Perkara Salah Tangkap di Tasikmalaya

Seorang pria di Tasikmalaya bernama Dani Susanda diduga menjadi korban ­salah tangkap dan penyiksaan oleh kepolisian.[1] Kasus tersebut bermula ketika terjadi pembunuhan terhadap Ai Cucu dan Eulis Ristiana pada tanggal 9 Desember 2014 yang kemudian menyeret Dani Susanda sebagai terdakwa atas kasus tersebut. Pada hari Selasa, 6 April 2021 Dani menceritakan kembali kronologi kasus tersebut. Pada hari Rabu, tanggal 12 November 2014, Polisi mendatangi kediaman Dani Susanda untuk meminta keterangan atas kasus pembunuhan yang terjadi pada Ai Cucu dan Eulis Ristiana. Kemudian Polisi meminta Dani Susanda ikut serta dengan mereka dan membawa Dani dan istrinya ke Hotel Pajajaran, Tasikmalaya.[2] Setelah 20 menit di Hotel, Dani Susanda dipisahkan dari istrinya kemudian dibawa ke Polsek Kawalu.[3] Sesampainya di Polsek Kawalu, Dani dibawa kebagian belakang kantor, dimana disana terdapat Indra Graha yang merupakan tersangka yang ditangkap terlebih dahulu karena terbukti membawa mobil Ai. Dani Susanda diseret sebagai tersangka karena Indra Graha menyatakan bahwa Dani Susanda yang menjadi otak pembunuhan terhadap Ai Cucu dan Eulis Ristiana, yang mana menurut Dani Susanda ia tidak mengenal Indra Graha.[4] Dani membantah hal tersebut, namun Polisi kemudian menyeretnya ke ruangan dan menyuruh Dani untuk mengaku. Namun, ketika Dani Susanda membantah, Dani Susanda dicekik oleh Polisi yang bertugas.[5] Kemudian Dani Susanda dibawa ke Polsek Indihiang dan ditahan. Kemudian pada pukul 12 malam Dani Susanda dijemput oleh segerombolan Polisi dan membawa kantong mayat, dengan tangan diborgol dan mata ditutup lakban Dani Susanda dimasukkan ke kantong tersebut dan diseret ke dalam mobil.[6] Dani Susanda menjadi tersangka atas kasus tersebut berdasarkan bukti pengakuan pemaksaan yang dilakukan oleh Polisi dan sidik jari yang ditemukan pada Tempat Kejadian Perkara (TKP), yang hal ini menurut Komisi Untuk Orang Hilang dan Kekerasan (Kontras) diduga sebagai rekayasa seolah-olah Dani Susanda berada ditempat kejadian.[7] Singkat cerita atas kasus tersebut Dani Susanda menjadi terdakwa kasus pembunuhan tersebut, namun divonis bebas di Pengadilan Negeri (PN) Tasikmalaya, akan tetapi pada tingkat kasasi Dani Susanda divonis 12 tahun penjara.[8]

Berdasarkan kasus tersebut, berikut akan kami uraikan tata cara proses penyidikan dan penyelidikan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) menyatakan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Sedangkan penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) KUHAP penyelidik memiliki wewenang sebagai berikut :

    1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
    2. mencari keterangan dan barang bukti;
    3. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
    4. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung-jawab.

Sedangkan penyidik memiliki wewenang sebagaimana ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP diantaranya, yaitu :

    1. menerima-laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
    2. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
    3. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
    4. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
    5. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
    6. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
    7. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
    8. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
    9. mengadakan penghentian penyidikan;
    10. mengadakan tindakan hlain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Pasal 7 ayat (3) KUHAP menyatakan bahwa dalam melakukan tugasnya penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku. Adapun untuk menetapkan sebagai tersangka tersangka harus didasarkan pada 2 (dua) alat bukti yang cukup sebagaimana ketentuan dalam Pasal 66 ayat (1) Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia (selanjutnya disebut Perkap 12/2009) juncto Pasal 25 ayat (1) Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana (selanjutnya disebut Perkap 6/2019) serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.

Sedangkan seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam menjalani proses pemeriksaan dalam tahap penyelidikan dan penyidikan memiliki hak-hak sebagaimana diuraikan dalam ketentuan Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 KUHAP, termasuk pula hak untuk melakukan pembelaan. Pasal 51 huruf a KUHAP menyatakan bahwa :

“Untuk mempersiapkan pembelaan :

    1. Tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai;”

Dijelaskan pula bahwa dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan, tersangka berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik sebagaimana ketentuan dalam Pasal 52 KUHAP. Serta dijelaskan dalam ketentuan Pasal 54 KUHAP bahwa guna kepentingan pembelaan tersangka berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap pemeriksaan dan terdakwa berhak memilih sendiri penasehat hukumnya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 55 KUHAP. Berdasarkan ketentuan tersebut, seharusnya Dani Susanda selaku tersangka, dalam proses pemeriksaannya berhak mendapatkan bantuan hukum dan/atau memilih penasehat hukumnya. Terlebih lagi tindak pidana yang dituduhkan kepada Dani Susanda adalah tindak pidana pembunuhan yang ancaman pidana terhadapnya yaitu 15 (lima belas) tahun penjara sebagaimana ketentuan dalam Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dimana berdasarkan ketentuan dalam Pasal 56 KUHAP tersangka yang diancam pidana 15 (lima belas) tahun yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, wajib ditunjuk penasehat hukum untuknya oleh  pejabat yang bersangkutan pada setiap pemeriksaan. Secara jelas ketentuan dalam Pasal 56 KUHAP menyatakan sebagai berikut :

    1. Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka;
    2. Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.

