Perbedaan Yurisprudensi dan Preseden

Dalam sebuah lembaga peradilan terdapat banyak permasalahan, salah satunya dalam Mahkamah Konstitusi adalah menyangkut konsistensi putusan-putusannya. Dalam banyak kasus, Mahkamah Konstitusi dipandang tidak konsisten karena beberapa kali memberikan putusan yang berbeda terhadap perkara yang memiliki substansi sama atau sering disebut sebagai overulling dengan putusan sebelumnya. Overulling dianggap sebagai sebuah praktik dimana pengadilan memberikan pendapat yudisial yang baru, menggantikan pendapat yudisial sebelumnya.[1] Praktik overulling ini sebenarnya hanya dipraktikkan di lingkungan peradilan yang menganut sistem common law sebagai upaya untuk tidak mengikatkan diri kepada asas Preseden. Sedangkan pada lingkungan peradilan berdasarkan sistem civil law, pengadilan relatif lebih bebas dalam memutus, karena tidak terikat untuk menjadikan putusan pengadilan sebelumnya sebagai dasar dalam putusannya.  Karakteristik dari negara hukum yang menganut keluarga hukum common adalah adanya Preseden yang merupakan bagian dari tradisi dalam common law system, dimana hakim terikat pada putusan hakim terdahulu apabila menghadapi kasus yang sama atau mirip.

Yurisprudensi adalah keputusan-keputusan dari hakim terdahulu untuk menghadapi suatu perkara yang tidak diatur di dalam undang-undang dan dijadikan sebagai pedoman bagi para hakim yang lain untuk menyelesaian suatu perkara yang sama.[2] Sistem Yurisprudensi terbentuk dikarenakan peraturan perundang-undangan yang tidak jelas atau masih kabur, sehingga menyulitkan hakim dalam membuat keputusan mengenai suatu perkara. Hakim dalam hal ini membuat suatu hukum baru dengan mempelajari putusan hakim yang terdahulu untuk mengatasi perkara yang sedang dihadapi. Jadi, putusan dari hakim terdahulu ini yang disebut dengan yurisprudensi. Yurisprudensi diatur dalam Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Mengenai Kekuasaan Kehakiman (UU Hakim),  dalam UU Hakim Pasal 10 ayat (1) menyatakan : “pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara, mengadili perkara dan memutuskan perkara yang diajukan dengan alasan hukum tidak ada atau kurang jelas (kabur), melainkan wajib memeriksa serta mengadilinya”. Hakim diwajibkan untuk menggali, mengikuti dan memahami keadilan dan nilai-nilai hukum yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.[3] Terdapat beberapa macam yurisprudensi, macam macam yurisprudensi tersebut sebagai berikut.

  1. Yurisprudensi Tetap

Pengertian Yurisprudensi Tetap adalah suatu putusan dari hakim yang terjadi oleh karena rangkaian putusan yang sama dan dijadikan sebagai dasar bagi pengadilan untuk memutuskan suatu perkara.

  1. Yurisprudensi Tidak Tetap

Pengertian Yurisprudensi Tidak Tetap ialah suatu putusan dari hakim terdahulu yang tidak dijadikan sebagai dasar bagi pengadilan.

  1. Yurisprudensi Semi Yuridis

Pengertian Yurisprudensi Semi Yuridis yaitu semua penetapan pengadilan yang didasarkan pada permohonan seseorang yang berlaku khusus hanya pada pemohon. Contohnya : Penetapan status anak.

  1. Yurisprudensi Administratif

Pengertian Administratif adalah SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) yang berlaku hanya secara administratif dan mengikat intern di dalam lingkup pengadilan.

Salah satu karakteristik dari negara hukum yang menganut keluarga hukum common adalah adanya Preseden yang merupakan bagian dari tradisi dalam common law system. Preseden merupakan rangkaian putusan yang saling konsisten antara satu putusan dengan putusan lainnya yang memiliki warna dan corak serupa baik dari sisi isu hukum, pertimbangan hukum, karakter permasalahan dan amar putusan.[4] Menurut doktrin Preseden, hakim terikat pada putusan hakim terdahulu apabila menghadapi kasus yang sama atau mirip. Sama halnya dengan yurisprudensi, asas preseden dalam sistem peradilan di negara Anglo-Saxon dapat bersifat preseden yang mengikat (binding force of precedent) dan preseden yang persuasive (persuasive precedent). Dua sifat preseden ini sangat bergantung dengan yurisdiksi yang berada di negara bersangkutan.

