Perjanjian Internasional

Resume

  1. Prinsip Perjanjian Internasional
    1. Prinsip pacta sunt servanda
    2. Prinsip itikad baik (good faith)
  2. Berakhirnya perjanjian Internasional
    1. Dibuat perjanjian internasional baru
    2. Pelanggaran oleh salah satu pihak
    3. Ketidakmungkinan untuk melaksanakan
    4. Terjadinya perubahan keadaan yang fundamental
    5. Putusnya hubungan diplomatik atau konsuler
    6. Bertentangan dengan jus cogens

Masyarakat Internasional telah melakukan hubungan-hubungan internasional dalam bentuk perjanjian-perjanjian sejak lama. Perjanjian-perjanjian internasional tersebut merupakan hukum yang wajib dihormati dan ditaati oleh para pihak yang terkait didalamnya. Pada 6 Desember 1967 Majelis Umum PBB mengeluarkan sebuah Resolusi No. 2287 (XXII) yang menyerukan kepada negara-negara anggotanya agar mengadakan konferensi internasional tentang hukum perjanjian internasional dengan menjadikan Rancangan Naskah Konvensi hasil karya Komisi sebagai landasan pokok pembahasannya. Atas seruan tersebut pada tanggal 26 Maret 1968 diselenggarakan konferensi internasional di Wina (Austria) dan berlanjut lagi dari tanggal 9 April hingga tanggal 22 Mei 1969. Konferensi terakhir inilah yang mengesahkan Draft Article Vienna Convention on the Law of Treaties (selanjutnya disebut Konvensi Wina 1969) yang terdiri dari 85 artikel dan 8 bagian, dan dinyatakan mulai berlaku (enter into force) pada tanggal 27 Januari 1980.[1]

Konvensi Wina 1969 dalam Pasal 1 menentukan bahwa Konvensi hanya berlaku pada perjanjian internasional yang dibuat oleh Negara. Karena perjanjian internasional semakin banyak dibuat, akhirnya timbul usul agar Majelis Umum PBB menugaskan International Law Commission (selanjutnya disebut ILC) untuk membuat draft konvensi yang mengatur tentang perjanjian internasional yang dibuat antar-Negara dan Organisasi Internasional atau antar-Organisasi Internasional (Resolusi Majelis Umum PBB 2501 (XXIV), 12 November 1969). Pada tahun 1982, Majelis Umum PBB dengan Resolusi 37/112 tanggal 16 Desember 1982 memutuskan bahwa suatu konvensi internasional tentang Perjanjian Internasional antara Negara dengan Organisasi Internasional dan antar Organisasi Internasional akan dibuat berdasarkan draft yang dibuat oleh ILC. Konferensi tersebut diadakan di Wina pada tanggal 18 Februari sampai 12 Maret 1986 (selanjutnya disebut Konvensi Wina 1986). Perjanjian Organisasi Internasional dibahas secara tersendiri dengan pertimbangan bahwa Organisasi Internasional mempunyai sifat khusus dibandingkan dengan Negara dalam membuat perjanjian internasional.[2]

Perjanjian Internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional yang merupakan kehendak bersama (kehendak negara) serta untuk tujuan bersama. Menurut Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Hukum Internasional”, Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu. Kemudian perjanjian internasional menurut Pasal 2 ayat (1) Konvensi Wina 1969 adalah suatu persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam satu instrumen atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan apapun namanya. Kelebihan perjanjian internasional dibandingkan dengan sumber hukum internasional lainnya yaitu bentuknya yang tertulis sehingga jelas kepastiannya. Selain itu perjanjian internasional juga merupakan sumber hukum internasional yang dimanfaatkan secara konsisten untuk menunjang hubungan antarnegara.[3] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (selanjutnya disebut UU 24/2000) menyatakan bahwa:

“Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.”

Pada dasarnya perjanjian internasional terbagi dalam dua bentuk, yaitu perjanjian internasional tertulis dan perjanjian internasional tidak tertulis. Perjanjian internasional tertulis merupakan bentuk perjanjian yang secara umum digunakan dalam hukum internasional dan praktik hubungan diplomatik setiap negara di dunia. Perjanjian ini dapat dibedakan ke dalam beberapa macam seperti perjanjian internasional yang berbentuk perjanjian antar negara, perjanjian antar kepala negara, antar pemerintah dan antar kepala negara dan kepala pemerintah. Selain dari perbedaan bentuk tersebut, perjanjian internasional dapat dilihat dari sudut pandang yang membedakan bentuk perjanjian internasional. Bentuk-bentuk tersebut adalah sebagai berikut:[4]