Berdasarkan hal tersebut, maka seharusnya Polisi selaku pihak yang bertugas dalam penyelidikan dan penyidikan wajib menunjuk penasehat hukum untuk Dani Susanda apabila Dani Susanda tidak memiliki penasehat hukumnya sendiri. Selanjutnya, berdasarkan penuturan Dani Susanda yang mengatakan bahwa ia dicekik oleh Polisi ketika membantah untuk mengakui perbuatan pembunuhan, maka perbuatan Polisi tersebut telah menyalahi hukum dan membungkam hak tersangka dalam memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik sebagaimana ketentuan dalam Pasal 52 KUHAP. Kemudian, Dani Susanda yang dipisahkan begitu saja dari istrinya, seharusnya Dani Susanda diberitahukan dulu terkait apa-apa yang disangkakan padanya sebelum ia ditetapkan sebagai tersangka sebagaimana ketentuan dalam Pasal 75 ayat (1) KUHAP.

Apabila dalam kasus tersebut pada akhirnya terbukti bahwa Polisi salah tangkap terhadap Dani Susanda, maka Dani Susanda berhak mendapatkan ganti kerugian sebagaimana  ketentuan dalam Pasal 95 KUHAP yang menyatakan sebagai berikut :

    1. Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan;
    2. Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77;
    3. Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan;
    4. Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat (1) ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan;
    5. Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat (4) mengikuti acara praperadilan.

Apabila Polisi melakukan kesalahan dalam hal penyidikan dan penyidikan, maka Polisi terkait akan dikenakan sanksi kode etik sebagaimana ketentuan dalam Pasal 14 juncto Pasal 21 ayat (1) Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Kepolisian yang menyatakan sebagai berikut :

Pasal 14

Setiap Anggota Polri dalam melaksanakan tugas penegakan hukum sebagai penyelidik, penyidik pembantu, dan penyidik dilarang:

    1. mengabaikan kepentingan pelapor, terlapor, atau pihak lain yang terkait dalam perkara yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    2. menempatkan tersangka di tempat bukan rumah tahanan negara/Polri dan tidak memberitahukan kepada keluarga atau kuasa hukum tersangka;
    3. merekayasa dan memanipulasi perkara yang menjadi tanggung jawabnya dalam rangka penegakan hukum;
    4. merekayasa isi keterangan dalam berita acara pemeriksaan;
    5. melakukan pemeriksaan terhadap seseorang dengan cara memaksa untuk mendapatkan pengakuan;
    6. melakukan penyidikan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan karena adanya campur tangan pihak lain;
    7. menghambat kepentingan pelapor, terlapor, dan pihak terkait lainnya yang sedang berperkara untuk memperoleh haknya dan/atau melaksanakan kewajibannya;
    8. merekayasa status barang bukti sebagai barang temuan atau barang tak bertuan;
    9. menghambat dan menunda-nunda waktu penyerahan barang bukti yang disita kepada pihak yang berhak sebagai akibat dihentikannya penyidikan tindak pidana;
    10. melakukan penghentian atau membuka kembali penyidikan tindak pidana yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    11. melakukan hubungan atau pertemuan secara langsung atau tidak langsung di luar kepentingan dinas dengan pihak-pihak terkait dengan perkara yang sedang ditangani;
    12. melakukan pemeriksaan di luar kantor penyidik kecuali ditentukan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
    13. menangani perkara yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

Pasal 21 ayat (1)

    1. Anggota Polri yang dinyatakan sebagai Pelanggar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dikenakan sanksi Pelanggaran KEPP berupa: perilaku Pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela;
      1. kewajiban Pelanggar untuk meminta maaf secara lisan dihadapan Sidang KKEP dan/atau secara tertulis kepada pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan;
      2. kewajiban Pelanggar untuk mengikuti pembinaan mental kepribadian, kejiwaan, keagamaan dan pengetahuan profesi, sekurang-kurangnya 1 (satu) minggu dan paling lama 1 (satu) bulan;
      3. dipindahtugaskan ke jabatan berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun;
      4. dipindahtugaskan ke fungsi berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun;
      5. dipindahtugaskan ke wilayah berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun; dan/atau
      6. PTDH sebagai anggota Polri.

 

[1] https://nasional.tempo.co/read/1452724/cerita-penyiksaan-oleh-polisi-tasikmalaya-dipukuli-dimasukkan-ke-kantong-mayat

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] https://tirto.id/kontras-polisi-tolak-aduan-rekayasa-kasus-pembunuhan-tasikmalaya-eduM

[8] https://www.voaindonesia.com/a/dugaan-penyiksaan-oleh-polisi-tasikmalaya-kapolri-diminta-turun-tangan/4984573.html

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.