Perjanjian Diam-Diam

Perjanjian diam-diam atau disebut juga dengan silent agreement merupakan suatu perjanjian yang tidak dinyatakan secara tegas mengenai suatu tindakan yang dilakukan oleh para pihak sebagaimana ketentuan Pasal 1347 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPer) yang menyatakan :

“Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan dalam persetujuan”

Muhammad Syaifuddin dalam bukunya yang berjudul “Hukum Kontrak” membagi 4 (empat) teori terjadinya perjanjian, yaitu :

  1. Teori Pernyataan (Uitings Theorie) menyatakan bahwa kontrak telah lahir pada saat penerimaan atas suatu penawaran ditulis (dinyatakan) oleh pihak yang ditawari;
  2. Teori Mengetahui (Verzendings Theorie) menyatakan bahwa kontrak telah lahir pada saat penerimaan atas penawaran itu dikimkan oleh pihak yang ditawari kepada pihak yang menawarkan;
  3. Teori Pengiriman (Verneming Theorie) menyatakan kontrak lahir pada saat surat jawaban (penerimaan) itu diterima oleh pihak yang menawarkan;
  4. Teori Penerimaan (Onvangs Theorie) menyatakan bahwa kontrak itu lahir pada saat surat penerimaan telah sampai ditempat pihak yang menawarkan, tidak peduli apakah ia mengetahui atau membaca penerimaan tersebut atau tidak.[1]

 

Pada dasarnya suatu perjanjian dianggap sah apabila memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana ketentuan Pasal 1320 KUHPer yaitu adanya kesepakatan dan kecakapan antar pihak, adanya suatu hal tertentu, serta suatu sebab yang tidak terlarang. Berkaitan dengan syarat sahnya perjanjian, perjanjian diam-diam dianggap sah dan membawa akibat yuridis yang berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak sebagaimana yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No. 1284 K/PDT/1998 tertanggal 18 Desember 2000 yang menyatakan:

“Dibenarkan adanya suatu perjanjian yang diucapkan saja atau perjanjan diam-diam atau silent agreement artinya walaupun tidak ada suatu perjanjian namun kenyataan peristiwa tersebut ada maka kenyataan tersebut disebut perjanjian diam-diam”

Berdasarkan hal tersebut, maka asas konsensualitas berlaku mutlak terhadap para pihak sebagaimana pula dinyatakan dalam yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2178 K/PDT/2008 tertanggal 12 September 2009. Asas konsensualitas merupakan kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian. Hal tersebut, juga dinyatakan dalam kaidah hukum Arrest Hoge Raad, H.R. 29 Desember 1939, NJ. 1940, 274 bahwa adanya kesepakatan dalam suatu perjanjian dapat terjadi atas dasar perilaku para pihak, untuk menilai apakah dalam suatu peristiwa tertentu para pihak tersebut secara diam-diam telah memberikan kesepakatannya yang bisa dilihat dari perilaku para pihak dalam perjanjian tersebut.

Salah satu contoh mengenai perjanjian diam-diam yang terjadi di Indonesia yaitu perjanjian distributorship yang dilakukan oleh PT. Dwi Damai dengan PT. Philips Indonesia. Pada awalnya PT. Dwi Damai dan PT. Philips Indonesia melakukan perjanjian secara tertulis dan sah secara hukum yang berlaku hingga 31 Desember 2003. Namun setelah berakhirnya perjanjian tersebut, kedua belah pihak tidak melakukan konfirmasi diantara keduanya untuk memperpanjang atau menghentikan perjanjian.  Disisi lain kedua belah pihak tetap menjalankan segala klausul dalam perjanjian tanpa adanya perpanjangan perjanjian yang dilakukan secara tertulis. Perpanjangan yang dilakukan tanpa konfirmasi tersebut disebut dengan perjanjian diam-diam. Perjanjian diam-diam dilaksanakan dengan baik hingga 9 (sembilan) bulan lewat dari berakhirnya perjanjian tertulis, sebelum akhirnya PT.Philips Indonesia diduga melakukan wanprestasi sehingga diajukannya gugatan oleh PT. Dwi Damai terhadap PT. Philips Indonesia. Terhadap kasus tersebut, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2178 K/PDT/2008, PT. Dwi Damai selaku penggugat memberikan pernyataan sebagai berikut :

“…bahwa setelah berakhirnya masa perjanjian kerja sama distributorship yang dimulai pada tanggal 1 Januari 2002 dan berakhir pada tanggal 31 Desember 2003, kedua belah pihak masih tetap melakukan perbuatan-perbuatan hukum yang dilaksanakan beritikad baik (goeder trouw, bonafide) seperti transaksi-transaksi pemesanan barang, pembayaran dan sebagainya, selayaknya perjanjian yang belum berakhir. Hal ini adalah mencerminkan adanya faktor Simbiosis-mutualistis, yaitu para pihak sama-sama membutuhkan peranan salah satu pihak. Dengan adanya perbuatan hukum yang dilakukan berupa transaksi-transaksi perdagangan biasa, maka secara diam-diam kedua belah pihak telah menyatakan sepakat untuk dan oleh karena itu tunduk dan masuk kepada pembaharuan perjanjian distributorsbip tahap ke-2, yakni sebagaimana yang tercantum dalam Surat Perjanjian (Vide Bukti P-l) bahwa atas kesepakatan kedua belah pihak, perjanjian ini dapat diperbaharui untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun berikutnya yakni sampai dengan tanggal 31 Desember 2006;Dengan kesepakatan diam-diam itu, maka berlaku mutlaklah asas konsensualitas (vide pasal 1320 KUHPerdata) yang merupakan kekuatan Undang-Undang bagi para pihak (vide pasal 1338 KUHPerdata);

Alasan yang dinyatakan PT. Dwi Damai tersebut dinyatakan dapat dibenarkan oleh majelis hakim yang memutus ditingkat kasasi. Kemudian, dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2178 K/PDT/2008 menyatakan sebagai berikut :

    • Bahwa sesuai dengan fakta dipersidangan terbukti tidak ada pemberitahuan dari Tergugat I bahwa perjanjian Distributorship tidak akan dilanjutkan setelah tanggal 31 Desember 2003. Lagi pula terbukti bahwa hubungan dagang antara Penggugat dan Tergugat I terus berlangsung selama 9 (sembilan) bulan setelah lewat Desember 2003;
    • Bahwa dalam paragraph 2 angka 2 perjanjian dirumuskan dalam kalimat negatif sehingga harus dibaca bahwa perjanjian dianggap diperpanjang kecuali salah satu pihak memberitahukan kepada pihak lain bahwa perjanjian tidak diperbaharui 90 (sembilan puluh) hari sebelum habis waktu. Dengan demikian terbukti Tergugat I melakukan perbuatan melawan hukum;

Berdasarkan hal tersebut Mahkamah Agung memutuskan mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian dengan menyatakan bahwa PT. Philips Indonesia melakukan perbuatan melawan hukum dan ingkar janji (wanprestasi) terhadap perjanjian distributorship yang dilakukan antara PT. Dwi Damai dengan PT. Philips Indonesia.

[1] Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktis Hukum, Bandung : CV Mandar Maju, 2016.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.