Perceraian Berdasar Hukum Islam di Indonesia

Perceraian Berdasar Hukum Islam di Indonesia merujuk pada perpisahan pasangan suami istri yang tunduk pada hukum Islam. Perjalanan dalam sebuah hubungan perkawinan tidaklah selalu begitu tenang dan menyenangkan. Adakalanya kehidupan perkawinan begitu rumit dan memusingkan. Dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi percekcokan. Jika dalam suatu perkawinan terdapat konflik yang berkepanjangan, yang jika perkawinan tersebut tetap dilanjutkan, maka akan menimbulkan hal-hal yang dapat merugikan anggota keluarga. Maka jika hal itu terjadi, perkawinan tersebut dapat diputus dengan cara perceraian.[1] Atau dengan perkataan lain, perceraian itu adalah sebagai jalan keluar dan pintu darurat bagi suami istri demi kebahagiaan yang dapat diharapkan sesudah terjadinya perceraian itu.

 

Agama Islam sendiri melalui Al-Qur’an sebagai sumber hukum umat Islam, memperbolehkan adanya perceraian antara suami dan istri yang sudah tidak dapat lagi dipertahankan hubungan rumah tangganya. Terdapat beberapa ayat yang mengatur perceraian, di antaranya adalah surat Al-Baqarah ayat 227, surat Al-Baqarah ayat 229, dan surat Al-Talaq ayat 1. Selain itu istilah perceraian juga dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Akan tetapi dalam aturan tersebut juga tidak mendefinisikan secara pasti terkait arti dari perceraian itu sendiri. Meskipun demikian, UU Perkawinan memperbolehkan perceraian apabila hubungan perkawinan tersebut tidak dapat dipertahankan lagi.

 

Perceraian berdasarkan Hukum Islam memang berbeda dengan perceraian berdasar pada agama lainnya. Agar perceraian tersebut berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku sebagaimana mestinya dalam Al-Qur’an, maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (UU Peradilan Agama). Terbentuknya UU Peradilan Agama tentunya memperjelas kewenangan mengadili/kewenangan absolut dalam perkara perceraian.

 

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 7 UU Peradilan Agama. Suatu perceraian yang diajukan ke pengadilan tentu memiliki alasan atau sebab-sebab yang membuat putusnya hubungan perkawinan tersebut.[2]

 

Alasan-alasan perceraian diatur secara jelas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (PP 9/1975) yang dimuat dalam Pasal 19 PP 9/1975 yang berbunyi:

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
  6. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

 

 

UU Perkawinan dan UU Peradilan Agama mengatur bahwa putusnya perkawinan dapat dilakukan dengan cara perceraian. Selain putusnya perkawinan, perceraian juga menimbulkan beberapa akibat hukum seperti kewajiban suami yang harus tetap menafkahi anak dan istri, hak asuh anak dan lain sebagainya. Bagi umat Islam, akibat hukum yang ditimbulkan dari perceraian disebutkan dalam Pasal 149 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) apabila perkawinan putus karena talak, maka mantan suami berkewajiban:

  1. memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul;
  2. memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil;
  3. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul;
  4. memberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun

KHI sendiri mengatur hak mantan istri dalam perceraian yaitu mut’ah yang merupakan pemberian dari mantan suami kepada mantan istrinya yang dijatuhi talak baik berupa uang atau benda lainnya. Nafkah Iddah (nafkah dalam masa tunggu), adalah nafkah yang wajib diberikan oleh mantan suami kepada mantan istri yang dijatuhi talak selama mantan istri menjalani masa iddah (masa tunggu), kecuali jika mantan istrinya melakukan nusyuz (pembangkangan).

 

Selain itu, akibat hukum lainnya dari perceraian yaitu hak asuh anak. Dalam hukum Islam, yang dibebani tugas dan kewajiban memelihara dan mendidik anak adalah bapak, sedangkan ibu bersifat membantu. Ibu hanya berkewajiban menyusui anak dan merawatnya. Sesungguhnya dalam hukum islam sifat dan hubungan antara orang tua dan anak dapat dilihat dari segi material yaitu memberi nafkah, menyusukan (irdla’) dan mengasuh (hadhanah), dan dari segi immaterial yaitu curahan cinta kasih, penjagaan dan perlindungan serta pendidikan rohani dan lain-lain.[3]

 

Lebih lanjut, dalam Pasal 156 KHI ditentukan bahwa akibat hukum putusnya perkawinan karena perceraian terhadap harta bersama, dibagi menurut ketentuan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 97 KHI yang memuat ketentuan bahwa janda atau duda yang cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa perceraian berdasar hukum Islam di Indonesia dapat menimbulkan beberapa akibat hukum seperti hak istri dan anak, hak asuh anak dan harta bersama. Adanya akibat hukum ini berpedoman pada prinsip-prinsip pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia setiap warga negara. Sehingga meskipun telah adanya perceraian, tetapi tanggung jawab masing-masing tidak putus begitu saja.

 

Penulis: Rizky Pratama J., S.H.

Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA., & Mirna R., S.H., M.H., CCD.

 

[1] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1982, halaman 10

[2] Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian, Sinar Grafika, Jakarta, 2019, halaman 115

[3] Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1978, halaman 134

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.