karena Permohonan dari Para Pemohon dikabulkan, maka segala biaya yang timbul dalam permohonan ini wajib dibebankan kepada Para Pemohon yang jumlahnya akan disebutkan dalam amar penetapan ini;
- Mengingat dan memperhatikan ketentuan pasal-pasal undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan serta ketentuan Peraturan perundang-undangan lainnya yang bersangkutan;
[1] https://www.sinergianews.com/read/38155/alasan-pn-surabaya-berikan-izin-warga-menikah-beda-agama-ungkap-sudah-dicatat
[2] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220621142844-12-811662/kronologi-pn-surabaya-kabulkan-permohonan-pernikahan-beda-agama
[3] https://www.jawapos.com/surabaya/21/06/2022/pengadilan-negeri-surabaya-izinkan-pernikahan-beda-agama/
[4] http://www.pengertianpakar.com/2015/03/pengertian-dan-tujuan-pernikahanperkawinan.html
[5] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
[6] https://www.kompasiana.com/zefilosofi/6234502cbb448614887a5196/pro-kontra-perkawinan-beda-agama-begini-aturannya?page=all&page_images=1
[7] Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan beserta Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaanya, CV. Gitama Jaya, Jakarta, 2003,
[8] https://xnews.id/2022/06/21/kanal/news/pengadilan-negeri-surabaya-izinkan-pernikahan-beda-agama/
[9] https://news.detik.com/berita/d-6136422/pn-surabaya-izinkan-pernikahan-beda-agama-pasangan-islam-kristen-ini
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanForce Majeure dan Hardship
Penyelenggaraan Klub Belajar Bersama Persiapan UPA
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.