  1. Perjanjian internasional berdasarkan jumlah negara pihak
  2. Perjanjian internasional bilateral (dua negara dan/atau pihak);
  3. Perjanjian internasional multilateral (lebih dari dua negara atau pihak).
  4. Perjanjian internasional berdasarkan kesempatan yang diberikan untuk menjadi negara pihak
  5. Perjanjian internasional khusus (tertutup), merupakan perjanjian internasional yang hanya mengatur kepentingan para pihak yang bersangkutan, dimana pihak ketiga tidak diperkenankan terlibat dalam perjanjian tersebut;
  6. Perjanjian internasional terbuka, pihak ketiga atau negara-negara yang pada awalnya tidak terlibat dalam pembentukan perjanjian internasional terbuka, dapat menyatakan persetujuannya untuk terikat (consent to be bound) dengan perjanjian tersebut di kemudian hari.
  7. Perjanjian internasional berdasarkan kaidah hukumnya

Klasifikasi ini memiliki kaitan erat dengan jenis perjanjian internasional sebelumnya dan membagi perjanjian internasional ke dalam tiga bagian lagi yaitu:

  1. Perjanjian internasional yang melahirkan kaidah hukum khusus yang berlaku bagi para pihak yang terikat;
  2. Perjanjian internasional yang melahirkan kaidah hukum khusus yang berlaku dalam kawasan tertentu; dan
  3. Perjanjian internasional yang melahirkan kaidah hukum khusus yang berlaku umum.
  4. Perjanjian internasional berdasarkan bahasa

Suatu perjanjian internasional dapat dirumuskan dalam satu bahasa atau lebih.

  1. Perjanjian internasional berdasarkan substansi hukum yang dikandungnya
  2. Perjanjian internasional yang seluruh pasalnya merupakan perumusan dari kaidah-kaidah hukum kebiasaan internasional dalam bidang yang bersangkutan;
  3. Perjanjian internasional yang merupakan perumusan atau yang melahirkan kaidah-kaidah hukum internasional yang sama sekali baru dan/atau yang substansinya merupakan perpaduan antara kaidah-kaidah hukum kebiasaan internasional; dan
  4. Perjanjian internasional yang kaidah-kaidah hukum internasionalnya baru sama sekali.
  5. Perjanjian internasional berdasarkan pemrakarsanya
  6. Perjanjian internasional yang kelahiran atau pembentukannya diprakarsai oleh negara atau negara-negara; dan/atau
  7. Perjanjian internasional yang kelahiran atau pembentukannya diprakarsai oleh organisasi internasional.
  8. Perjanjian internasional berdasarkan ruang lingkup berlakunya
  9. Perjanjian internasional khusus;
  10. Perjanjian internasional regional atau kawasan; dan
  11. Perjanjian internasional umum atau universal.

Setiap perjanjian yang dibuat oleh negara-negara harus memperhatikan prinsip-prinsip kesepakatan bebas (fre consent), itikad baik (good faith) dan pacta sunt servanda sebagai rule yang telah diakui secara universal. Pasal 26 Konvensi Wina 1969 pada intinya menyatakan bahwa setiap perjanjian yang berlaku adalah mengikat terhadap para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik (every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith). Berdasarkan bunyi pasal tersebut, dapat dilihat bahwa tersirat dua prinsip penting, yaitu:[5]

  1. Prinsip pacta sunt servanda, merupakan prinsip yang mendasar dalam hukum perjanjian yang membuat negara pihak terikat pada perjanjian;
  2. Prinsip itikad baik (good faith), merupakan persyaratan moral agar perjanjian tersebut dapat dilakukan dengan sungguh-sungguh.

Kedua prinsip perjanjian internasional sebagaimana disebutkan diatas merupakan dasar pokok perjanjian dan telah diakui secara universal, yang merupakan bagian dari prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law).

Setelah membahas mengenai jenis-jenis perjanjian internasional beserta prinsip yang terdapat dalam perjanjian internasional, maka selanjutnya akan dibahas mengenai berakhirnya perjanjian internasional. Pasal 18 UU 24/2000 menyatakan bahwa perjanjian internasional dapat berakhir apabila:

  1. Terdapat kesepakatan pada pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian;
  2. Tujuan perjanjian tersebut telah tercapai;
  3. Terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian;
  4. Salah satu pihak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian;
  5. Dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama;
  6. Muncul norma-norma baru dalam hukum internasional;
  7. Objek perjanjian hilang (dapat terjadi apabila objek dari perjanjian internasional tersebut sudah tidak ada lagi);
  8. Terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional (kepentingan nasional yang dimaksud adalah kepentingan umum atau public interest, perlindungan subjek hukum Republik Indonesia, dan yurisdiksi kedaulatan Republik Indonesia).

