Perjanjian Sepihak
Pada dasarnya perjanjian harus dilakukan oleh satu orang atau lebih yang mengikatkan diri terhadap satu orang lain sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPer). Selain itu, Pasal 1320 KUHPer juga menerangkan mengenai kesepakatan para pihak sebagai salah satu syarat sahnya suatu perjanjian. Berdasarkan hal tersebut, maka perjanjian dapat dilakukan oleh dua orang atau lebih yang memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1320 KUHPer. Namun, dalam prakteknya terdapat perjanjian yang hanya dinyatakan oleh satu pihak. Perjanjian yang hanya dinyatakan oleh salah satu pihak saja disebut sebagai perjanjian sepihak. contohnya yaitu dalam pemberian surat kuasa dan wasiat.
Dalam perjanjian sepihak hanya membebankan prestasi pada satu pihak. Seperti halnya dalam pemberian kuasa, maka berdasarkan surat kuasa pemberi kuasa membebankan prestasi kepada penerima kuasa untuk melakukan sesuatu atas nama diri si pemberi kuasa. Dalam surat kuasa biasanya hanya memuat tanda tangan pemberi kuasa sehingga dapat dikatakan bahwa surat kuasa tersebut merupakan perjanjian sepihak. Namun, hal tersebut tidak berlaku terhadap pemberian kuasa terhadap penerima kuasa yang memiliki hak retensi seperti advokat. Hak retensi adalah hak penerima kuasa untuk menahan suatu barang milik pemberi kuasa, apabila pemberi kuasa belum membayar jasa yang timbul dari pemberian kuasa sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1812 KUHPer. Selain dalam surat kuasa, perjanjian sepihak juga dapat kita ketahui dalam surat wasiat, dimana si pemberi wasiat memberikan sesuatu tanpa harus menunggu persetujuan pihak penerima wasiat.
Terhadap perjanjian sepihak tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hal-hal pembatalannya. Namun, terhadap surat kuasa sebagai salah satu contoh perjanjian sepihak dapat dibatalkan dengan pencabutan kuasa sepihak oleh pemberi kuasa sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1813 dan 1814 KUHPer yang menyatakan :
“Pasal 1813
Pemberian kuasa berakhir:
dengan penarikan kembali kuasa penerima kuasa;
dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh penerima kuasa;
dengan meninggalnya, pengampuan atau pailitnya, baik pemberi kuasa maupun penerima kuasa dengan kawinnya perempuan yang memberikan atau menerima kuasa.
Pasal 1814
Pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya bila hal itu dikehendakinya dan dapat memaksa pemegang kuasa untuk mengembalikan kuasa itu bila ada alasan untuk itu”
penerima kuasa tidak dapat terikat secara langsung dalam pemberian kuasa. Pasal 1792 KUHPer menyatakan bahwa :
“Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa.”
Penerima kuasa dapat menerima atau menolak untuk melakukan kuasa. Kuasa dapat diberikan melalui sebuah akta, surat dibawah tangan, sepucuk surat, ataupun dengan lisan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1793 KUHPer. Pasal 1793 KUHPer juga menyatakan bahwa penerimaan kuasa dapat dilakukan secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa. Apabila penerima kuasa menyetujui pemberian kuasa terhadap dirinya, maka penerima kuasa wajib melaksanakan kuasanya dan bertanggung jawab terhadap kuasa yang diberikan kepada dirinya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1800 KUHPer. Tanggung jawab penerima kuasa bukan hanya terhadap hal yang wajib dilakukannya, tetapi juga terhadap kelalaian-kelalaian dalam menjalankan kuasanya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1801 KUHPer, sehingga penerima kuasa harus didasari itikad baik dalam melaksanakan kuasanya.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaanhukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.