  • “Binding PrecedentA precedent that a court must follow. For example, a lower court as bound by an applicable holding of a higher court in the same jurisdiction.” (Sebuah preseden yang harus diikuti oleh pengadilan. Misalnya, pengadilan yang lebih rendah yang terikat oleh pengadilan yang lebih tinggi yang berlaku di yurisdiksi yang sama).
  • Persuasive precedentA precedent that a court may either follow or reject, but that is entitled to respect and careful consideration. For example, if the case was decided in a neighboring jurisdiction, the court might evaluate the earlier court’s reasoning without being bound to decide the same way.” (Suatu preseden yang dapat diikuti atau ditolak oleh pengadilan, tetapi berhak untuk dihormati dan dipertimbangkan dengan cermat. Misalnya, jika kasus tersebut diputuskan di yurisdiksi tetangga, pengadilan dapat mengevaluasi alasan pengadilan sebelumnya tanpa terikat untuk memutuskan dengan cara yang sama.)

Dalam sistem hukum common dikenal beberapa pengertian tentang preseden. Jika hakim menerapkan preseden pada kasus yang dihadapinya tanpa memperluas preseden tersebut, maka putusan Hakim tersebut disebut a declaratory precedent. Jika kasus yang telah diputus oleh hakim tidak mempergunakan preseden atau belum pernah ada preseden untuk kasus semacam itu, maka putusan hakim yang bersangkutan disebut original precedent.

Di Indonesia mengenal sistem hukum yang berkembang di negara- negara Eropa daratan dan sering disebut sebagai “Civil Law” yang semula berasal dari kodifikasi hukum yang berlaku di kekaisaran romawi pada masa pemerintahan Kaisar justinianus abad VI sebelum masehi.[5] Indonesia yang sistem hukumnya Eropa Kontinental/civil law, secara teori tidak menganut sistem Preseden, akan tetapi yang dikembangkan di Indonesia mirip dengan pelaksanaan doktrin preseden yakni melalui yurisprudensi tetap, karena yurisprudensi juga diakui sebagai sumber hukum di Indonesia.[6] Pada sistem ini, putusan pengadilan berdasarkan pada peraturan perundang undangan yang berlaku, contohnya bisa UUD 45, Tap MPR, UU/Perpu, Peraturan Pemerintah, Perpres/Kep Pres, MA, Keputusan Menteri dan lain lain. jadi, keputusan pengadilan bersifat fleksibel (berubah ubah) tergantung hakim yang memutuskan berdasarkan fakta/bukti yang ada.[7]

Hukum Civil Law adalah hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena diwujudkan dalam peraturan-peraturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematik di dalam kodifikasi. Karakteristik dasar ini dianut mengingat bahwa nilai utama yang merupakan tujuan hukum adalah kepastian hukum. Kepastian hukum hanya dapat diwujudkan kalau tindakan-tindakan hukum manusia dalam pergaulan hidup diatur dengan peraturan-peraturan hukum tertulis. Penganut sistem Civil Law memberi keleluasaan yang besar bagi hakim untuk memutus perkara tanpa perlu meneladani putusan-putusan hakim terdahulu, yang menjadi pegangan hakim adalah aturan yang dibuat oleh parlemen, yaitu undang-undang.[8]

Berikut perbedaan mendasar mengenai sitem hukum Yurispudensi dan Preseden:

NOYurispudensiPreseden
1Digunakan dalam sistem Civil Law (Continental Europe legal system)Digunakan dalam sistem Common Law(Anglo-American legal system)
2Putusan Hakim terdahulu tidak menjadi kewajiban untuk dijadikan dasar putusan seorang HakimPutusan Hakim terdahulu harus menjadi dasar seorang Hakim dalam memutus suatu perkara yang sama dengan putusan hakim sebelumnya
3Jika terjadi pertentangan antara undang-undang dengan yurisprudensi, maka yang dimenangkan adalah undang-undang.

 

Jika terdapat pertentangan antara undang-undang dengan yurisprudensi, maka yurisprudensi yang dimenangkan.
4Hakim hanya menerapkan isi rumusan hukum tertulis dan Hakim hanya sebagai cerobong undang-undang.Putusan adalah Hukum, dan hakim disebut sebagai pencipta Hukum (Judge made Law)

 

 

[1] Willian S. Brewbaker III, “Found Law, Made Law and Creation: Reconsidering Blackstone’s Declaratory Theory”, Journal of Law and Religion, XXII (255), 2006/2007, h. 262-265

[2] https://pa-bandung.go.id/tentang-pengadilan/sistem-pengelolaan-pengadilan/yurisprudensi

[3] Penjelasan Pasal 10 ayat (1), Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

[4] Sebastian Pompe, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, 2012, h. 607

[5] Dedi Soemardi, 1997, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta, Indhillco.hlm. 73

[6] Lihat Mahkamah Agung, Naskah Akademis Tentang Pembentukan Hukum Melalui Yurisprudensi, Jakarta: Mahkamah Agung, 2005, h. 39

[7] http://alfaroby.wordpress.com/2009/01/13/sistem-hukum/

[8] Jeremias Lemek, 2007, Mencari Keadilan: Pandangan Kritis Terhadap Penegakan Hukum DiIndonesia. Jakarta, Galang Press. Hlm. 45

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.