Penjelasan Pasal 18 UU 24/2000 menjelaskan bahwa suatu perjanjian internasional dapat berakhir apabila salah satu alasan sebagaimana disebutkan diatas sudah terjadi. Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian internasional akan berakhir pada saat perjanjian internasional tersebut berakhir. Poin-poin sebagaimana disebutkan diatas juga sudah memenuhi pengaturan dari Konvensi Wina 1969, dimana perjanjian internasional dapat dibatalkan sesuai dengan isi perjanjian, atau dapat dibatalkan karena terjadinya pelanggaran ketentuan perjanjian, atau terdapat perubahan yang fundamental.

Berakhirnya suatu perjanjian internasional bisa disebabkan oleh hal-hal tertentu yang muncul dan dianggap menyebabkan perjanjian tersebut tidak sah atau menyebabkan perjanjian tersebut batal dan salah satu atau seluruh pihak tidak dapat melanjutkan perjanjian internasional tersebut, berakhirnya suatu perjanjian bisa disebabkan karena perjanjian itu batal. Pengakhiran eksistensi perjanjian internasional yang diatur dalam Konvensi Wina 1969 antara lain sebagai berikut:[6]

  1. Dibuat perjanjian internasional baru

Pasal 59 ayat (1) mengatur tentang pengakhiran suatu perjanjian internasional yang lama disebabkan karena dibuatnya perjanjian yang baru, dalam hal ini semua negara peserta perjanjian yang lama kemudian membuat perjanjian yang baru dan memang memiliki maksud untuk menggantikan perjanjian yang lama.

  1. Pelanggaran oleh salah satu pihak

Pasal 60 menegaskan bahwa pelanggaran atas substansi perjanjian atau pelanggaran atas perjanjian secara keseluruhan oleh salah satu pihak dapat dijadikan alasan untuk mengakhiri berlakunya perjanjian.

  1. Ketidakmungkinan untuk melaksanakan

Pasal 61 menjelaskan bahwa salah satu pihak dapat mengakhiri berlakunya perjanjian dengan alasan bahwa perjanjian itu sudah tidak mungkin lagi untuk dilaksanakan dan ketidakmungkinan itu sudah bersifat permanen, atau ketidakmungkinan karena rusak atau hilangnya obyek yang diperjanjikan.

  1. Terjadinya perubahan keadaan yang fundamental

Pasal 62 menjelaskan bahwa bila terjadi perubahan keadaan yang fundamental dan terjadi ketika perumusan perjanjian internasional (bukan pada masa berlaku) dapat dijadikan sebuah dasar untuk mengakhiri sebuah perjanjian internasional.

  1. Putusnya hubungan diplomatik atau konsuler

Pasal 63 menjelaskan bahwa apabila sebuah hubungan diplomatik dan konsuler yang dibutuhkan untuk melangsungkan perjanjian internasional tersebut terputus, maka dapat dijadikan alasan untuk mengakhiri perjanjian internasional tersebut.

  1. Bertentangan dengan jus cogens

Pasal 64 menjelaskan bahwa apabila suatu perjanjian isinya bertentangan dengan jus cogens atau norma umum yang diterima oleh masyarakat internasional, maka perjanjian tersebut akan langsung diakhiri.

Konvensi Wina 1969 sebagaimana halnya konvensi lainnya, terdiri atas konsideran dan bagian isi. Disamping itu, terdapat satu annex yang berisi tentang ketentuan Komisi Konsiliasi yang akan menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul. Konsideran keempat konvensi Wina 1969 menyatakan bahwa:

“Affirming that dispute concering treaties, like other international disputes, should be settled by peaceful means and in conformity with the principles of justice and international law”

Pada ketentuan ini masyarakat internasional menghendaki bahwa penyelesaian sengketa sehubungan dengan sengketa internasional akan diselesaikan secara damai sesuai dengan prinsip keadilan dan hukum internasional. Hal ini sesuai pula dengan prinsip yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (3) Piagam PBB prinsip mana yang kemudian dijabarkan dalam Bab VI Piagam PBB tentang penyelesaian sengketa secara damai (Pasal 33-Pasal 38 Piagam PBB). Oleh karena itu, annex dari konvensi ini mengatur tentang adanya Komisi Konsiliasi yang mempunyai wewenang untuk menyelesaikan sengketa yang timbul pada perjanjian internasional.[7]

