Perencanaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Untuk Barang Sembako

Baru-baru ini masyarakat dikejutkan dengan informasi tentang rencana Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sembako. Informasi tersebut beredar berdasarkan bocoran draf perubahan kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.[1] Aturan tentang PPN telah mengalami beberapa kali perubahan, dengan perubahan terakhir dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Selanjutnya disebut UU Cipta Kerja). Dalam UU Cipta Kerja diatur bahwa kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak dikecualikan dari PPN. Namun berdasarkan berita yang tersebar, dalam draf perubahan kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menghapus sembako dari pengecualian pengenaan PPN.[2] Mendengar kabar tersebut, Direktorat Jenderal Pajak buka suara menyikapi polemik tersebut yang menyatakan bahwa faktanya adalah pengecualian dan fasilitas PPN yang diberikan saat ini tidak mempertimbangkan jenis, harga, dan kelompok yang mengonsumsi sehingga menciptakan distorsi.[3] Contohnya, saat ini beras, daging, atau jasa pendidikan, apapun jenis dan harganya, semuanya mendapat fasilitas yang tidak dikenai PPN. Alhasil, karena mendapat fasilitas tidak dikenai PPN yang terjadi adalah konsumsi beras premium dan beras biasa sama-sama tidak kena PPN.[4] Menurut Ditjen Pajak konsumen barang-barang tersebut memiliki daya beli yang jauh berbeda, sehingga fasilitas PPN tidak dikenakan atas barang/jasa tersebut memicu kondisi tidak tepat sasaran.[5] Oleh sebab itu, menurut Ditjen Pajak, pemerintah menyiapkan RUU (Rancangan Undang-undang) Ketentuan Umum Perpajakan yang berisi konsep reformasi perpajakan, antara lain tentang reformasi sistem PPN dengan harapan sistem baru dapat memenuhi rasa keadilan dengan mengurangi distorsi dan menghilangkan fasilitas yang tidak efektif, sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pajak dan optimalisasi pendapatan negara.[6]

Pengertian secara eksplisit tentang PPN tidak diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, namun berkaitan dengan persoalan tersebut, perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan PPN adalah pungutan yang dibebankan atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh wajib pajak pribadi atau wajib pajak badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP).[7] Dasar yang menjadi persoalan atas wacana pengenaan pajak terhadap sembako adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah mengalami beberapa kali perubahan dalam Undang-Undang sebagai berikut :

  1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 ttentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
  2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
  3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
  4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut UU Perpajakan).

UU Perpajakan tersebut akan dilakukan perubahan kembali melalui rancangan yang masih menjadi polemik, yang diketahui bahwa terhadap barang sembako yaitu dalam Pasal 44E draf perubahan kelima UU Perpajakan akan menghapus sembako dari pengecualian pengenaan PPN.[8] Sebelumnya Pasal 112 UU Cipta Kerja melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (selanjutnya disebut UU PPN) dimana dalam Pasal 4A ayat (2) menyatakan sebagai berikut :

“Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:

    1. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, tidak termasuk hasil pertambangan batu bara;
    2. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
    3. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan
    4. uang, emas batangan, dan surat berharga”

Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat sebagaimana ketentuan dalam Pasal 4A ayat (2) UU PPN disebutkan dalam penjelasan pasal tersebut meliputi :

    1. beras;
    2. gabah;
    3. jagung;
    4. sagu;
    5. kedelai;
    6. garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
    7. daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan f atau direbus;
    8. telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;
    9. susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
    10. buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, digrading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
    11. sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, danf atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sa1ruran segar yang dicacah.

Apabila kemudian draf perubahan kelima UU Perpajakan disahkan, maka ketentuan dalam UU Cipta Kerja menjadi dikesampingkan sebagaimana asas hukum lex posterior derogat legi priori, yaitu hukum yang terbaru mengesampingkan hukum yang lama.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memperingatkan, perluasan objek PPN tersebut akan berisiko mendorong inflasi lebih tinggi dan menurunkan daya beli masyarakat yang berimbas bukan hanya terhadap pertumbuhan ekonomi yang menurun, namun juga naiknya angka kemiskinan.[9] Bhima Yudhistira juga mengungkapkan bahwa rencana PPN sembako kontraproduktif terhadap upaya pemulihan ekonomi nasional sebab penerapan PPN dibarengi oleh rencana pencabutan subsidi lainnya seperti subsidi listrik dan pengurangan bansos.[10] Sedangkan pemerintah dalam menanggapi isu tersebut, menyatakan bahwa pemerintah telah mempertimbangkan banyak hal sebagai upaya pemulihan ekonomi akibat COVID-19, salah satunya melalui menaikkan tarif PPN yang didalamnya juga berpengaruh terhadap pengenaan PPN terhadap sembako yang tidak tepat sasaran.[11] Atas rencana tersebut, sebagai masyarakat yang baik kita perlu melihat dan membaca terlebih dahulu aturan yang nantinya akan diterbitkan oleh pemerintah, apabila nantinya dirasa ketentuan dalam undang-undang tersebut merugikan masyarakat banyak, maka dapat dilakukan upaya hukum dengan melakukan permohonan terhadap Mahkamah Konstitusi atas dilanggarnya hak-hak masyarakat sebagaimana yang telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

 

 

[1] https://nasional.kontan.co.id/news/melihat-daftar-sembako-yang-bakal-kena-ppn-berdasarkan-udang-undang

[2] Ibid.

[3] https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5603509/akhirnya-ditjen-pajak-buka-bukaan-soal-rencana-ppn-sembako

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] https://www.online-pajak.com/tentang-ppn-efaktur/pajak-pertambahan-nilai-ppn

[8] https://nasional.kompas.com/read/2021/06/11/13460841/ini-daftar-sembako-yang-dikenakan-ppn-berdasarkan-undang-undang?page=all

[9] https://www.kompas.com/tren/read/2021/06/11/110000265/soal-rencana-ppn-sembako-12-persen-pengamat-ingatkan-risikonya?page=all

[10] Ibid.

[11] https://www.cnbcindonesia.com/news/20210517151215-4-246029/soal-rencana-kenaikan-ppn-ini-pertimbangan-pemerintah

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.