Konvensi Wina 1969 tidak mencakup perjanjian oral (oral agreement). Perjanjian oral jarang dibuat dalam hubungan antar negara bahkan pada saat sekarang tidak dikenal, tetapi pernah terjadi sengketa antara Denmark dan Finlandia tentang jembatan yang dibangun menyeberangi The Spore Belt (Great Belt) dibuat tahun 1992 hanya dengan percakapan telepon antara Denmark dan Perdana Menteri Finlandia dan disetujui Denmark mengembalikan dengan pembayaran dan Perdana Menteri Finlandia menyetujui untuk tidak membawa sengketanya ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Selain itu ada perjanjian internasional yang diberlakukan pada suatu negara sebagai subjek hukum internasional yang oleh I.M. Sinclair disebut sebagai ratione personae. Sebagai contoh perjanjian alliansi, perjanjian yang membentuk suatu organisasi internasional dan perjanjian untuk menyelesaikan sengketa ke Badan Arbitrase atau Pengadilan Internasional. Kemudian Pasal 35 Piagam PBB menentukan bahwa negara bukan anggota PBB dapat meminta perhatian Dewan Keamanan atau Majelis Umum PBB atas suatu sengketa apabila sebelumnya untuk mengatasi sengketa-sengketa, ia sebagai pihak yang menyatakan bersedia memenuhi kewajiban untuk menerima akibat penyelesaian sengketa menurut Piagam PBB. Pada intinya Pasal 33 Piagam PBB mennetukan bahwa penyelesaian sengketa pertama-tama harus dijalankan dengan cara damai, yaitu dengan perundingan, penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian menurut hukum melalui badan-badan atau pengaturan-pengaturan regional atau dengan cara damai lainnya yang dipilih mereka sendiri.[8]

Jika penyelesaian sengketa antara para pihak tidak mencapai maka dalam waktu 12 (dua belas) bulan setelah tanggal pada waktu penolakan dikemukakan, maka Pasal 66 Piagam PBB mengatur prosedur yang akan ditempuh, antara lain sebagai berikut:[9]

  1. Jika pihak yang bersilisih tentang penerapan atau penafsiran Pasal 53 atau 64 dapat mengajukan permohonan ke Mahkamah Internasional secara tertulis untuk mendapatkan keputusan kecuali jika para pihak setuju untuk menyelesaikan secara arbitrase.
  2. Jika ada perselisihan tentang penerapan atau penafsiran dari pasal-pasal yang lain sebagaimana tersebut didalam Bagian V Konvensi Wina 1969 (bagian yang berkenaan dengan ketidaksahan, pengakhiran dan penundaan berlakunya perjanjian) dapat menggunakan prosedur yang tersebut dalam lampiran (annex) tentang arbitration and conciliation procedures established in publication of articles 66, dengan mengajukan permohonan tentang pertikaian tersebut pada Sekretaris Jenderal PBB. Ketika permohonan telah disampaikan ke Sekretaris Jenderal PBB berdasar Pasal 66, Sekretaris Jenderal PBB akan membawa sengketa tersebut ke komisi konsiliasi.

[1] Fidelia, Syahmin Awaludin Koni dan Dedeng Zawawi. “Analisis Vienna Convention 1969 Mengenai Ketentuan Pembatalan, Pengakhiran dan Penundaan atas Suatu Perjanjian Internasional”. Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 6 (2) Desember 2019.

[2] Sri Setianingsih Suwardi. “Perjanjian Internasional yang Dibuat oleh Organisasi Internasional”. Jurnal Hukum Internasional Vol. 3 No. 4 Juli 2006.

[3] Elfia Farida. “Kewajiban Negara Indonesia Terhadap Perjanjian Internasional yang Telah Diratifikasi”. Administrative Law & Governance Journal Vol. 3 Issue 1, March 2020.

[4] http://repository.unpas.ac.id/27978/5/G.%20BAB%20II.pdf

[5] Op cit. Elfia Farida.

[6] M Wildan Prabawanta. “Penggunaan Kepentingan Nasional dalam Pembatalan Sepihak Perjanjian Internasional”. Skripsi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. 2016

[7] Sri Setianingsih Suwardi dan Ida Kurnia. “Hukum Perjanjian Internasional”. Sinar Grafika: Jakarta Timur. 2019.

[8] Ibid.

[9] Ibid.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.